3 - Pengkhianat!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jangan pernah menunda pekerjaan, kecuali ingin menambah penderitaan.
Karena kita tidak pernah tahu, halangan dan tugas apa yang menunggu kita di hari esok.

~Wahyu Astha Prihandoko~

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Satu bulan sebelum kejadian itu terjadi ...

Aaarrrrgghhhh, seseorang...! Tolong hentikan waktunya,” kata Ludy sambil menyentakkan kaki beberapa kali. Sementara tangannya, dengan cepat menyalin laporan kasus yang hari ini hendak ia kumpulkan. Kecepatan menulis 105 kata per menit seolah masih belum cukup baginya untuk menyelesaikan tugas itu dalam hitungan jam.

“Makanya jangan cuma pacaran terus yang diutamain,” jawab Ryan, temannya.

“Siapa yang pacaran terus?” protes Ludy.

“Udah, sana kerjain tugasmu,” sahut Siska, teman satu kelompoknya.

“Wahai enterobius vermicularis (cacing kremi), tolong menggeliatlah di depan dr. Abe,” mohon Ludy sambil menatap karyanya yang lebih pantas disebut gelombang EKG (elektrokardiografi / alat perekam kerja jantung) dari pada tulisan.

“Makanya, kalau dikasih tugas itu buruan dikerjain. Jangan ditunda-tunda,” tanggap Bima, teman yang duduk di sampingnya.

“Iya....”

“Kalau numpuk-numpuk kan susah sendiri,” sambung Siska.

“Iya, iya! Ih!” jawab Ludy kesal.

“Untung kita dapat konsulen pas nggak killer. Coba kalau sangat killer, tamat riwayatmu,” sahut Ryan.

Ludy tidak menjawab. Ia berusaha konsentrasi sampai menghiraukan ucapan beberapa temannya itu. Meski begitu, dalam hati ia mengiyakan. Bagi koas (co assistent / dokter muda / sebutan untuk mahasiswa profesi kedokteran), pembimbing itu hanya ada tiga. Sangat killer, setengah killer, dan agak killer. Meski beda tingkatan, tapi mereka sama-sama ada killer-nya.

Bagi pemalas seperti Ludy, dibimbing oleh dr. Abe adalah suatu keberuntungan. Meski dikenal sebagai maniac asking dan pelit nilai, tapi Ludy tidak keberatan. Asal tingkatan killer-nya rendah, selebihnya bukan masalah.

“Dokter Abe sekarang masih di IBS (instalasi bedah sentral), jadi mini-cex-nya ditunda,” kata Wahyu saat masuk ke ruang koas.

Senyum Ludy merekah lebar saat mendengarnya. Bak orang yang baru menang lotre satu miliyar, ia berjingkrak senang lalu menghampiri Wahyu dan memeluknya.

“Makacih ... kamu menyelamatkanku,” teriak Ludy histeris.

Dimas berdecik, lalu berkata, “ Ingatlah, apa yang membuatmu bahagia di sini, adalah pasien yang berjuang hidup di ruang operasi.”

“Apaan, sih, kamu. Kamu sebenarnya juga senang, kan, bebas dari dokter agak killer itu hari ini? Aku ingat tadi pagi kamu kena tegur sama dia saat presentasi kasus,” jawab Ludy.

Tidak mendapat balasan, membuat Ludy merasa menang. Ia bergegas merapikan tugas yang belum selesai ia kerjakan.

“Kenapa dirapikan?” tanya Wahyu.

“Kan nggak jadi hari ini dikumpulinnya.”

“Kalau aku bilang, yang nggak jadi cuma mini-cex-nya, sementara tugas minta dititipin ke residen, dan akan beliau periksa nanti di rumah, gimana?”

“Beneran?” tanya Ludy khawatir.

Memang sangat jarang seorang pembimbing membawa pekerjaannya sampai rumah. Sebagai dokter spesialis, pastilah waktunya sangat terbatas. Bahkan kebanyakan, mereka akan memeriksa tugas mahasiswa, tepat di saat mereka akan diuji. Tapi, istilah ‘sangat jarang’ bukan berarti ‘tidak ada’, kan?

Wahyu tersenyum. “Nggak, kok. Cuma, bakal lebih enak kalau kamu selesaiin semuanya sekarang, mumpung senggang. Karena kita nggak pernah tahu, halangan dan tugas apa yang menunggu kita di hari esok.”

“Iya, aku bakal selesaiin nanti,” jawab Ludy sambil meraih ponselnya, lalu tersenyum dan hanyut dalam benda persegi itu.

Wahyu duduk di sebelah Ludy, lalu membuka buku tebal di depannya. Konsentrasinya terganggu demi mendengar tawa cekikikan dari orang di sampingnya.

“Kamu masih gandeng sama Daniel?” tanya Wahyu.

“Masih, dong.”

“Kamu...,” Wahyu memutus perkataannya.

Ludy menatap heran. Ia menyadari ada keraguan yang terlukis di wajah sahabat baiknya itu.

Wahyu menarik napas sebelum melanjutkan, “Sebaiknya mengakhiri hubungan kalian.”

Ludy mendelik. Tawa riangnya seketika hilang.

“Apa kamu bilang?”

“Dia itu bukan orang baik.”

“Aku udah sering bilang, kan? Jangan kamu fitnah dia!” bentak Ludy.

“Dia selingkuh!”

Ludy menggebrakkan tumpukan kertas ke meja Wahyu. “Kamu sudah setahun ini selalu bilang ‘dia selingkuh, dia selingkuh’, tapi nggak pernah ada bukti!”

“Udah woe! Udah!” seru Dimas yang merasa terganggu.

Namun, Ludy mengabaikannya. Ia lebih memilih untuk melampiaskan kemarahannya pada Wahyu, sekaligus memberi peringatan tegas untuk tidak mengatai pacarnya lagi.

“Kamu inginnya aku putus sama dia, terus aku konsentrasi ke kuliah, kan? Kamu udah nggak mau aku repotin buat minjemin tugas, kan?” cerca Ludy sambil melempar tugas dengan nama Wahyu Astha Prihandoko di sampulnya. “Nih, aku kembaliin punyamu. Tanpa putus pun, aku bisa ngerjain sendiri,” jawab Ludy dusta.

Sejujurnya ia akan kesulitan mengerjakan tugas-tugasnya tanpa bantuan Wahyu. Namun, harga diri memaksa bertindak sebaliknya.

“Bukan. Aku nggak masalah sama tugas. Aku cuma --”

“Oh,” ucap Ludy memutus perkataan Wahyu. “Kamu suka sama dia, kan?”

Wahyu menghela napas. Menurutnya, percuma mengajak bicara Ludy yang sedang dikuasai emosi.

Ludy menyeringai. “Nggak heran. Kamu selalu nolak kalau diajak nemenin aku nge-date sama dia. Tapi maaf aja, selera Daniel itu nggak kayak gini,” kata Ludy sambil menyentuh rambut Wahyu. “Daniel nggak suka wanita tomboy, berambut pendek, berkacamata, dan nggak mau ber-make up.

“Lud! Udah!” seru Bima dari seberang meja.

“Gimana bisa udah? Ini itu bukan sekali dua kali dia ngatain pacar aku!”

Wahyu menggeleng beberapa kali, lalu beranjak pergi meninggalkan ruang koas.

“Berhenti! Aku belum selesai!” teriak Ludy sambil mengejar Wahyu. Sayangnya, beberapa teman menghalanginya.

“Apaan, sih?” kata Ludy sambil mengibaskan lengannya. “Kalian nggak tahu aja kalau dia itu ngejar-ngejar Daniel. Sayangnya Daniel nggak tertarik sama cewek tomboy kayak dia.”

“Kamu itu harusnya instrospeksi. Wahyu itu bukan tukang bohong. Wahyu juga bukan orang yang mudah baper karena cinta-cintaan. Kita temenan sama dia itu udah hampir enam tahun,” kata Siska.

“Jadi, kamu bela dia? Kamu nggak percaya sama aku?”

“Bukan bela, tapi kamu coba kendalikan diri kamu. Jangan emosian kayak gitu. Barangkali apa yang dibilang Wahyu itu ada benarnya juga,” sahut Bima.

“Kalian semua sama saja.”

“Kalau kamu terus kayak gitu, nggak bakal ada teman yang tahan sama sifat kamu!” tambah Ryan.

“Kalau kalian memang nggak tahan, ya udah pergi aja. Jangan halangin aku. Aku nggak butuh teman macam kalian, yang bukannya bela, malah mojokin!”

“Oke, maaf, kami bukan teman yang kamu butuhkan. Dan kami juga nggak ngarap punya temen dengan sifat temperamental kayak kamu!”

“Silakan pergi kalau mau pergi! Mulai detik ini, kami nggak akan pernah nganggap kamu ada!” sahut Siska.

“Sejujurnya, demi menghargai kamu sebagai teman sejawat, kami lebih memilih diam. Namun, sepertinya kamu sudah kelewatan,” tambah Dimas.

Ludy menekuk bibir. Ia hampir menangis mendengar perkataan teman-temannya. Ia lebih memilih berlari ke luar ruangan, menuju toilet, dan menguras air mata di dalamnya.

***

“Pak, agak cepet!” pinta Ludy kepada sopir taksi online yang ditumpanginya. Beberapa kali ia mengecek jam di pergelangan tangannya.

Sudah setengah tujuh malam. Satu setengah jam lagi aku sudah harus berada di rumah sakit.

Ludy memang harus bergegas. Ia hanya punya waktu sekitar empat jam untuk menemui Daniel. Itu pun sudah terpotong dua jam karena harus mengerjakan tugasnya yang belum selesai. Sebagai dokter muda, ia memang diharuskan menghabiskan dua puluh jam per harinya di rumah sakit.

Setelah sampai, ia mempercepat langkah menuju rumah pacarnya. Ia ingin mengadukan apa yang dilakukan teman-temannya hari ini. Namun, rasa sakit hati terganti dengan debaran tidak karuan demi melihat warga yang berkerumun di tempat tinggal kekasihnya.

Daniel?Daniel kenapa?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro