2. Surat Perjanjian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Udah nggak sabar kan nunggu part selanjutnya.
Tap bintang dulu deh sebelum baca.
Nanti aku double up lagi.



Entah apa yang harus kulakukan saat ini. Pilihan yang diberikan Papa sangat sulit. Aku tak mau masuk penjara, dan aku juga tak mau masuk pondok pesantren. Apa kata teman-teman jika aku masuk ke sana? Sama saja masuk penjara, hanya beda label saja penjara kriminal dan penjara batin. Aku tak akan mau memasuki dua tempat itu.

Sejak kemarin aku berpikir keras untuk menghindari dua pilihan itu. Satu pilihan sudah terlewati. Kini tinggal pilihan pondok pesantren. Papa benar-benar sudah tak sayang denganku. Bagaimana mungkin Papa menginginkan aku masuk ke pondok pesantren? Papa pasti tahu jika aku tak akan bisa bertahan jika tinggal di sana.

Aku mengacak rambut kesal karena teman-temanku tak bisa membantu dengan banyak alasan. Ah, mereka sama saja mengesalkan. Padahal aku hanya meminta bantuan menginap di rumahnya beberapa hari, tapi semua temanku tak bisa diandalkan di saat aku butuh bantuan. Lalu aku harus bagaimana? Aku tak mungkin kabur dari rumah tanpa ada tujuan. Ke rumah tante pun pasti mereka akan lapor ke Papa.

Kepalaku pusing. Entah aku harus bagaimana sekarang. Tatapanku tertuju pada tas berisi pakaian yang sudah kusiapkan untuk pergi dari rumah ini. Jalan ninjaku hanya kabur. Tapi aku masih memikirkan hidupku jika pergi dari rumah ini.

"Papa ..." Aku menghentakkan kaki ke lantai karena kesal.

Mau lama atau cuma tiga puluh hari sama saja akan membuatku menderita tinggal di pondok. Aku harus melakukan semuanya sendiri selama tiga puluh hari di sana.

Terdengar pintu kamarku terbuka. Pandangan kulempar ke sumber suara. Kulihat Mama berjalan masuk ke dalam kamar ini. Aku menatap Mama kesal. Mama tega padaku karena tak mau membantu.

"Kamu sudah siap mau ke pondok?" tanya Mama.

"Enggak! Siapa yang mau ke pondok? Ratu nggak mau!" Aku membalas kesal.

"Itu tas buat apa?" Mama terdengar penasaran. Mungkin karena melihat tas yang sudah kusiapkan untuk kabur.

Aku tak membalas pertanyaan Mama. Masih kesal padanya karena tak mau membantuku.

"Kamu mau kabur dari rumah ini?" tebak Mama.

"Iya! Ratu mau kabur saja. Mama sama Papa sudah nggak sayang sama Ratu. Buat apa Ratu masih tinggal di rumah?!"

"Sof ... Mama dan Papa bukannya nggak sayang sama kamu. Coba saja kamu nggak bikin masalah, mungkin Papa nggak akan seperti ini. Kalau Mama dan Papa nggak sayang sama kamu, mungkin kamu nggak akan sampai tumbuh besar seperti ini. Papa hanya ingin kamu intropeksi diri, makanya Papa masukin kamu ke pondok. Papa masukin kamu ke pondok karena sayang dan ingin lihat kamu berubah, Nak. Apalagi kamu anak satu-satunya Papa. Tentu Papa ingin kasih yang terbaik buat kamu." Mama mulai kambuh ceramah ketularan Papa.

"Sama saja. Mama dan Papa nggak sayang sama Ratu." Aku merebahkan tubuh, menarik selimur agar menutupi seluruh tubuh.

"Kamu tau konsekuensi kalau kabur, kan? Papa serius nggak akan terima kamu kembali di rumah ini dan akan dicoret dari daftar waris. Pikirkan lagi Sofia. Hanya selama tiga puluh hari kamu tinggal di pondok. Setelah itu, kamu bebas dan fasilitas kamu akan dikembalikan."

Aku menutup telinga dengan bantal. Tak peduli! Aku tak peduli dengan ucapan Mama. Mereka sudah tak sayang denganku. Mereka tega! Tega! Aku tak mau tinggal di pondok. Pondok pesantren adalah penjara. Penjara!

***

Sudah beberapa hari aku mengurung diri di kamar. Keluar kamar pun tak ada tujuan. Sangat jenuh. Bagaimana aku akan keluar kamar sedangkan semua orang di rumah ini sudah tak peduli padaku. Bahkan pembantu tak dibolehkan Papa untuk melayani aku, termasuk Bi Darmi yang sudah merawat aku sejak kecil. Bagaimana mau keluar dari rumah sedangkan uang, ponsel dan kunci mobil disita Papa. Rasanya aku seperti dipenjara dalam kamar layaknya Rapunzel.

Sudah tak ada pilihan lagi. Papa benar-benar tega padaku kali ini. Aku memang sering membuat mereka kesal, tapi apa harus dengan seperti ini menghukumku? Semakin lama aku mengambil keputusan, maka akan semakin lama aku tersiksa. Kabur pun sudah tak bisa dan justru akan menimbulkan masalah baru.

Aku melangkah keluar dari kamar. Menuruti keinginan Papa adalah jalam terakhirku. Demi fasilitasku kembali dan demi terbebas dari hukuman Papa. Aku ingin semuanya kembali seperti biasa. Hanya tiga puluh hari tinggal di sana. Ya. Aku harus berani menerima tantangan dari Papa.

Napas kuhela ketika tiba di lantai bawah. Kulihat Papa sedang membaca koran di teras samping rumah. Aku melanjutkan langkah untuk menghampiri beliau.

"Kapan Ratu akan berangkat ke pondok?" tanyaku ketika tiba di dekat Papa.

Papa tak menatapku, masih fokus pada koran yang beliau baca. "Sudah mantap menerima tantangan Papa?" tanya Papa.

"Mau nggak mau daripada Ratu mati disiksa Papa," balasku jutek.

Papa tersenyum. Senyum mengejek. "Kalau sudah siap, besok atau lusa bisa langsung berangkat. Itu kalau kamu mau."

"Besok nggak masalah Ratu berangkat. Lebih cepat lebih baik biar Ratu cepat bebas dari penjara berlabel pondok."

"Jaga ucapanmu, Ratu. Pondok pesantren tempat suci, jangan samakan dengan tempat para Napi." Papa terdengar kesal.

What ever. Bagi Ratu sama saja, Pa. Pondok pesantren itu penjara bagi Ratu!

"Kamu akan merasakannya di sana bagaimana rasanya perjuangan. Bagaimana jadi anak yang baik." Papa kembali bersuara.

Aku berjalan meninggalkan Papa. Tak mau semakin lama mendengar ceramahnya yang akan membuatku semakin jenuh. Masih banyak yang harus kupersiapkan selama tinggal di sana. Pandangan kuedarkan ketika tiba di ruang tengah. Terlihat gelap, tapi bagikut terasa suram semenjak semua orang di rumah ini berubah. Langkah kulanjutkan untuk menuju kamar.

Setelah tiba di kamar, aku bergegas meraih koper untuk menyiapkan apa saja yang akan kubawa ke sana. Semua pintu lemari kubuka. Pandanganku menjelajah ke setiap pakaian yang bertumpuk dan digantung. Aku akan membawa pakaian paling bagus di sana. Tak ada yang boleh menyamaiku.

Pakaian, sepatu, Jam tangan, dan benda-benda lain sudah terkumpul dan siap untuk kubawa. Ternyata tak muat satu koper. Aku akan memakai dua koper untuk mengangkut barang-barang yang akan kubawa.

Perhatianku teralih ketika mendengar pintu kamarku terbuka. Kulihat Mama masuk ke dalam kamar ini. Aku menjulingkan mata.

"Ini semua mau kamu bawa, Sof?" tanya Mama.

"Ya iyalah, Ma. Masa mau aku buang," balasku sambil memasukkan botol-botol parfum ke dalam koper.

"Tapi nggak harus sebanyak ini. Dan kenapa kamu bawa baju-baju kayak gini? Kamu harus bawa baju yang sopan." Mama menegurku.

"Suka-suka Ratu, dong, Ma. Bukannya yang penting Ratu tinggal di sana selama sebulan? Nggak ada perjanjian dari Papa mengenai baju. Jadi Ratu mau bawa baju apa saja ya terserah Ratu." Aku tak peduli dengan ucapan Mama.

"Ya sudah terserah kamu. Kalau nanti kamu malu di sana, jangan salahin Mama dan Papa. Mama sudah ingatin kamu, Sof. Semoga kamu betah di sana. Ingat pesan Papa, jangan kabur. Kalau kamu kabur justru akan jadi masalah baru dengan Papa."

"Sudah ceramahnya? Kalau sudah mending Mama keluar. Ratu pusing dengan ceramah Mama." Aku mengusir Mama.

"Kurangi bawa bajunya. Jangan sebanyak itu. Bawa yang perlu saja. Kamu cuma tinggal di sana sebulan, bukan mau menetap di sana." Mama kembali menceramahiku.

Aku tak peduli. Biarkan aku bawa semua ini. Pokoknya aku harus bawa semua barang-barang ini. Semua barang ini aku butuhkan selama di sana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro