4 - Maaf

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kita memang keluarga. Kita bersaudara seperti satu raga. Terluka satu, semua merasa. Tapi kamu jangan lupa. Kita dokter! Kita lebih suka mengamputasi, daripada mempertahankan jaringan sakit yang nggak bisa diperbaiki.

~Ryan~

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Ludy mempercepat langkah bergegas menemui pacarnya. Ia merasa cemas. Pikirannya berkelana membayangkan hal negatif yang mungkin terjadi pada Daniel.

"Permisi," kata Ludy sambil menyibak sekumpulan orang, berharap diberi jalan. Namun, itu bukan perkara mudah. Semua yang hadir di sana memang berdesakan ingin menonton kejadian yang berlangsung dari jarak sedekat mungkin.

Sebenarnya bisa saja Ludy menanyakan apa yang tengah terjadi pada warga, tapi akal sehat tidak mengizinkannya. Ia ingin melihat langsung, memastikan pacarnya dalam keadaan baik-baik saja.

Beruntung, tubuh langsing mampu membantunya menyelinap di antara kerumunan itu. Hingga sampailah ia pada barisan paling depan. Namun, segala sesuatu pasti ada konsekuensinya. Usaha tidak selalu berbanding lurus dengan hasil yang diterima. Begitu pula dengan Ludy. Alih-alih tenang, ia justru ternganga lebar demi menyadari kejadian yang ditangkap oleh indra penglihatnya.

Daniel duduk menunduk hanya dengan mengenakan celana kolor pendek. Di sampingnya, seorang wanita berambut panjang yang menggunakan selimut sebagai ganti busananya. Mereka berdua sedang menjalani sidang kesusilaan oleh kepala desa.

"A-apa ini?" gumam Ludy tanpa sadar.

Seorang warga yang mendengar pertanyaan lirih Ludy pun menjawab, "Itu, Mbak, mereka tertangkap basah sedang berzina di sini."

"Zi-zina?"

"Iya, Mbak, mereka lagi disidang."

Kosong.

Itulah kata yang tepat untuk mendeskripsikan apa yang tengah dirasakan Ludy. Ia tidak bisa berpikir apa-apa. Ia panik. Hormon adrenalinnya telah tepacu. Napasnya seolah terhenti, membuatnya terkesan seperti terengah-engah meski hanya berdiri. Jantungnya berdegup kencang dan keringatnya bercucuran. Tubuhnya gemetar seakan kehilangan kemampuan untuk mengendalikan dirinya sendiri. Jika bisa, ia ingin pingsan di tempat itu saja. Namun, warga yang berdesakan seolah menyangga agar raganya tidak terjatuh. She doesn't know what to do, fight or flight.

Ia menangis, tapi tidak ada seorang pun di sana yang menyadarinya. Semua terpaku pada jalannya sidang.

"Nikahkan paksa," teriak seorang warga.

"Nikahkan saja sekarang!" sahut warga yang lainnya, lalu disusul teriakan-teriakan yang serupa.

"Tenang, tenang, mohon semuanya tenang," kata kepala desa. "Mereka memang sudah berencana untuk menikah."

Kepala desa menoleh ke arah Daniel, seraya berkata, "Ayo jelaskan, Daniel, supaya warga tenang."

Daniel berdiri, dengan lantang ia berkata, "Kami memang sudah berencana mau menikah. Orangtua juga sudah setuju. Karena itulah kami berani melakukan ini. Kami mohon maaf karena ketidaksabaran kami menunggu sampai waktu itu tiba, kami justru mencemari lingkung--" Perkataan Daniel terputus demi melihat Ludy yang menangis menatapnya.

Arah mata Daniel seolah memimpin semua warga untuk melakukan hal yang sama. Menyadari dirinya menjadi pusat perhatian, Ludy melangkah mundur secara perlahan, hingga ia terlepas dari kerumunan, ia berbalik dan berlari menjauh dari tempat itu.

Daniel tidak mengejar. Lebih tepatnya, situasi dan kondisi memaksanya untuk diam di tempat. Ludy tahu itu, dan ia tidak berharap banyak. Ia hanya bisa meratapi ketidakberuntungannya. Hubungan yang sudah dua tahun ia jalani telah berakhir sia-sia. Orang yang ia bangga, justru membuatnya terluka. Orang yang ia lebih percaya ternyata mengkhianatnya.

Tidak peduli salah paham atau bukan, yang pasti itu adalah kenyataan.

***

"Pagi," Ludy menyapa teman-temannya saat memasuki ruang koas. Namun, ia hanya bisa menelan ludah kekecewaan saat menyadari semua mengabaikannya.

Bukan hanya di stase pediatri, tapi di semua bagian juga berlaku sama. Ludy hanya bermasalah dengan teman satu kelompok yang berjumlah lima orang. Namun, berita itu dengan cepat menyebar, membuat semua orang sepakat mengabaikannya. Ya, mereka bersekutu untuk mengucilkannya.

Ludy duduk di kursinya, lalu menyibukkan diri dengan mengerjakan apa pun yang sebenarnya tidak perlu ia lakukan. Meski begitu, ia tidak bisa berkonsentrasi. Kondisi psikisnya seolah mempengaruhi fisik untuk merasakan hal yang sama.

"Apa kamu masih marah?" tanya Ludy kepada Ryan yang baru duduk di sebelah kirinya. Ia merasa aneh karena tidak ada satu pun orang yang membahas keabsenannya tadi malam. Ya, Ludy meninggalkan tugas jaga malam tanpa alasan untuk mengasuh perasaan.

Pemuda itu tidak merespon. Suara Ludy seolah tidak terdengar di telinganya. Ia justru lebih asyik dengan buku saku dan bersenandung ringan, seolah mengejek kondisi Ludy saat itu.

Ludy kembali memalingkan wajah, celingukan mencari keberadaan Wahyu. Hanya dialah satu-satunya teman yang tidak pernah marah kepadanya. Namun, orang yang dimaksud tidak juga terlihat batang hidungnya. Bahkan sampai kelas hampir berakhir, ia juga belum menunjukkan tanda-tanda kehadirannya.

Ludy kembali meneguk ludah. Dari semua orang, kepada Wahyulah rasa penyesalan tertingginya bersemayam. Sesekali ia menarik napas dalam, menahan agar air matanya tidak terjatuh. Ia tidak boleh terlihat menderita, meski bekas tangis semalam masih tersisa.

"Lihat Wahyu, nggak?" tambah Ludy pada Siska yang duduk di sebelah kanannya.

Seperti dugaan, lagi-lagi ia diabaikan. Di mata mereka, Ludy hanyalah angin kosong. Suaranya kadang terdengar berisik, tapi tak punya arti. Tiga kali bertanya dan tidak dihiraukan sudah cukup membuat Ludy tidak akan membiarkan hatinya tersakiti lagi. Ia harus mengakhirnya.

"Kalian ini kenapa, sih? Aku sudah maklum sama sikap kalian kemarin. Harusnya kalian sama, dong!"

Hening. Tidak peduli sekeras apa pun ia berteriak, suaranya seolah tidak terdengar. Ia pun melanjutkan, "Katanya kita keluarga! Katanya kita saudara! Kalau ada satu yang terluka, kita semua merasakan sakitnya! Tapi ini apa? Kalian nggak peduli sama masalah yang aku punya! Kalian diemin seolah nganggap aku nggak pernah ada!"

Ludy terisak. Mati-matian ia ingin telihat tegar nyatanya gagal. Namun percuma, tidak ada yang peduli padanya. Hingga Ryan yang semula duduk tenang di sampingnya, menggebrakkan buku ke atas meja.

"Kita memang keluarga. Kita bersaudara seperti satu raga. Terluka satu, semua merasa. Tapi kamu jangan lupa. Kita dokter! Kita lebih suka mengamputasi, daripada mempertahankan jaringan sakit yang nggak bisa diperbaiki," ucapnya sambil berlalu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro