8 - 1. Cut your hair

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mengubah penampilan, biasanya bertujuan untuk mencari suasana baru. Saat bercermin, mereka akan melihat bukan diri mereka yang dulu -yang terpuruk meratapi masa lalu.

~hairstylist~

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Ludy mendongak memandang nama yang terpampang di atas sebuah bangunan mungil berwarna merah jambu. Tangan kanannya menempel di kening, bermaksud menghalangi sinar mentari yang menyilaukan penglihatan. Musim memang sedang kemarau, membuat matahari bercahaya dengan sempurna.

Ia berniat masuk, tapi langkahnya terhenti di depan pintu. Ia merasa ragu. Sekali lagi, ia mempertanyakan kemantapannya untuk mengerjakan hal yang belum pernah ia lakukan. Namun, lagi-lagi bayangan suara Sam kembali menghantuinya.

"Aku sangat ingin lihat kau punya gaya rambut baru. Jadi, potong pendek saja."

Ludy menghela napas, lalu mendorong pintunya hingga terbuka. Lagu damn i love you yang dinyanyikan oleh Agnes Monica menggema dari speaker di sudut salon seolah menyambutnya.

"Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?" sapa seorang kapster dengan ramah.

Ludy memandang sekeliling. Ruangan dalam salon itu cukup kecil, hanya ada sekitar lima buah tempat duduk klien, dengan dua steamer ozon di sela-selanya. Lumayan sepi, cuma ada tiga pengunjung termasuk dirinya. Satu sedang potong rambut, dan yang lainnya lagi masih dalam proses smooting. "Aku ... mau potong rambut."

"Mau keramas dulu?"

Ludy menggeleng sebagai bentuk penolakan.

"Mari, silakan duduk di sini." Kapster itu menarikkan sebuah kursi untuk Ludy. "Tunggu sebentar, ya, hairstylist-nya sebentar lagi selesai."

Ludy menoleh ke arah seseorang yang sedang memotong rambut di sebelahnya, lalu mengangguk ke arah kapster yang berdiri di sampingnya.

"Sambil nunggu, bisa baca-baca ini," kata kapster sambil menyodorkan sebuah majalah trend hair style terbaru.

Ludy memaksakan senyum mengiyakan, barulah gadis itu pergi menjauh lalu bergabung dengan kelompoknya. Dari sudut matanya, ia bisa melihat kapster itu tertawa terbahak-bahak sambil memperlihatkan ponselnya ke teman-teman yang lain. Ludy memejamkan mata, merasa tersinggung dengan tingkah mereka yang seolah mengejek keadaannya. Meski secara logika, ia tahu bahwa objek pembicaraan mereka bukanlah dirinya.

Ludy menutup majalah yang belum sempat dibacanya, lalu berdiri dan bersiap pergi. Namun, ia terhenti saat perkataan Sam kembali terngiang di telinganya.

"Aku sangat ingin lihat kau punya gaya rambut baru. Jadi, potong pendek saja."

Ia menarik napas dalam, lalu kembali duduk di kursinya. Tak ia pedulikan lagi tatapan para kapster yang memandangnya heran.

"Ah, buat apa mikirin penampilan. Toh sebentar lagi aku akan mati," gumam Ludy pada diri sendiri.

Tepat saat ia duduk, lagu impossible menggema menggantikan tembang terbaru yang dinyanyikan artis multitalent dalam negeri itu. Ludy mencoba tersenyum menghayati lagu James Arthur yang seolah ditujukan untuk dirinya.

Falling out of love is hard, but falling for bestrayal is worse~
Broken trust and broken hearts, i know~
Thinking all you need is there~
Building faith on love and words, and empty promise will wear, i know~
And now when all is gone, there's nothing to say.

Ludy menunduk, sementara tangannya membuka majalah dengan cepat. Ia ingin mengalihkan perhatian agar air matanya tidak mendesak keluar. Apa pun yang ia dengar, seolah menyindirnya. Ia ingin berhenti, tapi tidak bisa. Hanya lagulah yang ia rasa bisa menyuarakan perasaannya.

And my heart is broken! All my scars are open!
Tell them what i hoped would be impossible ....

"Rambutnya mau dipotong seperti apa?" tanya hairstylist membuyarkan lamunan Ludy.

"Hmm ...," Ludy bergumam sambil menyusun perkataannya. "Pendek."

Hairstylist itu mengerutkan dahi, lalu bertanya, "Pendek seperti apa?"

"Seperti itu," jawab Ludy sambil menunjuk poster artis Korea, Lee Min Ho. Namun, potongan rambut pendek dengan poni samping mengingatkannya pada Wahyu. Tidak. Ludy tidak ingin orang lain mengira ia menyamakan diri dengan wanita itu.

"Bukan, bukan!" ralat Ludy dengan cepat. "Ah, terserah aja, yang penting pendek! Atau ... ada saran?"

"Bagaimana kalau dipotong model blunt bob? Seperti gambar ini," jelas hairstylist sambil menunjuk foto salah satu artis Korea berambut pendek sebahu. "Potongan ini bisa menyamarkan bentuk wajah yang bulat. Terlebih rambut lurus seperti ini bisa menambah kesan edgy. Nanti juga dibuat poni tipis supaya kelihatan lebih menarik."

"Terserah."

Hairstylist itu tersenyum, lalu memasangkan berbagai macam perlengkapan potong rambut ke tubuh kliennya. Dengan cekatan, tangannya menggunting rambut Ludy, dan hanya menyisakan sepertiganya saja. Ludy sendiri, lebih senang memejamkan mata daripada melihat mahkota kesayangannya memendek. Namun, semakin ia memicing, bayangan suara Sam semakin terdengar jelas.

"Aku sangat ingin lihat kau punya gaya rambut baru. Jadi, potong pendek saja."

Sejak kecil, Ludy memang tidak pernah berganti model rambut. Bentuk wajahnya yang bulat tidak memberinya banyak pilihan. Dulu, saat ada orang yang mencandai kepalanya mirip bola, itu sudah membuatnya trauma. Itulah alasan mengapa ia selalu menggerai rambutnya, tidak peduli seberapa panas tempat ia berada. Ia lebih memilih keringatnya bercucuran daripada menonjolkan pipi gembungnya. Ia bahkan tidak segan melepas kesempatan menjadi anggota paskibraka hanya karena menolak memotong rambutnya.

"Lagi patah hati, ya?"

Ludy menatap hairstylist melalui cermin di depannya. Ia tidak menyangka kondisinya saat ini sangat mudah diterka.

"Banyak yang tersugesti, rambut dan masalah itu berbanding lurus. Memotong rambut sama dengan memotong masalah itu sendiri. Saat berat rambut berkurang, berkurang pula beban yang dirasakan.

"Ada juga yang mengatakan, memotong rambut itu untuk mencari suasana baru. Saat mereka melihat diri mereka di cermin, yang mereka lihat bukan diri mereka yang dulu -yang terpuruk meratapi masa lalu.

"Bahkan kemarin ada yang mem-balayage dengan warna coklat kemerahan dan keriting Korea demi totalitas."

"Lakukan juga kalau gitu."

Selama tiga jam lebih Ludy bertarung dengan aroma pewarna rambut yang membuatnya hampir muntah. Namun, itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan bau gangren yang membuatnya tidak bisa makan berhari-hari.

Meski secara tampilan ia terlihat berbeda, tapi sebenarnya ia tetap Ludy yang sama. Ia masih Ludy yang berputus asa, murung, dan terlihat tak bertenaga. Saat jalan pulang pun, ia lebih memilih menunduk, menyembunyikan wajahnya. Meski hairstylist dan para kapster mengatakan ia tetap cantik, Ludy lebih memilih mempercayai penilaiannya sendiri.

Aku bulat! Sangat bulat! Tapi baguslah, tekadku untuk mati juga semakin bertambah kuat.

Tepat saat ia hendak memasuki gerbang indekosnya, ia bertemu dengan Ryan dan Wahyu yang baru kembali dari rumah sakit. Keduanya terdiam melongo demi melihat penampilan barunya. Tidak ada yang menyangka ia mau melakukan itu. Terlebih, saat mereka ingat, Ludy pernah mengancam untuk berhenti ambil profesi andai kebijakan memakai hairnet benar diberlakukan.

"Apa lihat-lihat? Mau nertawain aku?" kata Ludy sambil beranjak pergi memasuki kamarnya. Tidak lupa ia membanting pintu, membuat kedua temannya terjingkat.

"Dia beneran gila?"

Wahyu tersenyum menanggapinya. "Ayo, cepetan balik ke rumah sakit sebelum ada yang sadar kita pergi."

Ludy menenggelamkan diri ke dalam tumpukan bantal sambil menangis sejadi-jadinya. Alih-alih malu karena penampilan baru, ia justru merasa cemburu. Ia ingin kembali menikmati kebersamaan seperti mereka, tapi tidak bisa. Teman-teman sudah tidak lagi menerimanya. Ia telah kehilangan semuanya --kehilangan sahabat yang selalu baik kepadanya.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB saat Sam kembali melongok ke luar gerbang. Itu sudah ketiga kalinya. Manusia bertudung hodie coklat tua, lengkap dengan topi, masker dan kacamata masih berdiam di arah jalan yang akan dilewatinya.

"Pak, lihat orang berdiri di sana, nggak?" tanya Sam pada satpam yang berjaga di gerbang kantor.

"Iya, Pak. Mencurigakan. Apa perlu saya periksa?"

"Nggak, nggak usah. Awasi saja dia."

"Siap, Pak."

"Aku mau pulang. Kalau dia berbuat macam-macam, kau segera ambil tindakan."

"Siap, Pak."

Rumah Sam yang hanya berjarak sekitar seratus meter dari kantor membuatnya lebih memilih jalan kaki daripada menggunakan mobil. Satu-satunya jalur yang bisa ia lalui adalah tempat orang mencurigakan itu berdiri. Sebenarnya ia bisa saja mencari rute lain, tapi harus memutar sangat jauh.

Sam memfokuskan pikiran saat langkahnya hampir mendekati orang itu. Ia sudah bersiap andai dirinya tiba-tiba diserang. Dan benar saja, saat Sam dua langkah melewatinya, ia disergap.

Dengan reflek, Sam menangkis serangan dan melayangkan tendangan mengenai ulu hati, membuat orang tersebut terpental mundur menghantam pagar dengan punggungnya. Kemampuan bela diri Sam memang mumpuni. Kiprahnya dalam dunia bisnis yang penuh persaingan membuatnya harus punya bekal untuk melindungi diri sendiri, dari saingan yang kadang melakukan cara kotor demi kepentingan mereka, terlebih ia tak memakai jasa pengawal pribadi.

Sam mengerutkan dahi. Untuk ukuran seorang penyerang, manusia berhodie itu terlalu mudah ditumbangkan.

Seperti atlet lari cepat, dalam hitungan detik satpam sudah mencapai tempat mereka. Dengan sekali gerakan, ia membekuk orang mencurigakan itu. Sam yang memang sangat murka pun bergegas membuka tudung itu.

"Sial*n!"

####

Makasih buanyak buat jodohku, HanniMaharani yang menjadi tempat riset, konsultasi, bahkan membantu merevisi tentang dunia persalonan.

"Dia nggak sadar," kata Amoeba sambil menggoyang rahangnya beberapa kali. Bibirnya menyeringai, sementara matanya melirik ke arah lapak Selenophile. "Aku sudah menginterogasinya sejak tahu dia adalah jodohku."

(Cuplikan sinema pagi, Jodohku Ternyata Hanya Memanfaatkanku) 😆😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro