[END] Van Wie Hou Je (Siapa Yang Kamu Cintai)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Choky menyikut lengan Revan dengan sengaja. "Gila, lo bayar berapa milyar untuk menghadirkan Fleur Jansen di sini?"

Seakan mengerti maksud dari perkataan Choky, Revan yang tadinya berdiri membelakangi tangga kemudian berbalik. Demi apapun, Juwita yang turun dari tangga melingkar itu benar-benar menjadi sulit dibedakan dengan Fleur Jansen. Tanpa celah. Surai hitam legam itu dicat berwarna cokelat mahoni. Indah bergelombang, mengisi kedua bahu mungil Juwita. Gadis itu mengenakan gaun merah, sama dengan yang dikenakan Fleur ketika Revan mengalami deja vu di pesta pernikahan ayahnya.

"Gue enggak mengeluarkan uang sebanyak itu. Cuma minta tolong Mami dan Lydia mencari gaunnya. Sisanya ya secuil sentuhan tukang rias," jawab Revan santai.

Choky tertawa kecil karena jawaban Revan. Laki-laki itu tidak habis pikir dengan usaha Revan menjadikan Juwita sebagai Fleur. "Sinting."

"Sinting apanya?" Revan bertanya tanpa memandang Choky. Matanya terpaut sepenuhnya pada gadis Nederlander di sana.

"Juwita tanpa make over sekalipun gampang bikin laki-laki jatuh bertekuk lutut," kata Choky.

Revan mengabaikan Choky, ia memilih melangkah mendekati tangga. Sebab Juwita sudah menapaki tiga anak tangga terakhir. Lensa cokelat yang terpasang di kedua bola mata itu menatapnya dalam diam. Revan mengulurkan tangan dan Juwita menyambutnya. Hari ini merupakan perayaan kecil dari tender besar yang berhasil dimenangkan Aldi. Petinggi di Prana corporation mengadakan acara tersebut di salah satu hotel cabang Cisarua.

"Mooi," tutur Revan.

Juwita berusaha menarik senyumnya. "Thank you." Kalau boleh jujur, bola matanya sangat tidak nyaman. Ada yang mengganjal di sana.

Tatapan semua orang sekarang terarah padanya. Juwita menarik napas panjang, ia benci jadi pusat perhatian. Ia tidak ingin tahu isi percakapan dari bisik-bisik beberapa wanita di sana. Ia sudah lama resmi resign dari perusahaan keluarga Revan. Selama ini jika mereka hanya pergi berdua, memang tidak ada masalah sama sekali. Berbeda dengan saat ini, beberapa karyawan khusus ikut diundang. Sialnya, beberapa biang gosip pengidap meriang tahunan hadir.

"Jangan kaku," ujar Revan sembari menautkan jemari mereka.

"Kalau kaku, aku mana bisa bergerak," sahut Juwita. Ia tahu, Revan sedang berusaha membuatnya tenang. Mau tidak mau, Juwita hars berusaha keras untuk itu.

Revan tertawa kecil sebelum mengecup singkat buku jari Juwita. Raut wajahnya sangat kontras dengan raut wajah Juwita. Seakan tidak membaca bahasa tubuh Juwita yang sengaja memberi jarak, Revan malah meraih pinggang wanita itu.

"Van, kamu jangan memelukku begini. Mereka semua melihat ke sini," bisik Juwita yang mencoba melepaskan diri dari Revan.

"Ta, ini bukan peluk namanya. Satu tanganku cuma menempel di pinggang kamu. Lagi pula mereka menjadikan kamu pusat perhatian bukan karena gestur kita," kata Revan.

"Ya terus?" Juwita mulai kesal.

"Cantiknya kamu bikin sakit mata."

Juwita menoleh memberi Revan tatapan protes. Namun laki-laki itu hanya menyematkan senyum lebar dan menuntun Juwita menghampiri kedua orangtuanya di sana. Paramitha dan Lesmana Pranadipa. Omong-omong Juwita harus menyebut mereka apa? Pasangan pengantin baru, mantan Big Boss atau calon mertua? Ah, tunggu dulu... apa-apan pernyataan terakhir tadi?

Jangan terlalu percaya diri dong, Ta. Keluh Juwita dalam hati.

Setelah berusaha keras, lem di tangan Revan dapat dipisahkan dari pinggangnya. "Aku paling malas kalau kamu sudah gombal enggak jelas."

"Kapan sih aku gombal?"

"Barusan! Kamu masih muda sudah pikun."

"Loh itu fakta. Kamu cantik itu fakta. Aku sayang kamu juga fakta." Belum sampai satu menit, Revan kembali memeluk pinggang Juwita.

"Revan.." Kalau saja ini bukan ruangan umum penuh tamu. Mungkin Juwita sudah menginjak gemas kaki Revan.

"Yes, Sugar?"

"Stop it."

"I can't."

Laki-laki itu tertawa karena Juwita yang memutar bola mata.

"Lusa yuk?" tanya Revan ketika mata mereka bertaut.

Alis Juwita menukik. "Apanya?"

"Nikah." Revan menjawabnya seolah-olah satu kata sakral itu tidak memiliki arti lebih, selain bersatunya dua insan manusia.

Juwita menggelengkan kepala, belakangan ia baru tahu sifat asli Revan. Dua kali lipat lebih menjengkelkan sebagai kekasih daripada atasan. "Enggak semudah itu, Revandio Pranadipa."

"Kenapa enggak mudah? Ibuku punya WO dan aku punya hotel, villa. Tapi jangan jauh-jauh pilih lokasinya. Karena persiapannya cuma sehari semalam. Aku belum sesakti Bandung Bondowoso yang membangun seribu candi untuk Roro Jonggrang."

"Lucu juga sih kamu kalau bercanda," kata Juwita di sela-sela tawa kecilnya.

Dua alis tebal Revan bertaut. "Kok bercanda? Aku serius."

***

Revan beralih dari layar laptop ketika merasakan bahunya menjadi tumpuan. Lalu jemarinya bergerak menyingkirkan helai rambut yang jatuh di dahi Juwita. Senyum kecilnya terbit, ternyata memandangi gadis itu tidur adalah hal yang menyenangkan. Sekian menit bergulir, ia mengalihkan pandangan karena suara langkah ringan dari Oma.

"Baru saja Oma ingin mengajak kalian makan siang, Luna malah tertidur."

"Iya, Oma." Revan menatap sekilas Juwita yang terlelap di bahunya. "Boleh saya memindahkan Juwita ke kamarnya?"

Oma tersenyum lebar. "Kenapa harus bertanya?"

Revan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia hendak menjawab pertanyaan Oma. Namun Oma, kembali berkata, "Kamarnya di lantai atas. Terima kasih ya, Revan.."

Sebelum mereka menghadiri acara di salah satu hotel cabang Cisarua, Juwita sudah lebih dulu memintanya kembali berkunjung ke sini. Tentunya tanpa ada rasa beban, Revan memenuhi permintaan Juwita. Maka dari itu semalam Revan menginap di sini. Ia mengangkat tubuh Juwita dengan hati-hati dari sofa. Kemudian Oma menemaninya menapaki anak tangga.

"Van, kalau Oma boleh tahu, kalian sudah berapa lama?" Oma menyunggingkan senyum setelah bertanya.

"Sekitar empat bulan, Oma." Revan memberi jeda sebelum bertanya, "Apa... ada orang yang harus saya temui selain Oma?" Revan hanya berpikir jika ia mendekati Juwita. Maka ia pun harus mendekati keluarganya.

"Luna, sudah mengajakmu ke makam orangtuanya?"

"Sudah, Oma," jawab Revan.

"Kalau begitu, tersisa dua orang yang harus kamu temui."

Revan mengangguk yakin. "Saya, siap, Oma."

Mereka sampai di depan pintu kayu jati yang ditempel huruf warna-warni bertuliskan Luna. Tidak ingin mengusik lelap Juwita lebih lama, Revan segera membaringkan tubuh gadis itu. Ditariknya selimut sampai batas leher Juwita. Udara di Cisarua setelah hujan cukup menggigit. Sedikit mencuri waktu memandangi wajah gadis itu, ia sampai lupa kalau Oma masih berdiri di ambang pintu.

"Revan.."

Ia tersentak sebelum menoleh. "Iya, Oma?"

"Bisa bicara sebentar? Ada yang ingin Oma sampaikan."

"Bisa, Oma," jawabnya.

Lantas Revan kembali menapaki anak tangga bersama wanita baya itu. Dalam perjalanan melewati lorong ruang, Oma sempat bercerita bahwa rumah ini adalah warisan turun-temurun yang sempat direnovasi dua kali. Setelah Oma, rumah ini akan diwariskan pada Juwita. Sebab Juwita memang cucu semata wayangnya. Revan tidak menebak ke mana Oma mengajaknya, namun kini mereka berjalan ke luar rumah melalui pintu belakang. Melintasi halaman yang cukup luas.

Revan agak kagum dengan bunga mawar dan tanaman merambat yang menjadi hiasan di kiri dan kanan jalan. Con block yang mereka lalui mendadak mirip jalan setapak di negeri dongeng. Setelahnya mereka berhenti di depan sebuah bangunan bercat putih. Oma sempat berbicara kepada wanita seumurannya yang Revan duga sebagai asisten, mungkin? Ia tidak memedulikan percakapan yang memakai bahasa Belanda itu meski sedikit tahu maksudnya jika mendengarkan baik-baik. Revan justru fokus memandangi bangunan di depannya yang seperti rumah namun tidak bisa juga disebut rumah.

"Oma tidak pernah membawa siapa pun kemari, Revan. Termasuk Juwita," tutur Oma sesudah berdiri di depan sebuah pintu dengan ukiran rumit.

Oma menggunakan kunci yang tadi diberikan oleh asistennya. Sebelum pintu terbuka, entah kenapa Revan merasakan angin berembus di depan wajah. Ia hanya mengangguk sebagai respon atas penjelasan Oma.

"Tapi mungkin.. kamu mencari ini sekian lama."

Jantung Revan terasa berhenti berdetak saat melihat apa yang ada di depan matanya. Sekitar lima meter di depan sana terdapat sebuah makam dengan nisan salib di atasnya. Bersama gemuruh di dalam benak, ia melangkah tanpa keraguan yang terselip secuil pun.

Vredig rustend aan de kant van God. Adriaan van Denveer.

Oma, benar. Selama ini Revan memang berkelana mencari makam Adriaan van Denveer yang tidak pernah ia duga berada di sini.

"Tidak lama setelah Adriaan meninggal, Ayahnya dimakamkan karena terserang malaria. Setelah itu Ibunya meninggalkan Batavia. Itulah kronologi bagaimana makam Adriaan berada di sini. Rumah peristirahatan ini pun tidak dibangun sembarangan tanpa alasan. Perlu perjuangan panjang juga untuk mempertahankan rumah ini saat Pribumi melakukan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda sampai merdeka."

Revan tidak dapat berkata apa pun, lidahnya mendadak kelu.

"Adriaan pernah menyampaikan bahwa ia ingin peristirahatan terakhirnya berada di tengah hamparan kebun teh. Begitulah yang Garritt Jansen sampaikan secara turun-temurun."

Setelah berjongkok, satu tangan Revan menyentuh nisan tersebut. Tanggal kematian Adriaan van Denveer adalah tanggal kelahirannya. Dalam hitungan detik, ia tersedot dalam sebuah deja vu mengerikan. Di mana Revan dapat merasakan peluru yang bersarang di jantungnya. Malam gelap dan jalanan sepi penuh kerikil menjadi saksi bisu sebuah pembunuhan tragis. Mungkin itu yang membuatnya seringkali memimpikan penembakan seorang laki-laki berjas putih semasa kecil, tiap kali Revan mengalami demam tinggi.

"Revan.." Usapan Oma di bahunya membuat Revan kembali tersadar. Sepasang mata Revan yang memerah karena menahan jutaan gejolak amarah dalam benak, bertemu pandang dengan milik Oma. "Sudah.. itu memang takdir Kakekmu."

Demi Tuhan, jika ia bisa membalas perbuatan manusia biadab itu. Revan bersumpah akan membuat Espen De Blois membayar perbuatannya dengan nyawa. Lantas Oma mengajaknya bangkit. Tepat di samping makam kakek buyutnya terdapat sebuah kotak besar persegi panjang yang ditutupi kain beludru merah. Tangan Oma menarik kain itu secara perlahan. Revan hampir tidak percaya bahwa putri tidur dibalik peti kaca tebal tersebut adalah Fleur Jansen dalam bentuk nyata. Bukan deja vu. Bukan juga Juwita yang surainya dicat sewarna cokelat mahoni. Perasaannya seperti diporakporandakan detik ini. Revan mendekati peti tersebut, menyentuh permukaannya yang begitu dingin. Bahkan wajah yang serupa Dewi dari Swargaloka itu utuh tanpa cacat sedikit pun. Meski waktu sudah berlalu selama seabad lebih. Bagaimana bisa hal tidak masuk akal ini menghantamnya dalam kurang lebih dari satu jam?

Perlahan namun pasti, meski terdengar gila. Ia menempelkan dahi dan hidungnya pada permukaan peti tersebut dengan mata terpejam. Membuat wajahnya sejajar dengan wajah widodari yang sudah mendobrak pintu sebuah ruang bernama rindu.

"Fleur tidak dimakamkan di bawah gempuran tanah atas permintaan Espen, Nak. Peti kaca ini sempat berada di dalam kamar Espen De Blois sampai akhir hayatnya. Dia tidak pernah kembali Nederland, pun tidak menikahi siapa pun lagi selain Fleur."

Ucapan Oma terdengar yang jelas oleh pendengarannya seketika kabur. Revan membuka matanya yang sempat terpejam. Ia tidak lagi berada di depan peti kaca milik Fleur. Sekarang ia tengah berjalan di tengah padang ilalang. Mengikuti gadis yang memakai gaun putih dan mahkota bunga yang tengah menarik sebelah tangannya.

Gadis itu membelakangi Revan. Tawa manis dari gadis itu menjadi satu-satunya kawan dalam perjalanan sebelum mereka sampai di pinggir sebuah danau. Revan tidak menyentak tangan gadis itu, tidak juga berbalik. Ia terus mengikuti si gadis bergaun pengantin itu.

"Kita sudah sampai," ucap gadis itu.

Senyum dan sorot mata milik Fleur Jansen menyambutnya.

"Saya bukan Adriaan van Denveer," kata Revan.

"Aku tahu. Terima kasih sudah datang." Fleur kembali mengulas senyum memikatnya.

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Fleur beranjak mengangkat gaunnya. Revan hanya mengamati tanpa bisa memanggil nama gadis itu. Arah pandangnya sampai pada pria berjas putih yang membelakanginya dan Fleur di ujung jalan sana.

"Adriaan!" teriak Fleur yang kini berlari kecil.

Pria itu berbalik. Parasnya bak pinang dibelah dua dengan Revan. Mata mereka bertemu pandang sekilas sebelum Adriaan mengulurkan tangannya pada Fleur. Tidak ada yang dapat terbaca dari sorot mata kakek buyutnya itu ketika menatap Revan selain kata bahagia. Dua orang yang biasanya menjadi tokoh utama dalam deja vu Revan berjalan menuju ke arah cahaya menyilaukan di depan sana.

Adriaan dan Fleur menoleh sejenak ke arah Revan untuk mengulas senyum. Lalu dua orang itu kembali menautkan jemari, melangkah menjauh hingga ditelan cahaya. Adriaan dan Fleur telah hidup di dalam waktu yang abadi. Bersama rasa dan kenangan yang abadi. Ini kisah mereka dan ini bukan tempat di mana seharusnya Revan berada. Ada yang ia sadari dalam perjalanannya mencari jalan pulang.

Juwita Kaluna.

Revan segera tersadar dan menyingkir dari peti kaca sang putri tidur. Beruntungnya, ia masih menemukan Oma berdiri di sana entah untuk berapa lama.

"Oma tahu ini seharusnya jadi rahasia besar keluarga kami. Tapi setelah melihat Luna yang penampilannya berubah seperti Fleur karena permintaanmu. Oma hanya ingin bertanya, siapa yang kamu cintai? Fleur Jansen atau Luna cucu Oma?"

*Vredig rustend aan de kant van God : Beristirahat dengan tenang di sisi Tuhan

***

Di WP babnya cuma sampai sini ya say. Makasih udah mampir ❤️

Kalau tertarik baca bab lengkapnya bisa ke sini 😊


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro