19 - 7. Spend ur day with ur friends

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kadang, kita memang harus lari, untuk memberi kesempatan hati menyembuhkan diri.

~Wahyu Astha Prihandoko~

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Jarum jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Namun, orang yang ditunggunya belum juga keluar dari ruangan. Ia menghela napas mencoba menenangkan diri. Ia memain-mainkan kakinya sementara matanya sibuk menatap ponsel dan jempolnya bergerak cepat membalas setiap pesan yang masuk kepadanya.

Suara pada knop pintu mengalihkan perhatiannya. Hatinya terasa sakit saat melihat dokter senior keluar melaluinya. Seharusnya, ia masih berada di dalam, bercanda gurau setelah penat kuliah seharian. Namun, kini apa? Ia berdiri mematung dengan tangan tersangga, menunggu teman-teman seangkatannya muncul di hadapannya.

"Hai," sapa Ludy saat melihat beberapa koas muncul dari balik pintu.

Hampir semuanya terdiam. Tidak ada yang menyangka kemunculan Ludy yang tiba-tiba di depan mereka.

"Ha-hai," jawab Wahyu.

"Ayo, pergi karaoke."

Beberapa temannya melongo, yang lainnya lagi saling pandang, dan sisanya mengeryitkan dahi. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba ia mengajak pergi karaoke? Padahal ia tahu, mereka berada di stase akhir yang pasti disibukkan oleh berbagai kegiatan, tugas, serta berbagai macam ujian yang sudah menunggu di depan mata.

Dimas menggeleng beberapa kali. "Gila," katanya sambil berlalu pergi. Tidak lama, Siska pun menyusulnya.

"Ba-iklah, kapan?" tanya Wahyu ragu. Ia memandang Bima dan Ryan yang masih berdiam mematung.

"Sekarang."

"Ha?" jawab Ryan. Dahinya mengeryit serta matanya menatap tajam ke arah Ludy.

"Maaf, aku ada piket jaga," tambahnya sambil berlalu pergi.

"Aku sama," sahut Bima sambil menyusul Ryan.

"Aku free," ucap Wahyu.

"Hanya ... berdua?"

"Sebentar kalau begitu, aku rayu temen-temen yang lain," jawab Wahyu sambil berlalu meninggalkan Ludy.

"Enggak us-"

Terlambat. Wahyu sudah jauh pergi. Ludy kembali memainkan ponselnya, mengalihkan perhatian dari sesuatu yang membuat dadanya sesak. Jika bukan karena syarat ketujuh dari Sam, ia tidak akan mau melakukan ini.

"Habiskan waktumu dengan teman," gumam Ludy. Ia mendecih, lalu menambahkan, "Bilang aja kau sibuk, sampai nggak ada lagi waktu untukku."

***

"Sekali ini aja, tolong iyain ajakan Ludy," rayu Wahyu di depan teman-temannya.

"Udahlah, Yu, kita nyerah aja sama dia. Makin ke sini makin gila dia," jawab Ryan.

"Lagi pula, salah dia juga datang nggak bilang-bilang," sahut Siska.

"Sekali ini aja, please!"

"Bukannya aku nggak mau, Yu. Aku ada piket jaga malam ini, dan aku nggak bisa bolos. Kakakku mau nikah, aku nggak bisa nambah hari di rumah sakit ini," jawab Ryan.

"Kita gantian jadwal. Aku yang piket, kamu yang libur. Please, aku mohon."

"Gila, kamu! Mana bisa!"

"Tinggal kita ganti saja jadwalnya. Mereka nggak akan sadar kecuali salah satu dari kita bocor."

"Nggak, aku nggak mau bikin masalah."

"Aku yang akan bertanggung jawab."

Ryan termenung sebentar, lalu mengangguk. "Baiklah. Tapi ingat ya, aku ngelakuin ini karena kamu, bukan dia."

"Cie...," goda Bima. Lalu bersambut dengan cie-cie yang lainnya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Ryan menyukai Wahyu. Sayangnya, Wahyu tidak pernah memberinya jawaban pasti.

"Aku ikut juga nggak apa-apa," kata Bima. "Aku bisa memalsu surat sakit."

Bagi Bima, sebuah keberuntungan karena memiliki kakak yang juga berprofesi sebagai dokter. Tidak heran, saat ia malas, ia akan membuat surat sakit dengan stempel yang ia curi dari meja kerja kakaknya.

"Aku juga nggak apa-apa bolos," ucap Dimas.

"Jangan. Aku, Ryan sama Bima aja cukup. Kalian tetap jaga. Kalau semuanya nggak hadir, bisa ada yang curiga."

***

"Hari ini, kita akan karaoke, yes?" kata Ludy sambil berlari masuk ke ruangan dengan cahaya temaram meski hari belum gelap benar.
Ketiga temannya mengekorinya dari belakang. Selain Wahyu, keduanya memasang wajah malasnya.

"Ayo, dong, kalian nyanyi duluan," kata Ludy sambil menyodorkan microphone dan remote kepada Ryan. "Kalian kan pasangan, ayo duet sana."

"Kami-" jawab Wahyu.

"Ayo," ajak Ryan menarik Wahyu maju.

Lagu jarang goyang yang pernah dipolerkan oleh Nella Kharisma langsung menggema dinyanyikan oleh dua artis dadakan itu. Seketika suasana jadi bersemangat.

Bima, yang semula hanya duduk, tiba-tiba berdiri dan bergabung dengan Wahyu dan Ryan. Mereka bergoyang dan berteriak memproduksi polusi suara. Sementara Ludy sendiri, ia memilih duduk, terfokus pada ponsel pintarnya. Keributan tiga manusia itu sama sekali tidak mengganggunya.

"Katanya kamu mau karaoke, kok malah main hape?" tanya Wahyu menghampiri Ludy.

"Ah, iya, abis ini ganti aku yang nyanyi," jawab Ludy.

Dan benar, saat lagu berhenti, Ludy bergegas meraih remote dan memilih lagu kesukaannya. Berlagak seperti penyanyi profesional, ia naik ke atas meja dan mulai mengeluarkan suara fals-nya.

Dunia belum berakhir, bila kau putuskan aku~
Masih banyak teman-temanku di sini menemaniku~
Dunia belum berakhir, bila kau putuskan aku~
Wajahku juga nggak jelek-jelek amat, ada yang mau~
Kupikir-pikir, kupikir-pikir lebih baik aku menyingkir~
Kupikir-pikir, kupikir-pikir lelah~
Dunia belum berakhir, bila kau putuskan aku~
Paling-paling juga kalau kamu mentok, balik padaku~

Sebuah getar ponsel mengalihkan perhatian Ludy. Ia letakkan begitu saja mic-nya dan mengganti dengan smartphone itu. Tangan yang tersangga satu seolah membatasi gerak multitasking-nya, dan detik selanjutnya ia kembali terhanyut dalam dunia benda persegi itu.

"Tujuan kamu ngajakin kami kesini itu buat karaoke, atau lihat kamu senyum-senyum di depan hape?" protes Ryan.

"Ih bentar, aku ... lagi kesel sama seseorang."

"Siapa?" selidik Wahyu.

"Sam," jawab Ludy dengan singkat. "Nih ya, dia bilang dia lagi sibuk kerja, tapi nyatanya malah posting foto lagi makan di restoran sendirian."

"Sam?" tanya Bima sambil mengeryitkan dahi.

"Iya, Sam, teman Wahyu. Sekarang aku tinggal di rumahnya sejak kecelakaan kemarin."

Bima dan Ryan saling pandang, seolah saling memperdebatkan cara untuk membuat Ludy berhenti bercerita topik yang tidak mereka inginkan. Seorang pria mendengar cerita pria lainnya -terlebih tidak mereka kenal- dari seorang wanita adalah hal yang benar-benar memuakkan. Mereka mengalihkan pandangan ke arah Wahyu, berharap ia bisa diandalkan. Namun, percuma, Wahyu sama sekali tidak merespon. Ia menunduk sambil meremas tangannya yang tidak pegal.

"Seumur-umur aku ketemu cowok, aku belum pernah nemu yang kayak Sam. Dia itu orangnya super baik. Dia selalu ngehibur aku, dia juga nggak pernah marah sama aku. Dia juga ngajakin aku berlibur dan ngelakuin kegiatan yang bikin hariku berwarna.

"Orangnya juga care banget. Dia ngelindungi pas aku kecelakaan, nyelamatin aku dari rasa malu karena selingkuhan Daniel. Dia bahkan pernah minjemin aku cincin couple kakaknya buat bikin iri Daniel. Pokoknya dia itu peduli banget sama aku.

"Dia itu romantis. Perkataan dan tindakannya pasti bikin hatiku berbunga. Setiap kali aku bangun tidur, selalu lihat tempelan pesan-pesan di sticky note. Tulisannya memang sederhana, tapi bagiku itu istimewa.

"Aku pengen banget nyatain perasaanku sama dia, tapi nggak yakin. Perlakuannya memang menunjukkan kalau itu cinta. Tapi, sebenarnya banyak banget sifatnya yang nggak aku pahami, kayak hari ini, yang dia bilang ada pekerjaan yang nggak bisa ditinggalkan, nyatanya sedang pergi makan sendirian.

"Terus beberapa hari yang lalu, saat kami makan malam, kami ketemu gadis yang ternyata putri direktur anak cabang perusahaannya. Kelakuannya itu nyebelin banget. Rasanya itu aku pengen nutup matanya biar nggak jelalatan lagi.

"Yu, menurutmu Sam itu orangnya gimana? Dia nggak mau terbuka sama aku, jadi aku nggak ngerti kepribadian dia yang sebenarnya itu kayak apa? Kamu kan temennya, kamu juga yang dulu udah ngenalin aku sama dia. Pasti kamu tahu banyak tentang dia, kan?

"Yu...?"

Wahyu bangkit berdiri. "Maaf, aku harus pergi sekarang."

"Yu!" panggil Ludy. Namun, bukannya berbalik, Wahyu justru berlari semakin kencang. Wahyu ingin menjauh dari Ludy secepat yang ia bisa. Ia, tidak ingin mendengar cerita tentang Sam lagi, dan semua perlakuannya terhadap wanita. Ia tidak bisa membiarkan air matanya jatuh di depan ketiga temannya itu. Ia belum siap saat semua mempertanyakan perasaan yang sudah bertahun-tahun ia pendam.

Maaf, bukan aku ingin lari, tapi aku hanya memberikan hati kesempatan untuk menyembuhkan diri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro