7 - Kotak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kalau kau nggak bisa percaya pada dirimu sendiri, percayalah saja padaku.

~Christian Sammy Chen~


☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆


“Kau, nggak pengen nemuin psikiater atau psikolog dulu?”

Ludy tersenyum sinis. “Buat apa? Buat ngumumin kalau aku nggak waras, gitu?”

Sam mendecih. Bibirnya melengkung memperlihatkan senyum mengejek. Kalau memang Ludy berniat menyembunyikan ketidakwarasannya, lalu yang semalam ia lakukan disebut apa?

“Memangnya, selama ini kau waras, ha?”

Ludy memalingkan wajah. Rahangnya menggereget menahan amarah. Perasaannya yang memang sangat sensitif itu mudah tersinggung hanya karena perkataan sepele. Namun, ia tak berhasrat menanggapinya.

Tidak ada jawaban membuat seringai Sam tidak terlihat lagi. Ia menyesal menggoda gadis yang sedang depresi. Ia lupa sekarang Ludy menjadi orang yang berbeda. Tidak ada lagi debat kata, sifat manja, atau pun gelak tawa.

“Maksudku, aku juga gila. Kalau kau mau ke psikiater, aku ikut.”

“Aku nggak ingin ke sana.”

“Kenapa?”

“Karena aku nggak bisa sembuh. Lagi pula, tetap hidup nggak akan mengubah apa pun.”

“Kenapa kau yakin banget?”

“Karena lukaku sudah sampai di puncaknya. Aku ragu bisa menyembuhkan diri. Dan ... kalau kamu nggak jadi membantuku, aku pergi,” kata Ludy sambil bangkit berdiri. Namun, Sam menarik tangannya hingga ia jatuh menubruk tubuh jangkung itu. Jarak mereka yang sangat dekat membuat Ludy bisa menghirup dengan jelas wangi tubuh pria penggila parfum itu.

Sam bisa merasakan jantung Ludy yang berdetak tidak karuan. Ia memamerkan senyum puasnya, lalu dengan setengah berbisik ia berkata, “Kau kira aku sofa? Turun!”

Ludy bergegas menjauh dari Sam sambil mengalihkan pandangannya ke berbagai sudut. Ia tidak ingin kembali terperangkap pada senyum maut pria berusia tiga tahun lebih tua darinya itu.

“Kalau kau nggak bisa percaya pada dirimu sendiri, percayalah saja padaku,” tambah Sam.

Ludy tidak ingin mempercayai Sam lagi. Namun, hati tidak selalu sejalan. Kata-kata Sam seolah mengikatnya. Ia sadar betul, pria rupawan itu memang punya kekuatan menyakinkan orang. Ciri khas seorang play boy kelas kakap.

Melihat Ludy yang salah tingkah, membuat Sam terkekeh. Ia lalu meraih ponsel di sakunya dan memperlihatkannya kepada Ludy. “Kau mau mati kayak apa?”

Ludy diam, tapi pandangannya tetap fokus terarah pada ponsel Sam.
“Mau kayak gini?” kata Sam sambil memperlihatkan foto tubuh yang hancur berantakan. “Kalau yang ini mudah, tinggal berdiri di tengah rel, dan tunggu kereta lewat.”

Ludy bergidik, dan membuat Sam tersenyum puas. Sam cukup yakin bahwa analisisnya kali ini tidak salah. Ketakutan Ludy belum juga berubah.

Sam memang sengaja menunjukkan gambar mengenaskan karena ia tahu Ludy tidak pernah tahan melihatnya. Ia ingat betul kecelakaan yang mereka lihat di kencan pertama mereka. Saat kebanyakan orang berkerumun menonton, Ludy justru mengajak pergi. Alasannya sederhana, Ludy tidak bisa melihat kejadian tragis semacam itu.

Sam mengeryitkan dahi mendengar alasan Ludy, mengingat posisinya saat itu adalah mahasiswa kedokteran yang suatu hari pasti familier dengan kejadian semacam itu. Lalu, sambil berkacak pinggang Ludy menegaskan bahwa itu urusan nanti. Yang terpenting sekarang adalah, mereka harus pergi.

“Atau mau yang kayak ini?” tanya Sam sambil menunjukkan foto seorang wanita yang bergantung diri.

Ludy memandang foto itu dengan lekat, tapi tidak ada ekspresi lain yang ia tunjukkan selain datar.

“Aku saranin jangan deh,” kata Sam.

Ludy melirik Sam, mempertanyakan alasannya. “Kenapa?”

“Pose dan ekspresinya jelek,” jawab Sam asal. “Tau kan alasan kita dirias saat mau dimakamkan? Biar kita tetep terlihat cantik. Jadi, mati kayak gini jelas bukan pilihan.”

“Lalu apa masalahnya kalau jelek? Toh yang cantik pun, saat jadi bangkai akan tetap jelek juga.”

“Ayolah, kecantikanmu sudah bertahan selama puluhan tahun. Dan kau tega mengusirnya di detik-detik terakhir hidupmu?”

“Kalau gitu, euthanasia-in aja aku. Biar matinya bisa sambil senyum.”

“Siapa Anastasia?”

Ludy tidak menjawab. Ia mengembuskan napas cepat untuk melampiaskan kekesalannya pada Sam. Seharusnya ia tahu, otak Sam hanya dipenuhi oleh wanita. Saat ia memancing dengan nama semacam itu, secara otomatis pikiran Sam akan tergiring kepada sekumpulkan gadis cantik dengan nama ‘sia’ di belakangnya.

Sam memainkan ponsel, lalu mengetik ‘euthanasia’ di kolom pencarian. Tidak berselang lama, berbagai penjelasan pun muncul. Ia memilih pada laman wikipedia.

Euthasia berasal dari bahasa Yunani. Eu berarti baik, dan thanatos berarti kematian. Euthanasia bisa diartikan sebagai praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit. Biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.

“Tetap aja mereka ngerasa sakit meski kurang dari satu menit,” kata Sam. “Kau juga konyol, mati kok milih-milih.”

“Kematian berbeda dengan kelahiran. Saat kita lahir, kita tidak bisa memilih kapan, bagaimana dan oleh siapa kita dilahirkan. Tapi kematian, kita bisa memilih dan memutuskan kapan dan dengan cara apa kita mati.”

Sam memerosotkan posisi duduknya, lalu melirik kepada Ludy. “Saat sekarat, seseorang itu sebenarnya berusaha untuk selamat. Kalau kau nggak percaya, coba kau tahan nafas. Kalau kau berhasil mati, aku bakal tarik perkataanku ini.”

Ludy membalas lirikan Sam. Meski begitu, keduanya memperlihatkan reaksi yang berlawanan. Sam menatap dengan mata sipit karena tertarik oleh senyumnya, sementara Ludy mendelik, lengkap dengan urat nadi yang menonjol di kedua keningnya.

“Aku lelah main-main sama kamu!” seru Ludy sambil bangkit berdiri.
Ia dengan cepat berlari, kabur dari pria mesum itu. Ia harus segera keluar sebelum Sam menariknya kembali. Sayangnya, saat ia hampir sampai, Sam sudah meraihnya dan memojokkannya ke dinding di sebelah kanan pintu.

“Aku serius. Aku akan membantumu. Tapi kau nggak sabaran banget,” kata Sam sambil mendekatkan wajahnya kepada Ludy.

Ludy bisa merasakan napas Sam dengan jelas. Jantungnya kembali berdegup kencang demi menatap mantan pacarnya itu berdiri dalam jarak yang sangat dekat dengannya.

“Kau, tunggu di sini. Dalam satu menit, aku akan kembali dan membawa sesuatu yang aku janjikan,“ tambah Sam sambil membuka pintu, meninggalkan Ludy yang masih mematung sendirian.

Tidak berselang lama, Sam kembali dengan kotak besi berukir batik di tangannya. Ia sodorkan kepada Ludy seraya berkata, “Di dalamnya, ada cara mati dengan menyenangkan dan berkesan.“

Dengan tangan gemetar, Ludy menerimanya. Ia lalu memeriksa tiap bagian dan mencoba membukanya. Namun terkunci. Sebuah kode lima digit sepertinya menghalangi kotak itu untuk terbuka.

Sam tersenyum. “Kodenya hanya aku yang tahu. Aku bakal kasih, setelah kau menyelesaikan sepuluh misi yang aku minta.”

“Aku nggak mau! Katakan kodenya sekarang.”

Sam tersenyum makin lebar. “Nggak ada sesuatu yang gratis di dunia ini. Dan kau, nggak mungkin bisa membayarnya belakangan. Jadi, aku minta di-DP.”

“Sebutkan berapa rupiah yang kamu minta.”

“Apa aku terlihat lagi butuh uang?”

Ludy terdiam dengan ekspresi kesal yang terlukis di wajahnya. Ia menarik napas dalam sambil menonjolkan urat keningnya. Betapa bodohnya ia bertanya uang pada orang dengan kekayaan tak terhingga.

“Kalau kau nggak mau ya sudah. Kembalikan,” kata Sam sambil merebut kotaknya. Namun, Ludy menangkis dan memindahkan di belakang tubuh. Ludy memang tidak punya pilihan lain. Isi kotak itu sangat menggodanya.

“Kamu bisa dipercaya?”

“Apa kau pernah kubohongi?”

“Katakan misinya.”

Sam tersenyum puas, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Ludy. Ia berkomat-kamit, membuat gadis itu mendelik kesal kepada Sam.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro