4. Tempat Menyebalkan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pandangan masih tertuju pada bangunan di depanku saat ini. Ini lebih parah dari yang aku bayangkan. Jaraknya tak main-main. Aku kira hanya akan menempuh perjalanan sekitar dua atau tiga jam, tapi ini lebih dari itu, dan tempat ini sangat jauh dari pusat kota. Entah apa yang merasuki Papa sehingga mengirimku ke sini. Ini lebih mengerikan dari sel penjara. Aku tak bisa membayangkan jika malam hari. Pasti akan terasa horor.

"Mari Mbak Sofia."

Aku terkesiap ketika seseorang menyuruhku agar masuk. Tatapan kulempar ke arahnya. "Aku sudah bilang jangan panggil Sofia, tapi Ratu! Kamu lupa apa tuli?" tanyaku kesal.

Dia hanya tersenyum sambil mengangguk lemah.

Menyebalkan. Aku mengikutinya masuk ke dalam. Mama sudah pulang setelah bertemu dengan istri pengasuh pondok ini dan menitipkan aku pada Hasanah. Sekarang, aku bersama santri menyebalkan ini yang akan mengantarku masuk dan menunjukkan tempat yang akan menjadi kamarku. Hal lain yang membuatku kesal adalah kedua koperku. Aku benci dengan Papa. Koper yang kubawa saat ini hanya berisi pakaian seadanya dan barang-barang yang tak sesuai dengan keinginanku. Aku benar-benar kesal dengan Papa.

"Ini aula buat salah jemaah santri, Mbak. Nanti Mbak Sofia bisa ikut salat jemaah di sana dengan santri lain." Hasanah menunjuk sebuah ruangan yang kami lewati.

"Siapa yang mau ikut salat?" gumamku cuek.

Aku menjadi pusat perhatian penghuni pondok ini. Mereka menatapku seperti tak pernah melihat pakaian modis. Di depan sana juga. Banyak laki-laki yang menatapku dengan berbagai ekspresi. Apa yang salah dengan pakaianku? Aku memakai terusan selutut warna biru tanpa lengan dengan motif kotak-kotak kecil, dan kurangkap dengan rompi levis warna navi. Apa yang salah? Rambut lurusku sengaja kugerai supaya penampilanku sempurna.

"Mbak Sofia."

Hasanah kembali membuyarkan pikiranku. Napas kuhela karena dia masih saja memanggilku seperti itu.

"Langsung ke kamar saja, aku capek." Aku meninggalkannya untuk berjalan lebih dulu.

"Mbak, kamarnya di sini."

Langkahku terhenti. Gigi kueratkan karena kesal dengannya. Aku membalikkan tubuh, lalu menghampirinya. Lagi dia tersenyum tanpa dosa. Aku mengikutinya dari belakang. Koperku ada padanya. Dia yang meminta sendiri untuk membawakan koper milikku.

Sumpah. Ini tempat terburuk yang pernah aku temui. Masih lebih baik kamar pembantu di rumah. Rapi. Di sini super kotor dan jorok. Demi apa aku akan tinggal di sini. Aroma tempat ini pun sangat tak kusukai.

"Seriusan kamarnya di sini?" tanyaku pada Hasanah.

"Iya, Mbak. Ini kamar khusus santri yang mengabdi. Ada lagi di sebelah sana. Di sana khusus santri yang ikut sekolah madrasah aliah dan sanawiyah." Dia menjelaskan.

"Apa bedanya?" Aku penasaran karena merasa dibedakan.

"Di sini untuk santri yang nggak mampu, Mbak. Kalau di sebelah khusus buat yang bayar. Tapi sama saja kok, ruangan dan tempat tidurnya dari matras." Dia membuka pintu kamar.

"Tapi aku di sini bayar. Kenapa dikasih tempat tidur sama kalian yang nggak bayar?" Aku tak terima.

"Bu Nyai yang minta agar aku antar Mbak Sofia ke sini." Dia menimpali.

"Kalian lihat apa?!" tanyaku kesal pada penghuni kamar ini yang menatapku sambil berbisik pada sebelahnya.

"Buat semuanya, kenalin, ini Mbak Sofia. Dia akan belajar di sini dan bantuin kita. Dia juga akan jadi bagian dari kamar ini. Mohon bantuannya untuk saling bimbing dan menasehati," kata Hasanah pada anak-anak itu.

"Apa? Belajar? Siapa yang mau belajar di sini? Aku di sini cuma liburan saja," balasku jutek.

"Itu tempat tidur Mbak Sofia." Hasanah menunjuk ke sisi ruangan ini.

Kepala kugelengkan. "Nggak ada tempat yang lebih bersih lagi dari ini? Nggak ada ranjang gitu? Atau kasur yang lebih bersih dan tinggi dari itu?" Aku protes.

"Nggak ada, Mbak. Semua tempat tidurnya sama, hanya matras dan bantal. Hanya ini yang disediakan pihak pondok."

"Aku nggak mau tidur di sini. Aku mau tidur di kamar lain." Aku melangkahkan kaki untuk meninggalkan ruangan ini.

"Ini sudah keputusan Bu Nyai, Mbak. Mbak nggak bisa nolak."

Aku menghentikan langkah. Bagaimana aku akan tidur di sini hanya beralaskan matras? Kamar pembantu di rumah lebih baik dari tempat ini. Mungkin lebih nyaman penjara daripada tempat ini.

Tubuh kubalikkan ketika mendengar suara koperku ditarik. Napas kuhela. "Aku mau bertemu Bu ... siapa istri pemilik pondok ini?" tanyaku pada Hasanah.

"Nggak bisa, Mbak. Bu Nyai sedang istirahat. Lebih baik Mbak Sofia istirahat. Mbak pasti capek habis perjalan jauh. Apalagi sedang puasa." Hasanah menimpali.

Naas. Aku benar-benar terjatuh sekaligus ditimpa tangga. Papa benar-benar tega padaku. Papa dan Mama sudah tak lagi dayang padaku. Mereka kejam.

Aku terpaksa menuruti Hasanah. Dia yang akan menjadi pemanduku selama di pondok ini. Entah apa selanjutnya yang akan aku lakukan di sini. Aku sudah tak sabar ingin segera melalui tempat ini dan kembali ke rumah untuk menikmati fasilitas dari Papa.

Pandangan masih tertuju pada matras yang akan kutiduri. Napas kembali kuhela. Ujian macam apa ini?

"Kalau ada perlu apa-apa atau ada yang mau ditanyakan, Mbak Sofia bisa tanya saya atau santri lainnya. Insyaallah di sini siap bantu Mbak Sofia."

"Kalau sudah selesai ceramahnya, mending kamu pergi, deh. Aku pusing dengar ceramah kamu dan lihat tempat ini." Aku mengusirnya.

"Ya sudah, Mbak Sofia istirahat, ya. Saya tinggal dulu buat bantuin bagian hikmad." Dia pamit.

Aku tak menggubris ucapannya, lebih memilih untuk memikirkan rencana agar bisa pindah ke tempat yang lebih nyaman dari ini. Tatapan kembali kuedarkan menjelajagi ruangan ini. Di sudut sana ada tumpukan matras dan bantal. Entah berapa banyak orang yang tidur di sini. Di sisi lain ada lemari plastik ukuran kecil berjajar. Entah semua isinya apa. Pandangan kualihkan pada beberapa orang yang sedang tidur yak jauh dari posisiku saat ini. Semua masih terasa aneh menurutku.

Tubuh kurebahkan. Aroma tak sedap masuk ke dalam hidungku. Aku beranjak duduk. Kuraih bantal dan kucium permukaannya. Seketika rasanya ingin mual. Baunya luar biasa. Aku melempar bantal itu karena kesal. Baru beberapa jam di sini, tapi rasanya ingin sekali bebas. Aku sudah menduga jika tempat ini akan buruk.

Kuraih koper lalu membukanya. Gigi kembali kueratkan ketika mengingat koper ini. Ini bukan koper yang kusiapkan, melainkan ditukar dengan koper lain. Ya ampun, ingin rasanya marah dan memukul orang.

Tubuh kembali kurebahkan setelah melapisi bantal dengan kain yang ada di dalam koperku. Setidaknya kain ini mengurai bau busuk dari bantal yang kutiduri.

Terdengar suara obrolan seseorang masuk ke dalam kamar ini. Aku menatap ke sumber suara. Beberapa orang berdiri tak jauh dari posisiku saat ini. Mereka menatap aku yang sedang merebahkan tubuh.

"Kenapa lihat-lihat?! tanyaku galak.

Mereka menggeleng, lalu melangkah masuk. Aku memiringkan tubuh untuk membelakangi mereka. Entah apa yang salah sehingga mereka menatapku menilai. Apa karena aku orang baru? Atau karena pakaianku? Entahlah.

Nasibku sial sekali kali ini. Masih lebih baik tinggal di Jerman. Di sana aku bebas. Aku bisa melakukan apa saja yang aku mau. Tak seperti di sini, harus dibatasi jika ingin bergaul. Semoga aku bisa malului ujian ini. Aku ingin segera keluar dari nekara ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro