Chapter 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Flashback On ....

Wajah Fia terdapat memar di pipi serta cakaran, sedangkan Rima mengalami luka lebam di kening serta bibir. Pakaian seragam mereka sudah lusuh dan berantakan.

"Kau!!!" geram Fia.

Fia merasakan perih di pipi akibat di cakar oleh Rima. Ia tak terima diperlakukan seperti itu. Ia menonjok keras tepat di mulut Rima. Terlihat ada bekas luka sobekan di mulut hingga mengeluarkan darah segar.

"Aww!" rintih Rima kesakitan serta nyeri.

Rima ingin membalas. Ia mengambil jarak beberapa langkah mundur. Ponsel hijaunya terus berdering di saku baju. Ia memilih untuk melihat ponselnya, lalu sebuah pesan baru masuk. Tidak ada nama pengirim, itu berarti nomor tak dikenal.

Degh?!

From : 081xxxxxxxxx

'Kau harus mati, Rima! 😊'

Isi pesan itu membuat debaran jantung Rima berdetak kencang. Rima tak bisa berkata apa-apa. Tadi pagi ia juga mendapatkan pesan yang sama berisi teror juga.

"Aku tidak ingin mati!"

Rima menjambak rambutnya. Ia bergerak ke kanan kiri seperti orang kesurupan.

"Hei! Kau sudah gila!" sahut Fia heran.

Drrtt!!

Fia berdecak kesal. Dering ponselnya sangat mengganggu sekali sejak tadi. Ia pun membuka pesan itu dan ... kedua iris mata Fia melebar sempurna.

From : 081xxxxxxxxx

'Selamat menikmati hari-hari terakhirmu dengan kematian 😊'

"Apa-apaan pesan itu?!"

Fia membuat ponselnya sembarang tempat. Ia menyandarkan tubuh di belakang rak berisi buku Fisika.

"Aku ... tidak mau mati," ucapnya gelisah.

Buku-buku jatuh dari atas rak. Fia berhasil menghidari, hingga sebuah benda terjatuh mengenai kepala. Ia mengambil benda itu dan ... setangkai bunga Amarillys sudah ia pegang.

"Ahh!! Bunga kematian!" jerit Fia histeris. Ia sampai membuangnya entah kemana.

Di sisi Rima, ia juga mengalami hal yang sama. Ia tak sengaja melihat tas milik Yoga bergambar Diego yang sedikit terbuka. Ia melihat ada sesuatu yang menarik perhatiannya dan saat ia ambil, ternyata setangkai bunga Amarillys.

"Tidak!"

Rima langsung menaruh kembali ke dalam tas. Ia tutup rapat, lalu ia buang tas milik Yoga jauh-jauh.

🌺🌺🌺🌺🌺


Rima terlihat semakin kehilangan kendali. Ia tak bisa berpikir jernih. Ia menatap Fia lekat-lekat. Kejadian setahun lalu seakan terulang kembali.

"Kau pembunuh!"

"Tidak! Aku tidak melakukan apapun!"

"Pembohong!"

"Tidak!"

Rima teringat kali berjumpa dengan Fia. Dulu gadis itu selalu membuly dirinya tanpa sebab. Ia sendiri tidak bisa melawan.

Drrttt!!!

Ponsel Rima berdering. Sebuah pesan baru telah masuk. Di sana tertulis 'Kalian semua pembunuh!'

"Tidakk!!!"

Rima menjambak rambutnya keras hingga helaian rambut rontok. Tiba-tiba pandangan mata kosong. Ia berlari cepat menuju ke ruangan klub pustakawan.

Fia heran melihat kelakuan aneh Rima. Ia pun mengambil ponsel miliknya yang ia jatuhkan sebelumnya di dekat rak buku matematika.

"Aku harus mengikutinya," gumam Fia.

Di ruangan klub pustakawan...

Rima berdiam diri di atas bangku. Ia sudah memegang sebuah kater di tangan kanan dan pulpen dengan ujung sangat runcing di tangan kiri. Ia tersenyum lebar.

Krekk!!

Fia membuka pintu perlahan. Ia melihat Rima menyayat seluruh wajah dengan kuter. Darah menetes dari ujung kater.

"Dia benar-benar gila!" cibir Fia.

Ia memutuskan untuk masuk lebih dalam. Bukannya menghentikan, Fia malah berdiri dengan gaya angkuh di depan Rima.

Rima bersiap untuk menusukan ujung pulpen yang runcing tepat di depan mata kanan. Air mata mengalir bercampur dengan darah. Rasa purih mungkin sudah dirasakan Rima, jika ia sadar.

"Aku ... telah berusaha menutupi semua itu. Semoga kau tenang di sana ... Ferry."

Jleb!!

Rima menusukan sebanyak tiga ke arah bola mata kanan. Ia juga menusukan ke mata kiri. Cairan berwarna putih berubah menjadi merah. Kedua mata Rima terlihat bolong.

"Ueekk!!"

Fia memuntahkan seluruh makan siangnya. Ia tidak sanggup melihat aksi bunuh diri Rima. Kondisi Rima sungguh mengenaskan.

"Hei ... hentikan!"

Rima menatap Fia walau kedua bola matanya telah hancur. Ia turun dari atas kursi. Ia perlahan duduk, lalu sebuah senyum kesedihan terlihat. Kater berhasil menyayat leher Rima.

Nafas Rima tersenggal-senggal. "Aku ... sudah membalas dosaku," ucap Rima untuk terakhir kalinya.

Bunga Amarillys terjatuh di antara kedua mata Rima yang bolong.

"Aaaaaaa!!!!"

Rima telah tewas. 😊

🌺🌺🌺🌺🌺

Fia terduduk lemas. Ia ingin segera pergi dari tempat itu, tetapi ponsel miliknya berdering. Dengan rasa takut ia membuka pesan tersebut.

'Sekarang giliranmu ... pembuly! 😃'

"Tidak! Itu semua bukan ideku!"

Fia menjerit histeris. Namun, nafasnya seakan tercekat. Tiba-tiba kedua pandangan menjadi kosong serta tubuh terasa kaku.

Terdapat sebuah gunting di atas meja. Fia mengambil batang itu tanpa berpikir panjang. Ia memotong sisi kanan dan kiri rambut asal. Helaian rambut terjatuh menyentuh lantai dan seragam.

"Tidak ... aku bukan dalang dari kejadian setahun yang lalu."

Fia berucap tanpa ia minta. Ia menatap gunting di tangan. Ia tusuk cepat ke mata kanan. Cipratan darah membasahi isi ruangan.

Fia kembali melakukan aksi di luar nalar pikirannya. Ia menusuk bahu kanan lalu beralih ke kiri. Darah merembas membasahi seragam cokelat tua miliknya.

Beberapa kenangan indah bersama dengan satu orang gadis yang memiliki tubuh tinggi. Gadis itu mengenakan pakaian seperti seorang laki-laki. Rambut pendek menjadi ciri khasnya.

Ia sering disangka-sangka seorang laki-laki bagi yang baru mengenalnya. Fia dan gadis itu selalu bersama-sama di manapun mereka berada. Bebeberapa orang mengira keduanya memiliki hubungan khusus lebih dari sekedar 'sahabat'.

"Senyummu selalu membuat aku ceria ... Heny-senpai."

Kenangan itu langsung menghilang digantikan seorang gadis bersimpah darah setelah tertabrak sebuah truk di depan gerbang sekolah. Fia terdiam kaku melihat pemandangan itu. Ia harus kehilangan orang yang berarti baginya.

"Tidak! Aku bukan pembun---"

Sebelum menyelesaikan perkataan, Fia menusuk tepat di tengah tenggorokan. Ia terjatuh di lantai dengan bermandikan darah.

"Ka-kauu...," ucap Fia sambil menujuk ke atas.

Bunga Amarillys terjatuh di dekat gunting yang masih tertancap di tenggorokan.

Fia pun menghembuskan napas untuk terakhir kalinya. Di ruang klub pustakawan kini menjadi saksi kematian dua murid kelas 2-E.

Fia telah tewas. 😊

Flashback Off...

🌺🌺🌺🌺🌺

Prangg!!

Seseorang baru saja terjatuh dari lantai tiga menembus jendela. Pecahan kaca terurai di sekitar lokasi kejadian.

"Tidak?!

Bukan aku pembunuhnya!"

Langkah kaki berlari cepat hingga menghilang di balik lorong. Tak ada saksi mata atas kematian seseorang yang baru terjatuh selain 'dia'.

🌺🌺🌺🌺🌺

"Icha!"

Gadis yang memiliki senyum seperti kucing menghentikan larinya. Ia melihat kedua temannya menghampiri dirinya.

"Shia! Raka!" seru Icha.

"Aku takut ... tolong lindungi diriku ini."

Raka dan Shia saling melirik bingung. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Icha??

🌺🌺🌺28🌺🌺🌺

{23/02/2021}

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro