1. Pilihan Gila!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ini bukan cerita baru, melainkan cerita yang sudah kelar dan akan saya repost di sini. Akan ada perubahan setting; alur, waktu atau tokoh dari yang asli. Untuk yang asli ada di KBM App, ya. Di sini akan saya posting sampai habis, insyaallah.



Tidur nyamanku terganggu ketika mendengar suara Mama menyebut namaku. Aku masih ingin menikmati tidur nyaman ini. Mata masih kupejamkan tanpa ingin membalas ucapan Mama yang masih berusaha untuk membangunkan aku.

"Bangun, Sofia. Papa sudah nunggu kamu di ruang keluarga. Jangan bikin Papa makin marah karena kamu nggak mau bangun."

"Nanti, Ma. Ratu masih ngantuk." Aku membalas dalam keadaan mata terpejam.

"Masih belum bangun?" Terdengar suara Papa bertanya pada Mama.

Aku masih enggan untuk bangun. Lebih baik aku tidur, menikmati hari kemenanganku karena telah merusak hubungan Keandra dan pacar barunya. Pacar barunya adalah sahabatku, Dea. Dia merebut Keandra dariku.

Mata kukerjapkan ketika merasa ada air tumpah di atas tubuhku. Aku beranjak duduk. Benar. Pakaianku basah. Tatapan kulempar ke arah samping tempat tidur. Mataku terbuka sempurna ketika mendapati Papa berdiri di depanku saat ini.

"Kenapa? Minta diguyur lagi?" tanya Papa dengan raut kesal.

"Kok Papa siram Ratu, sih?!" tanyaku kesal.

Papa meraih sesuatu dari saku jasnya. Terlihat sepucuk kertas di tangan Papa. "Kamu urus sendiri masalahmu. Papa sudah nggak mau ikut campur lagi dengan polisi." Papa melempar kertas itu di hadapanku.

Aku menghela napas. Sudah biasa seperti ini. Nanti akan kembali seperti biasa jika amarah Papa mereda. Tatapan kulempar ke arah Mama, lalu tersenyum ramah. Berharap Mama mau membantuku lagi untuk yang ke sekian kali. Mama terlihat menghela napas. Aku mengedipkan mata beberapa kali pada Mama. Kedipan merayu seperti biasanya.

"Kamu sudah keterlaluan kali ini, Sofia. Mama nggak tau harus bujuk Papa dengan cara apalagi. Kamu selalu cari masalah dan kali ini yang kamu ajak berantem masuk rumah sakit. Kamu bujuk sendiri Papa supaya memaafkanmu. Mama capek lihat kamu seperti ini terus," kata Mama.

"Ma, plis, kali ini saja." Aku memohon.

"Ini sudah hampir ke sekian kali kamu bikin masalah. Dan masalah ini paling parah. Kenapa kamu selalu cari masalah di luar sana?" tanya Mama dengan raut kecewa.

Napas kembali kuhela. Aku bukan mencari masalah, tapi aku mempertahankan apa yang tak ingin kulepas, dan dia merebut apa yang seharusnya menjadi milikku.

"Ratu nggak cari masalah, Ma. Dea yang cari masalah sama Ratu lebih dulu." Aku mengelak.

"Temui Papa dan minta maaf. Mama nggak bisa bantu kamu kali ini." Mama berlalu dari hadapanku setelah mengatakan hal itu.

"Ah, Mama! Bantu Ratu, dong!" seruku.

Mama tak menghiraukan ucapanku. Aku beranjak dari ranjang karena tak betah pakaianku basah. Kertas di atas ranjang kuraih dan kuremas, lalu membuangnya ke lantai.

Setidaknya aku puas tadi malam karena sudah mengacaukan acara itu, membuat Keandra dan Dea malu. Dea pantas mendapat balasan itu karena sudah merebut Keandra dariku. Tak peduli dia masuk rumah sakit akibat doronganku hingga dia jatuh dan membentur meja. Yang terpenting dia jera dan tak lagi mendekati Keandra. Tak ada yang boleh menjadi pacar Keandra kecuali aku. Keandra milikku sampai kapanpun.

Lebih baik aku mandi dan siap-siap untuk ke rumah Ana. membuang jenuh. Dia pasti akan kaget jika tahu aku membuat hubungan Dea dan Keandra berantakan. Aku sudah tak sabar ingin menceritakan kejadian semalam pada Ana dan melihat ekspresinya.

Aku menatap cermin untuk memastikan pakaian yang kukenakan sudah rapi dan sesuai. Senyum kusungging karena apa pun yang kukenakan tak akan terlihat jelek. Aku akan terlihat cantik pakai pakaian apa pun. Seperti pakaian yang kukenakan saat ini. Siapa dulu? Sofia Ratu Mumtaza.

Setelah puas menatap diri dari pantulan cermin, aku mengedarkan pandangan ke sekitar untuk mencari kunci mobil dan ponsel. Di atas kasur tak ada. Di atas meja pun tak ada. Seingatku, semalam benda itu aku letakkan di atas meja. Aku masih berusaha mencari benda-benda itu. Benda-benda itu sangat penting dalam kehidupanku. Aku tak bisa hidup tanpa benda-benda itu.

Di mana hape dan kunci mobil? Aku sudah cari ke mana-mana tapi nggak ada. Apa mungkin ketinggalan di ruang keluarga? Tapi nggak mungkin. Tadi malam aku masih mainan hape sebelum tidur.

Aku beranjak keluar dari kamar untuk bertanya pada Mama atau pembantu. Mereka pasti tahu dan melihat benda-benda milikku. Tak mungkin benda-benda itu hilang.

"Ma!" seruku ketika keluar dari kamar.

Tak ada jawaban. Aku bergegas menuruni tangga dengan cepat karena ingin segera melihat kunci mobil dan ponselku, karena aku harus segera ke rumah Ana. Kulihat Mama dan Papa ada di ruang keluarga. Aku menghampiri mereka.

"Ma, lihat hape sama kunci mobil Ratu nggak?" tanyaku pada Mama.

"Duduk," kata Papa.

"Ratu sibuk, Pa." Aku menolak.

"Duduk!" seru Papa.

Mata kujulingkan, menuruti perintah Papa, duduk di single sofa. Malas. Yang aku butuhkan hanya ponsel dan kunci mobil, bukan ceramah Papa yang tak jelas seperti kejadian sebelumnya. Tak jauh dari ceramah agar aku berubah. Aku bla, bla, bla, bla, bla.

"Sebentar lagi polisi akan datang dan bawa kamu ke kantor polisi. Hape dan mobil Papa sita. Kartu kamu juga Papa blokir. Papa sudah muak menghadapi sifat kamu yang nggak mau diatur."

"What?! Jadi Papa yang ambil hape sama kunci mobil Ratu? Papa tega sama Ratu? Ini bukan masalah besar, Pa. Ini masalah kecil. Biasanya Papa nggak kayak gini ke Ratu." Aku protes.

Tak ada jawaban dari Papa. Aku menatap Mama. Mama hanya diam. Ekspresinya sulit kuartikan. Perhatianku teralih ketika mendengar suara bel menggema.

"Nah, polisi sudah datang buat jemput kamu. Kamu siap-siap buat ikut mereka ke kantor polisi tanpa didampingi siapapun." Papa angkat suara.

"Pa. Papa nggak lagi bercanda sama Ratu, 'kan?" tanyaku penasaran. Berharap ucapan Papa tak serius.

"Kita lihat saja." Papa terdengar cuek.

"Ma. Ini serius?" Aku menatap Mama.

Mama tak membalas.

"Mama!" seruku.

"Maafin Mama, Sof. Mama nggak bisa bantu." Mama angkat suara.

"Pak. Ada tamu di luar."

Perhatianku teralih ketika mendengar pembantu menyampaikan jika ada seseorang yang datang. Papa beranjak dari sofa, lalu meninggalkan ruangan ini. Aku masih menatap punggung Papa yang berjalan menuju ruang tamu.

"Ma. Papa cuma nakut-nakuti Ratu doang, kan? Papa nggak serius masalah ini? Ini bukan kejadian besar, Ma. Dea hanya pura-pura sakit." Aku menatap Mama dengan ekspresi memelas.

"Bukan kejadian besar? Teman kamu sampai masuk rumah sakit, kamu masih bilang ini masalah kecil? Sekarang mereka nggak mau cabut laporan dari kantor polisi mengenai masalah ini, apa kamu masih tenang? Kamu benar-benar sudah berubah semenjak pulang dari Jerman, Sofia. Kamu susah diatur. Kamu banyak menghabiskan uang. Kamu sering bikin malu keluarga ini. Kamu ini kenapa sih, Sof? Kenapa nggak bisa sekali saja bikin Papa dan Mama tenang?" Mama menatapku kecewa.

Aku bergeming. Apa yang kulakukan pada Dea belum seberapa. Dia hanya aku dorong dan terbentur meja. Apa itu masalah besar sampai dirawat di rumah sakit? Ini hanya alasan dia saja.

Terdengar suara alas kaki mengalihkan perhatianku. Kulihat Papa menghampiri ruangan ini diikuti dua orang di belakang Papa.

"Mereka akan bawa kamu. Kamu ikut mereka dan jelaskan pada mereka mengenai kejadian semalam di kantor polisi. Papa ingin lihat, kamu bisa apa di sana selain cari masalah," ucap Papa sambil duduk di sofa.

"Pa. Ratu sudah jelaskan ke Papa kalau ini bukan masalah serius. Dea cuma pura-pura sakit. Papa nggak percaya sama Ratu? Papa sayang kan sama Ratu? Kenapa Papa tega biarin Ratu ke kantor polisi sendirian tanpa didampingi? Apa Papa sudah nggak peduli lagi dengan Ratu? Ratu anak Papa, Pa. Hanya karena masalah ini, Papa tega lihat anaknya ke kantor polisi tanpa didampingi pengacara? Papa yakin nggak akan malu?" Aku mencecar Papa.

"Biarlah Papa malu kali ini daripada harus terus menutupi keburukanmu. Papa sudah cape nasehatin kamu. Mungkin dengan cara ini kamu bisa belajar dan berpikir sebelum bertindak," balas Papa datar.

"Pa ..." Aku menatap Papa dengan raut memelas.

"Baik. Papa kasih pilihan ke kamu."

Aku menatap Papa serius.

"Pilihannya adalah, kamu mau masuk penjara atau pondok pesantren?" tanya Papa.

"What?!" Aku menatap Papa tak percaya.

"Hanya itu pilihannya."

"Nggak ada pilihan lain?" Aku protes.

"Tinggal pilih. Waktu kamu nggak lama."

"Tapi, Pa-"

"Satu."

"Dua."

"Tiga."

Haduh. Kenapa jadi kayak begini akhirnya? Kenapa Papa cuma kasih pilihan itu?

"Enam."

"Tujuh."

"Delapan."

"Oke. Ratu akan pilih sesuai keinginan Papa." Aku memberi keputusan.

Ini seperti bumerang untukku. Aku tak menyangka jika Papa akan melakukan hal ini padaku. Ini tak seperti biasanya. Biasanya, Papa hanya memarahiku dan tak memberi pilihan serius seperti ini. Semoga saja ini hanya trik Papa untuk membuatku jera. Aku tak akan serius menanggapinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro