18 - Selamat menempuh hidup baru, Niel!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika memang tidak bisa lupa, jangan dipaksa. Ingat saja terus, nanti kau juga akan bosan sendiri!

~Christian Sammy Chen~

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Sam memandang wanita yang berdiri di hadapannya. Alisnya terangkat, sementara dahinya berkerut. Terlihat jelas ia tidak puas dengan apa yang dilihatnya itu. Ia merasa de javu dengan Ludy yang ia lihat di bar waktu dulu.

“Apa kau nggak punya warna lain selain hitam?”

Sam mendekat ke arahnya, lalu berkata, “Ini lagi. Apa-apaan dada ini? Kau ingin goda mantanmu itu, ha?”

Ludy menunduk. Tidak ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Sebutir air mata terjatuh, lalu disusul dengan tetesan-tetesan yang lainnya. Sam pun mengangkat dagu Ludy. Tanggapan tidak biasa membuatnya merasa bersalah.

“Oke, pakai itu aja. Ayo, berangkat,” ajak Sam sambil berbalik. Namun, saat ia sampai pintu, Ludy masih belum beranjak dari tempatnya berdiri.

Sam kembali menghampiri Ludy. “Apa lagi?”

“Aku ... sebaiknya nggak jadi ikut,” jawab Ludy sambil meletakkan handbag-nya kembali. “Aku ... nggak bakal sanggup lihat semuanya.”

“Sampai kapan? Kau nggak akan bisa kalau nggak memaksa. Ayo!”

Ludy pasrah. Mau tidak mau ia harus siap berhadapan dengan situasi semacam itu. Ia memang sudah harus menyerah. Ia pun menarik napas dalam untuk menghentikan tangisnya. Setelah reda, barulah ia berjalan mengekori Sam. Namun, alih-alih keluar rumah, Sam justru mengajak Ludy ke ruangan yang belum pernah ia masuki.

“Ini kamar kakakmu?” tanya Ludy saat matanya menangkap foto pernikahan yang tertempel di dinding kamar. Sam mengangguk sebagai ganti jawabannya.

Sam membuka satu persatu lemari di kamar itu, mempertontonkan koleksi gaun, sepatu dan tas wanita. “Pilihlah salah satu gaun yang berwarna cerah.”

Ludy mendekat, lalu menyentuh satu per satu gaun yang ditunjukkan Sam. Beberapa masih berbandrol, beberapa juga sudah terlepas. Brand-nya lumayan asing di mata Ludy. Namun, dari bahan dan jahitan, ia tahu harganya pastilah tidak main-main.

“Ini pasti milik kakakmu yang bernama Kak Theresia.”

Sam mengangguk. Ludy memang belum pernah bertemu langsung dengan keluarga Sam, tapi dari cerita yang ia dengar, anak kedua dari calon pewaris Huangdai Group itu memang terkenal dengan hidup mewahnya.

“Kelamaan! Coba ini,” ujar Sam sambil melemparkan gaun berwarna coklat muda kepada Ludy. “Kalau kau cocok, itu jadi milikmu.”

Ludy memeriksa tiap lekuk dari gaun itu, dan ia ternganga demi mendapati bandrol yang belum terlepas darinya. “250 euro?”

Ludy dengan hati-hati meletakkan kembali gaun itu ke tempatnya. Ia tidak bisa memerawani gaun seharga satu semester SPP-nya itu. “Nggak, nggak. Aku pakai baju yang ini aja, Sam.”

“Ayolah, warna cerah bisa ngasih aura positif buat pemakainya.”

“Tapi itu terlalu mahal. Kalau rusak aku nggak bisa ganti. Tabunganku udah habis.”

“Ini milikmu,” kata Sam sambil memberikan lagi gaun itu.

“Gaun ini belum pernah dipakai kakakmu. Nanti kalau dia tanya gimana?”

“Tenang aja. Wanita gila itu cuma hobi koleksi, tanpa pernah mau pakai.”

“Tapi ini dibelinya di Itali. Nanti kalau dia–”

Hust,” desis Sam memutus perkataan Ludy. “Koleksi dia banyak. Dia nggak akan sadar ada satu yang hilang.”

“Kalau dia sadar?”

“Percayalah. Adik cowok satu-satunya aja dia lupain, apalagi cuma gaun ini. Cepat sana ganti!”

Ludy tersenyum paham. Lalu, ia pergi ke sisi ruangan lain untuk mengganti bajunya. Saat ia kembali, Sam sudah menunggunya dengan satu set perhiasan di tangannya.

“Kau, hari ini harus terlihat anggun,” jelas Sam sambil memasangkan kalung berlian di leher Ludy.

“Kau, hari ini harus terlihat berkelas,” tambah Sam sambil menautkan anting di telinga Ludy.

“Kau, hari ini harus terlihat tangguh,” imbuh Sam sambil menjepit rambut Ludy ke belakang.

“Kau, hari ini harus terlihat indah,” ucap Sam sambil memakaikan highheels pada kaki Ludy.

“Kau, hari ini harus terlihat menarik,” kata Sam sambil memberikan clutchbag di tangan Ludy.

“Dan kau, harus lebih cantik daripada pengantinnya,” kata Sam sambil melingkarkan cincin di jari Ludy. Cincin yang sama seperti yang ia kenakan.

“Kepalkan terus tanganmu, biar nggak jatuh. Agak kebesaran, tapi kau boleh meminjamnya hari ini,” tambah Sam sambil tertawa. Sementara Ludy, ia hanya terdiam. Otaknya gagal menerjemahkan arti perhatian Sam. Hanya jantung yang berdetak tidak karuan mengekpresikan apa yang kini ia rasakan.

“Cincinnya indah. Apa ini milik Kak There? Apa dia dokter?” cerocos Ludy saat memandang cincin berpola tongkat terlilit ular dengan permata di tengahnya. “Dia nggak mau pakai lagi karena udah kegedean, ya?”

Sam tersenyum, lalu menjentikkan jarinya ke kening Ludy. “Kau terlalu kepo. Ayo berangkat.”

“Aku baru tahu kalau Kak There pernah gendut,” kata Ludy sambil berlari menyusul Sam. Sementara Sam sendiri, hanya terkekeh menanggapi pernyataannya.

***

“Sepertinya itu tempatnya,” kata Sam sambil memarkirkan mobil mewahnya ke tepi jalan.

“Tunggu,” cegah Ludy. “Kayaknya bukan. Nggak mungkin Daniel menggelar pesta pernikahan sederhana seperti ini.”

Sam mengerutkan dahi, lalu menunjuk ke pintu utama yang mempertontonkan foto prewedding kedua mempelai.

“Daniel itu orang kaya. Paling enggak, pestanya pasti di gedung, hotel, atau di rumahnya sendiri. Bukan jadi satu dengan acara pemberkatannya.”

Sam tersenyum. “Siapa bilang Daniel itu orang kaya? Kalau memang kaya, dia nggak akan membiarkan Vira berhutang banyak pada koperasi perusahaan.”

“Apa?”

“Sejak kejadian di car free day itu, gosip dengan cepat menyebar. Berbagai informasi tentang mantanmu itu bisa didapatkan dengan mudah. Pria pengangguran dengan hutang menumpuk, yang membebankan hidupnya pada seorang karyawan biasa.”

“Apa?”

“Dan kita tinggal lihat, sampai mana batas kesabaran Vira menghadapi pria macam itu.”

Ludy terdiam. Ia tidak menyangka selama ini Daniel telah menipunya. Mimpi-mimpi yang pernah mereka bangun nyatanya bual belaka. Janji yang pernah membuatnya terbang sekarang tinggal kenangan, menjadi kata yang hanya terucapkan.

“Jadi ... selama ini, Daniel nraktir aku makan, membelikan berbagai jenis hadiah, pakai uang wanita itu?”

“Mungkin.”

“Aku,” kata Ludy terputus. “Aku malu bertemu wanita itu.”

“Sebaliknya. Sekarang waktunya kau membuat mereka berdua malu bertemu denganmu,” ucap Sam sambil menawarkan tangannya.

Ludy menerimanya. Berpegangan tangan pada Sam membuatnya seolah mendapat kekuatan baru. Tidak ada lagi rasa takut seperti yang sebelumnya ia rasakan. Bersama Sam, bersama semua persiapan yang telah ia lakukan, ia benar-benar merasa sangat percaya diri. Beberapa orang menyapa mereka dengan ramah, terutama mereka yang menjilat nama baik di depan bosnya.

Tidak perlu berjalan jauh untuk menemukan kedua mempelai. Ruangan yang tidak terlalu lebar membuat mereka bisa melihat keduanya sejak menapakkan kaki di pintu masuknya.

Dalam sekejap waktu, keduanya sudah menjadi pusat perhatian. Ludy yang memakai gaun panjang perpaduan kain sutra dan brokat, serta riasan sederhana, terkesan jauh lebih mempesona daripada make up tebal sang mempelai. Tangannya yang masih tersangga seolah tidak menutupi keanggunannya. Ditambah, Sam yang aroma parfumnya menebar ke seluruh penjuru seolah memaksa siapa pun untuk menoleh ke arah mereka berdua.

“Maaf kami terlambat. Sepertinya pemberkatan sudah selesai,” kata Sam sambil menyalami Daniel, lalu berganti kepada Vira.

“Lud,” kata Daniel sambil memegang tangan Ludy. Matanya menatap nanar pada wanita di depannya itu.

Bukan hanya Vira yang tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, tapi seluruh tamu juga berharap cemas dengan adegan yang akan terjadi selanjutnya. Gosip cinta segitiga itu sudah sangat melekat di telinga mereka. Tentu saja, lebih banyak yang memuji Ludy karena keberuntungannya mendapatkan Sam daripada menyayangkan pilihan Vira yang meninggalkan pacarnya untuk menikah dengan Daniel.

Sam yang merasa suasana sudah mulai tidak kondusif pun menarik tangan Ludy. “Jangan coba-coba berbuat tidak sopan pada calon bos istrimu,” ancam Sam sambil mengangkat tangan Ludy ke depan pasangan pengantin, memamerkan cincin yang sama di jari mereka.

Sambil tersenyum sinis, Sam menarik Ludy menjauh pergi, turun dari panggung pengantin. Namun, langkah mereka terhenti karena Vira menghadangnya.

“Pak, saya mohon maaf. Maafkan atas ketidaksopanan suami saya,” kata Vira sambil membungkuk beberapa kali.

Sam tidak menjawab, tapi Ludy mengulurkan tangan sambil tersenyum. Vira yang merasa canggung di depan bosnya, tidak punya pilihan lain selain membalas jabatan tangan itu.

“Selamat menempuh hidup baru,” kata Ludy sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Vira, lalu merengkuhnya dalam pelukan.

Happily ever after, congratuliations,” sahut Sam.

“Te-terima kasih, Pak.”

Kedatangan keduanya yang tidak lebih dari lima menit telah cukup mengacaukan perasaan kedua mempelai. Selain Sam dan Ludy, tidak ada yang tahu tujuan mereka sebenarnya adalah untuk mempermalukan kedua pengkhianat itu.

“Aku puas sekali lihat muka mantanmu tadi,” kata Sam saat memutar kemudinya. “Kau bagaimana?”

Ludy tidak menjawab. Wajahnya tertunduk memikirkan sesuatu.

“Kalau kau merasa terluka, itu karena kau masih cinta dan belum nemu gantinya. Dan, kalau kau nggak bisa lupa, jangan dipaksa. Ingat aja terus, nanti kau juga akan bosan sendiri,” tambah Sam sambil membelokkan mobilnya. “Aku lapar, ayo mampir makan dulu.”

Mobil Sam berhenti di area parkir resto mewah di arah jalan pulang. Saat mereka masuk, seorang waitress terlebih dahulu menyapa, lalu mengarahkan mereka ke meja yang kosong. Namun, di tengah perjalanan, mereka terhenti saat Sam menyapa seseorang yang dikenalnya.

“Pak Geraldine?” tanya Sam ragu.

Seorang pria paruh baya itu tergagap menyadari dirinya disapa oleh atasannya. Ia pun bangkit berdiri, lalu menyalami Sam. “Pak Sam?”

“Lagi menunggu seseorang?” tanya Sam sambil memandang meja yang belum penuh oleh makanan.

“I-ya, saya sedang menunggu seseorang, Pak. Ah iya ... kenalkan, ini putri saya,” ucap Geraldine saat menyadari tatapan tajam Sam berpindah pada anak gadisnya.

“Felicia,” sapa gadis itu memperkenalkan diri.

“Sam,” jawabnya tanpa melepas pandangan dari gadis itu. Bibirnya tersenyum saat mengetahui nama panjang pegawai coffe shop langganannya. Ia tidak menyangka orang yang ia kenal bernama Fe, nyatanya putri dari direktur salah satu anak perusahaannya.

“Ludy,” sapa Ludy memperkenalkan diri.

Setelah berbasa-basi seperlunya, keduanya pun meninggalkan Geraldine dan Felicia. Mereka duduk tidak terlalu jauh sehingga bisa mendengar pria itu memuji Sam di depan putrinya.

Mood Felicia yang sudah buruk seperti baru saja melihat pacar berselingkuh pun kini semakin merasa kesal karena orang yang sangat disayanginya itu dengan mudah tertipu oleh muka bulus Sam. Terlebih, saat ia mendapati Sam tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata kepadanya, padahal di sampingnya sudah ada wanita secantik Ludy. Namun, di mata Sam, raut kusut gadis itu terlihat lucu. Ia pun terkekeh senang.

Ludy yang menyadari gelagat Sam pun merasa sakit. Seolah ada belati tajam yang mengiris hatinya berkali-kali. Apa yang baru saja terjadi seolah telah mempertegas perasaannya. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia bukan siapa-siapa, dan Sam, belum menjadi miliknya. Ia pun memilih diam sambil mengasuh rasa cemburunya.

“Ayolah, makan yang banyak! Jangan pikirin pria pengkhianat itu lagi,” ucap Sam saat menyadari kediaman Ludy.

Ludy tersenyum nanar.

Bukan Daniel yang aku pikirkan, tapi kamu. Entah sejak kapan perasaan ini kembali, tapi ... aku mencintaimu.


a/n (amoeba note)

Hmmm, Felicia mau ketemu siapa ya di restoran?
yuk, kalau kepo bisa baca Selenophile : who love the moon di worknya kak @han
😍😍😍mention a user

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro