#5. Amira dan Taman Bunga Kaisar Lucius

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Event Love in Sadness 2
Tema: Ratu Terakhir
Genre: Romance-Fantasy
Judul awal: Surga Milik Kita Berdua

·•0•·

Sinar matahari menembus kubah kaca, menyinari pohon syringa yang berdiri tepat di tengah-tengah taman pribadi sang Kaisar Romawi Barat, Lucius Tiberius. Aroma bunga lilac berbaur dengan bau harum mawar-mawar yang ditanam mengelilingi taman--menghasilkan wewangian alami yang menyegarkan.

Kembang-kembang clematis merambat di dinding-dinding kubah, semarak dengan kuncup-kuncup hollyhock beraneka warna--memikat tiap-tiap mata yang memandangnya. Tidak terkecuali dengan Amira, gadis itu masih saja membelalak ketika menatap keindahan taman kecil tersebut.

"Bagaimana? Kau menyukainya?" Sang Kaisar berdiri di sisi Amira, tersenyum lembut tanpa menatap langsung wajah gadis itu. Manik ungunya masih sibuk menyelisik ke pohon laburnum yang bunganya menjadi tirai penutup pintu taman. "Permaisuriku?"

Amira terkejut ketika kata terakhir yang diucapkan Sang Kaisar masuk ke dalam gendang telinganya.

Memang benar, kini status mereka berdua sudah sah sebagai suami-istri, yang berarti sebagai Kaisar dan Permaisuri, tetapi Amira masih belum bisa menerima kehadiran Kaisar Lucius di dalam hidupnya.

Bagaimana tidak? Amira sejatinya adalah putri dari seorang pemimpin militer Timur Tengah yang belum lama ini masih menjadi musuh Kekaisaran Romawi. Romawi yang gemar melakukan ekspansi ke negara-negara lain, telah berhasil menaklukkan wilayah tempat ayah Amira berkuasa, hal itulah yang membuat Amira dapat bertemu dengan Kaisar Lucius.

Sang Kaisar muda jatuh cinta pada Amira tepat ketika pandangan pertama dan ia bersikeras untuk menikahi gadis itu.

Namun, Amira masih menganggap Lucius sebagai musuh, walau Kaisar muda itu telah membebaskan wilayah kekuasaan ayahnya dari cengkeraman Kekaisaran Romawi sebagai mas kawinnya. Ia membenci Lucius yang telah membunuh kakaknya dalam pertempuran, ia masih mengutuk pria itu jauh di dalam lubuk hatinya.

"Saya masih tidak dapat mempercayai apa yang sedang saya lihat, Yang Mulia," ucap Amira setelah mengambil napas panjang. Sebisa mungkin ia berusaha agar tetap sopan dan formal. "Taman seindah ini tidak dapat saya temukan di tanah kelahiran saya. Rasanya, saya seperti sedang berada di surga."

Sang Kaisar tertawa pelan. Kali ini, pria berwajah setampan Apollo beralih menatap gadis berkebangsaan Timur Tengah itu lekat-lekat. "Mulai sekarang, surga ini juga menjadi milikmu, wahai Amira, Permaisuriku."

Tirai golden chain bergerak diterpa angin musim panas, seiring dengan pipi Amira yang tanpa sadar turut merona. Seulas senyum tulus terbit di wajah gadis berambut hitam legam tersebut. "Terima kasih, Yang Mulia."

"Kedepannya, jika kau mencariku, datanglah kemari. Aku lebih suka menghabiskan waktu di taman ini daripada di istana. Tenang saja, di sini tidak akan ada orang lain selain kita. Aku tidak mengizinkan siapa pun memasuki taman ini, kecuali dirimu." Lucius melangkah mendekati gerombolan bunga indah yang memiliki batang berduri. "Dan Quintianus tentunya, ajudan itu harus kemari untuk mengingatkanku pada tugas kerajaan," lanjutnya.

Sang Kaisar menekuk sebelah kaki dan memetik setangkai bunga mawar biru. Ia membiarkan duri dari bunga itu menusuk telapak tangannya, membuatnya berdarah.

"Apakah itu berarti Anda sendiri yang merawat taman ini?" Amira masih bergeming di tempatnya berdiri. Ia hanya memandangi pria berambut pirang kemerahan yang kini sedang berlutut memunggunginya.

"Sudah jelas, bukan?" Sang Kaisar kembali berdiri sambil membawa bunga mawar biru di genggamannya. Senyum sehangat mentari musim semi terlukis di paras eloknya. "Aku menyukai kegiatan berkebun sejak kecil. Merawat tanaman-tanaman ini membuatku merasa hidup. Selain itu, kegiatan ini benar-benar membuatku terlepas dari stres karena urusan politik."

Amira tertegun. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa sosok Kaisar yang selama ini dikiranya menyukai peperangan--karena terlalu sering melakukan ekspansi dan memulai pertempuran--ternyata memiliki hobi yang begitu damai, berkebun.

"Kau juga harus ikut merawat taman ini nantinya, Amira," tutur Lucius seraya berbalik.

Gadis berdarah Timur Tengah itu mengamati sang Kaisar yang kini sudah beranjak menuju ke gudang kecil di sudut taman, mengambil sebuah gembor, lantas mulai menyirami bunga-bunga yang ada di taman. Sosok Lucius sama sekali tidak mencerminkan seorang tiran--seperti yang sering didengarnya dari berita burung, alih-alih seorang pria lemah lembut nan baik hati.

"Baiklah, Yang Mulia," balas Amira.

Lucius tidak seburuk yang ia duga, Amira tersenyum lega mengetahui fakta itu.

***

Perhatian dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh Lucius secara konstan, akhirnya membuat Amira luluh.

'Mungkin tidak ada salahnya jika aku berusaha mencintainya juga, sebagaimana dia telah memberiku cinta tanpa memandang bahwa aku adalah bekas musuhnya.'

Di malam indah berbintang, gadis bermanik hazel itu duduk di atas ranjang sambil mengenakan gaun putih panjang tanpa dalaman. Ia telah memantapkan hati untuk sehidup semati dengan pria yang kini telah benar-benar dicintainya.

Untuk pertama kalinya, Amira masuk ke kamar Lucius dan menunggu sang Kaisar muda kembali dari rapat malamnya. Ia belum pernah tidur seranjang dengan pria itu, berbagai alasan dikemukakannya demi menolak ajakan Lucius dalam melakukan hubungan intim. Namun, kali ini, ia menginginkan hal tersebut--setidaknya hanya untuk memberikan penerus bagi sang Kaisar Romawi Barat.

Butiran pasir berseluncur melalui celah kecil di antara dua tabung kaca, menandakan waktu masih terus bergulir. Hari semakin larut, tetapi Lucius belum juga datang ke kamar untuk istirahat. Amira menjadi khawatir.

Gadis itu berjalan mondar-mandir di dalam kamar, sesekali ia berhenti di depan jendela dan memandang ke arah langit. "Mau bagaimana lagi? Hari ini dia sangat sibuk," bisiknya pada gemerlap bintang.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka, bersama dengan masuknya sosok pria yang familiar di mata Amira.

Sudut bibir Amira terangkat, gadis itu segera bergerak mendekati Lucius yang baru tiba di kamar. "Selamat malam--"

Suara Amira sontak tertahan di tenggorokan tatkala ia mencium aroma anggur dari napas Lucius. Semakin dekat, ia dapat melihat wajah sang Kaisar yang pucat, sementara urat-urat matanya terlihat memerah.

"Britania sialan!" Lucius membanting pintu. Ia mengabaikan kehadiran Amira. Luapan amarah telah menguasai dirinya. Ia berbalik, lantas meninju dinding kamar dengan begitu kuat. "Tidak akan kumaafkan!"

Darah mulai mengalir di sela-sela jarinya, tetapi Lucius tidak memedulikannya. Ia terus memukul dinding kamar walau kepalan tangannya terkoyak.

Amira menahan napas, ia belum pernah melihat sang Kaisar semurka ini. Meski begitu, ia tidak tahan melihat Lucius terus-menerus menyakiti diri sendiri.

"Yang Mulia," panggil Amira, lirih.

"Tidak akan kumaafkan!" Kalimat yang terus diulang-ulang oleh sang Kaisar menenggelamkan suara Amira.

"Yang Mulia," panggilnya. Kali ini dengan lebih keras.

Akan tetapi, seakan tengah berada di dunia yang berbeda, Lucius tetap tidak bisa mendengarkan ucapan Amira.

"Lucius Caesar!" bentaknya. Dalam satu waktu, ia mencengkram tangan sang Kaisar erat-erat supaya berhenti memukul dinding. Setelahnya, gadis itu beralih memeluk tubuh Lucius dari belakang. "Saya mohon, tenanglah. Jangan sakiti diri Anda lebih dari ini."

Aroma anggur menusuk ke dalam indera penciuman Amira, ia membenci bau itu. Namun, ia sama sekali tidak melonggarkan dekapannya dari raga Lucius meski harus merelakan kepalanya menjadi pusing.

Sang Kaisar terengah. Emosi negatif masih menyelubungi dirinya, tetapi pelukan hangat dari gadis itu membuat suasana hatinya berangsur-angsur membaik.

Lucius membuang napas panjang sebelum berucap pelan, "Mereka menghinaku." Baritonnya terdengar serak. "Mereka menghina kekaisaranku."

Pria itu menelan ludah pahit. "Seminggu yang lalu, aku mengirimkan tiga utusan untuk menagih upeti ke Kerajaan Britania--setelah hampir satu dekade lamanya mereka tidak membayar upeti pada Kekaisaran. Malam ini, utusan itu kembali ke Romawi, tetapi hanya satu orang. Dia membawa pesan dari Raja Britania yang berisi penolakan mereka untuk membayar upeti."

Ada jeda yang cukup lama sebelum Lucius melanjutkan perkataannya. "Utusan itu, dia juga membawa sebuah bingkisan. Katanya, bingkisan itu adalah hadiah dari Kerajaan Britania. Tapi isinya...."

Sang Kaisar menggantung ucapannya. Lidahnya seketika kelu dan amarah mulai kembali merasuki pikirannya. Tangan Lucius mengepal. Jika saja Amira tidak memeluknya dari belakang, ia pasti sudah kembali memukul dinding untuk melampiaskan murkanya.

"Tidak bisa dimaafkan!" desis sang Kaisar.

Pria itu menunduk, sekilas menatap darah yang menetes dari jemarinya. "Padahal, dulu mereka mengemis kepada Kekaisaran-meminta perlindungan dari ancaman suku barbar Saxon. Namun, setelah negara mereka aman, mereka lupa bagaimana caranya berterima kasih. Dasar Britania biadab!" umpat Lucius.

Amira mulai mengerti perasaan Lucius. Ia sendiri juga menjadi geram usai mendengar cerita dari sang Kaisar. Gadis berkebangsaan Timur Tengah itu telah menganggap bahwa dirinya kini merupakan bagian dari Kekaisaran Romawi, sehingga penghinaan tersebut turut melukai hatinya.

Amira kian mendekap tubuh Lucius. "Singkirkan amarah Anda, Yang Mulia. Anda lebih tahu akibat seperti apa yang akan didapatkan dari mereka yang menentang Anda."

"Aku tahu!" sergah Lucius. "Aku hanya sedikit kesal." Ia menghela napas, seraya menggerakkan tubuhnya sedikit supaya dekapan Amira melonggar.

Gadis itu melepaskan pelukannya. Sementara Lucius berbalik untuk menatap wajahnya. "Maaf. Padahal kau sudah mau menungguku di sini, tetapi aku malah merusak kesan malam pertamamu."

Amira menggeleng. "Bukan salah Anda, Yang Mulia. Ini benar-benar tidak terduga."

Lucius mengusap wajahnya sendiri. "Tidak. Sepertinya aku tidak akan menjadikan malam ini sebagai malam pertama." Pria itu melangkah ke arah ranjang, lalu duduk di bibir ranjang besar tersebut. "Aku lelah, dan aku harus mempersiapkan diri untuk hari esok yang kemungkinan akan lebih menyibukkan daripada hari biasa-karena deklarasi perang."

Amira paham akan kondisi Lucius. "Tentu saja. Beristirahatlah yang cukup untuk malam ini, Yang Mulia."

***

Salju menumpuk di sekitar taman berkubah kaca. Tirai golden chain tidak lagi terlihat, digantikan pahatan kayu yang kini menutupi pintu masuk.

Di dalam taman, udara mengalir lembap. Beberapa tanaman seperti syringa, laburnum, dan clematis menggugurkan bunganya selama musim dingin. Sedangkan bunga hollyhock mati--menuntut sang pengurus taman untuk menanam tanaman baru ketika musim semi nanti.

Hanya kembang-kembang mawar yang tetap mempertahankan mahkotanya dengan sempurna.

Seorang gadis berambut hitam legam tengah sibuk memangkas bunga-bunga mawar. Telapak tangannya kotor, juga terdapat banyak luka gores, serta kasar.

Ia mengumpulkan bunga mawar itu dalam sebuah keranjang anyam, lantas ditata secantik mungkin--seolah ia akan menghadiahkan keranjang bunga itu pada seseorang.

Seulas senyum tipis merekah di wajah cantiknya. Gadis itu segera membawa keranjang bunga ke bawah pohon syringa yang tidak berdaun.

Tepat di bawah pohon setinggi sepuluh meter tersebut, terlihat sebuah pedang yang ditancapkan ke tanah secara terbalik. Ukiran berbentuk duri-duri mawar terpahat indah di gagang pedang yang terbuat dari emas. Tidak ada karat pada besinya, menandakan bahwa pedang tersebut tetap dirawat dengan baik.

Sang gadis bersimpuh di depan pedang yang tertancap di tanah, seraya meletakkan mawar-mawar di sekeliling pedang tersebut.

"Amira, jika nanti aku tidak kembali dari Mynydd Baedan¹, maukah kau berjanji padaku untuk menggantikanku merawat taman?"

Ingatan di hari itu kembali berputar layaknya film di dalam kepalanya.

Sebuah hari di penghujung musim panas, ketika zirah perak yang dikenakan oleh Kaisar Lucius tampak berkilau ditimpa cahaya matahari. Di hari itu pula, tidak kurang dari seratus ribu pasukan sudah dikumpulkan di Ravenna--ibu kota Romawi Barat, siap diberangkatkan menuju medan perang.

"Yang Mulia, Anda pasti akan kembali. Sama seperti ketika Anda kembali dari perang-perang sebelumnya, bersama dengan kemenangan."

Suara seorang wanita kini berganti mengisi ruang kepalanya. Wanita yang tidak lain adalah dirinya sendiri.

"Kau benar."

Senyum semanis madu yang diperlihatkan oleh sang Kaisar saat itu masih melekat jelas di dalam ingatannya.

"Tapi entah mengapa aku merasa ragu. Kau tahu, Amira? Britania saat ini terlihat berbeda dengan Britania yang kukenal sepuluh tahun lalu. Semenjak raja mereka-Arthur Pendragon naik tahta, aku merasakan perubahan yang signifikan dari negara sub-Romawi itu."

Kala itu, pendar mata Lucius terlihat redup.

"Kalau begitu, sebaiknya Anda jangan pergi. Saya mengkhawatirkan keselamatan Anda, Yang Mulia."

Ketika itu, di dalam naungan lorong kastil, waktu terasa berhenti. Meski jalanan sudah dipadati oleh manusia, tetapi dunia terasa sepi. Dalam kesempatan itu, satu-satunya orang yang dapat dilihat olehnya hanyalah sosok Kaisar Lucius.

"Maaf membuatmu khawatir."

Sebuah kecupan mesra mendarat di bibirnya-membuatnya kehilangan kata-kata seketika itu juga. Selama beberapa saat, ia dan Kaisar tetap bertahan dalam momen tersebut. Hingga sang Kaisar muda menarik bibirnya terlebih dahulu.

"Tapi aku harus tetap pergi, Amira. Aku seorang panglima tertinggi, moral pasukan bergantung pada keberadaanku. Selain itu, aku tidak bisa diam saja setelah melihat orang-orang Britania itu menginjak-injak harga diriku."

Tatapan teduh dari sang Kaisar telah terpatri sempurna dalam memorinya.

"Maka dari itu, Amira, maukah kau berjanji padaku untuk menjaga taman surga kita?"

Di depan pedang yang tertancap di tanah, sang gadis menggigil. Bibir merahnya bergetar membisikkan sepatah kata.

"Maafkan saya, Yang Mulia."

Bulir air panas menetes dari matanya-mata yang sudah dipaksa olehnya untuk menatap berbagai kenyataan mengerikan.

Ingatannya beralih ketika perang Mos Badonicus telah usai dan Kekaisaran Romawi mengalami kerugian besar dalam pertempuran melawan Kerajaan Britania tersebut.

Banyak panglima tinggi yang terbunuh. Selain itu, dari seratus ribu pasukan yang diberangkatkan, hanya sekitar empat puluh ribu yang kembali ke Romawi dengan selamat.

Dalam kondisi pasca perang, ia tidak kunjung mendapatkan kabar mengenai Lucius. Bahkan para kesatria yang ikut berperang juga tidak mengetahui di mana dan seperti apa kondisi pria itu setelah hari terakhir di medan perang. Sang Kaisar muda itu seolah lenyap ditelan bumi.

Hingga beberapa hari setelahnya, Kekaisaran Romawi mendapat pesan dari Kerajaan Britania, berikut bingkisan upeti terakhir yang diserahkan oleh Britania kepada Romawi.

Ketika bingkisan itu dibuka, ia mampu melihat jelas, seonggok kepala tanpa tubuh yang wajahnya begitu dikenalinya. Kepala Lucius Tiberius.

Kenyataan bahwa sang Kaisar telah tiada, membawa Kekaisaran Romawi dalam perang perebutan kekuasaan. Hingga pada akhirnya membuat eksistensi Kekaisaran itu menjadi pudar.

Semua kenyataan itu, ia saksikan dari balik taman berkubah kaca yang tidak banyak berubah.

Sang gadis tak kuasa menahan tangis. Ia menyesali diri sendiri karena sudah mengabaikan cinta tulus dari sang Kaisar, sehingga ketika ia mulai mencintai balik, orang itu sudah pergi terlalu jauh ke luar jangkauannya.

Ia berpikir, jika saja sejak awal ia mau diajak untuk tidur seranjang oleh sang Kaisar, mungkin saat ini ia sudah memiliki keturunan dan perang perebutan kekuasaan bisa dihindari. Mungkin saja, dengan begitu, keberadaan Kekaisaran Romawi Barat masih dapat dipertahankan.

Penyesalan demi penyesalan terus berdatangan menghantuinya. Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa untuk menebus kesalahannya.

Semuanya sudah terlambat, ia tidak mungkin bisa mengubah garis takdir yang sudah terjadi.

Satu-satunya yang sanggup ia lakukan hanyalah merawat taman--seperti permintaan terakhir sang Kaisar.

Gadis itu menyapu air mata yang jatuh di pipinya, lantas berusaha kembali tersenyum walau bibirnya masih bergetar. Perlahan, telapak tangannya bergerak mengusap-usap tanah yang dibawahnya tertanam kepala Lucius Tiberius.

"Namun, saya berjanji akan terus menjaga taman ini--taman surga kita berdua."
[]

Karanganyar, 19 Juni 2023

Catatan kaki:
(¹) Mynydd Baedan = daerah perbukitan yang terletak di Wales Selatan
→ Referensi cerpen: Legenda Arthurian

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro