3. Mimpi Buruk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua sosok berpakaian serba hitam berdiri di depanku. Wajah mereka tak terlihat. Semua serba hitam. Aku dipaksa ikut bersama mereka, tapi aku menolak. Mereka menyeret kedua lenganku agar ikut bersamanya.

"Aku nggak mau ikut!" seruku sambil memberontak.

Mereka tak membalas, masih menyeretku agar ikut bersamanya. Aku masih terus memberontak karena tak ingin ikut mereka. Pandangan kutolehkan ke belakang. Gelap dan sepi.

"Tolong!" seruku meminta tolong.

Tak ada balasan. Aku terkesiap ketika mereka mendorong tubuhku hingga terjatuh. Hanya bisa mengaduh karena perbuatan kasar mereka. Tatapan kulempar ke arah tangan. Entah sejak kapan tanganku diikat seperti ini.

Aku kembali menatap kedua orang itu. Salah satu dari mereka memegang cambuk.

"Kalian siapa? Kenapa aku di sini? Dan kalian mau apa?" tanyaku pada mereka.

Salah satu dari mereka menyambukku. Aku teriak mengaduh karena rasanya amat terasa sakit di punggungku. Mereka kembali menyiksaku.

"Apa salahku?!" seruku sambil menangis. Rasanya sangat sakit.

"Salahmu karena telah banyak berbuat dosa," balas dari salah satu mereka.

Mereka kembali mencambuk tubuhku. Entah dosa mana yang mereka maksudkan. Aku tak tahu. Aku kembali mengaduh saat mereka terus mencambuk.

"Ampun! Ampun!" seruku minta ampun. Sudah tak sanggup lagi rasa sakit yang terasa. Tubuhku seperti akan mati.

Mereka mengabaikan ucapanku, masih terus mencabuk tubuhku. Berulang kali aku minta ampun karena tak tahan merasakan sakitnya dicambuk.

Aku membuka mata lebar, lalu bergegas duduk. Napasku masih naik. Keringat membasahi seluruh tubuhku. Mimpi itu masih jelas dalam ingatan. Aku diseret dan dicambuk oleh dua sosok hitam dan menyeramkan.

Pandangan kuedarkan pada sekitar. Sepi. Aku masih ada di kamar seperti pada biasanya. Kualihkan pandangan pada kedua lengan tangan karena terasa nyeri. Merah. Seperti ada bekas cambuk di kedua lenganku. Pandangan kembali kulempar ke arah pundak karena di sana pun terasa nyeri. Aku menggerakkan tubuh. Seketika aku mengaduh karena tubuh terasa sakit. Ada apa dengan tubuhku?

Pakaian segera kulepas. Aku beranjak turun dari ranjang. Tubuhku terasa sakit semua. Lemas. Aku memaksa berjalan menuju cermin. Refleks aku menutup wajah dengan kedua tangan karena melihat bekas cambuk di punggungku. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?

Ingatanku kembali pada mimpi itu. Aku bergegas membuka lemari, lalu meraih sweter dan bergegas mengenakannya. Kaki kulangkahkan dengan cepat untuk meninggalalkan kamar. Takut. Baru kali ini aku merasa takut seperti ini.

Langkahku terhenti ketika melihat ruang makan terang. Ini masih malam, tapi kenapa lampu ruang makan terang? Apa Mama atau Papa belum tidur? Aku berjalan menghampiri ruang makan. Kulihat Papa dan Mama sedang makan di sana. Ah, aku hampir saja lupa jika sekarang bulan puasa.

"Sofia."

Aku bergegas menghampiri ruang makan, lalu duduk di samping Mama. Segera kupeluk tubuh Mama untuk mencari ketenangan.

"Ada apa?" tanya Mama bingung.

"Mungkin dia akan merasa kehilangan karena hari ini malam terakhir tidur di rumah." Papa bersuara.

Hampir saja lupa jika pagi ini aku akan berangkat ke Banten untuk menerima tantangan dari Papa tinggal di pondok selama sebulan. Dan aku sudah menyanggupinya demi mendapatkan kembali barang-barang penting itu. Hanya satu bulan.

"Kamu mau puasa?" tanya Mama.

Kepala kugelengkan, masih memeluknya. Sampai kapanpun aku tak akan pernah puasa. Itu sama saja menyiksa diri sendiri. Aku tak mau.

"Ratu tidur di kamar Mama, ya?" pintaku.

"Kamar kamu kenapa?"

Kepala kembali kugelengkan. Aku tak ingin cerita pada Mama dan Papa mengenai mimpi itu. Bisa kena ceramah lagi kalau aku cerita. Lebih baik mereka tak tahu sama sekali.

Aku bergegas meninggalkan ruang makan setelah mendapat izin dari Papa. Mereka hanya tahu jika aku akan merindukan mereka karena akan pergi, padahal bukan alasan itu aku ingin tidur di kamar mereka. Aku masih takut dengan mimpi itu. Mimpi itu benar-benar nyata.

***

Aku akan meninggalkan rumah ini selama tiga puluh hari untuk tinggal di pondok. Jika sebelumnya aku sangat menentang untuk masuk pondok, berbeda dengan sekarang yang ingin segera melewati tiga puluh hari itu di sana agar terbebas dari hukuman Papa.

"Jangan bikin Papa malu selama kamu tinggal di sana. Jangan berantem atau bertengkar dengan santri lain. Papa nggak akan tolerir kamu jika hal itu terjadi. Kamu di sana akan mandiri. Kamu akan dapat uang jajan selama di sana, tapi hanya setiap pekan dan terbatas. Gunakan waktumu di sana sebaik mungkin. Papa harap, ada hikmah yang kamu petik selama tinggal di sana. Minimal bisa berubah lebih baik." Papa berceramah padaku.

Setidaknya selama tiga puluh hari aku tak mendengar ceramah Papa. Dan aku bersyukur karena Papa tak ikut mengantar. Hanya Mama dan sopir yang mengantarku ke sana.

Mama berpamitan pada Papa. Mereka terlibat obrolan yang tak ingin kuketahui. Mungkin mengenai aku yang akan tinggal di sana. Lebih baik aku masuk ke dalam mobil.

"Ma! Buruan!" seruku pada Mama.

Tak ada balasan. Aku menghela napas karena melihat Mama masih berbicara pada Papa. Tak lama, Mama pun masuk ke dalam mobil ini.

"Kamu yakin mau pakai baju itu?" Mama memastikan.

"Emang kenapa? Apa baju Ratu salah?" tanyaku tanpa menatap Mama.

"Kamu mau masuk pondok, Sof, bukan mau ke mal atau tempat hiburan." Mama mengingatkan.

Lagi dan lagi yang dibahas mengenai pakaianku. Apa yang aku lakukan tak pernah benar di mata kedua orang tuaku. Lwbih baik aku diam saja. Percuma berbicara dengan Mama.

"Sopir mana, sih? Lama banget masuknya." Aku menggerutu.

Semoga tiga puluh hari bisa aku lalui dengan cepat agar cepat kembali mendapatkan fasilitas dari Papa.

Sopir masuk ke dalam mobil ini setelah selesai berbicara dengan Papa. Entah apa yang mereka bicarakan sehingga mengulur waktu selama ini. Menyebalkan.

"Kita jalan sekarang, Bu?" tanya sopir pada Mama.

"Tahun depan!" sambarku kesal.

"Iya, Pak." Mama menimpali.

Sopir mengangguk, lalu melajukan mobil untuk meninggalkan halaman rumah ini menuju tempat tujuan.

Suasana masih hening. Hanya terdengar suara bising dari arah luar.

"Kamu baik-baik di sana. Ingat pesan Papa, jangan cari masalah. Mama akan sering hubungi kamu." Mama membuka obrolan. Bukan obrolan, melainkan pembukaan ceramah.

"Ratu akan baik-baik saja selama di sana. Ratu pastikan nggak akan ada yang berani sama Ratu," balasku santai.

"Kamu juga akan mandiri di sana. Papa sudah menyerahkan tanggungjawab didik dengan pengasuh panti. Mama berharap, kamu patuh pada pengasuh panti."

"Udah, deh, Ma. Ratu bosan dengar ceramah Mama. Intinya Ratu akan selesaikan tantangan Papa buat tinggal di sana selama tiga puluh hari. Di luar itu, Ratu nggak mau tau. Mama nggak usah khawatir Ratu kenapa-napa di sana," balasku kesal. Bosan dengan ceramah Mama.

Nggak Mama, nggak Papa sama saja. Doyan banget ceramahin aku. Apa nggak capek?

"Mama cuma ingetin kamu. Khawatirnya kamu kaget dan nanti malah salahin Mama karena nggak kasih tau."

Aku menjulingkan mata. Lebkh baik diam daripada membalas ucapan Mama. Justru akan membiatku cape. Cape mulut dan hati.

Kasih tahu atau nggak bagiku sama saja. Aku nggak akan mematuhi kata-kata Mama atau Papa. Patuh dengan kata-kata mereka sama saja cari mati. Aku nggak mau. Yang terpenting buatku hanyalah finish tiga puluh haru tinggal di sana. Mengenai peraturan, aku nggak akan peduli.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro