5. Malam Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mata masih sulit kupejamkan. Aku sudah menduga akan mengalami hal seperti ini. Biasanya, aku tidur di ranjang dan bantal yang empuk. Tapi kali ini aku harus tidur di atas matras keras dan bantal yang berbau busuk. Benar-benar membuatku tak nyaman sekaligus pusing. Ditambah suara aneh di luar sana terdengar sangat berisik. Bikin sakit telinga. Herannya penghuni kamar ini bisa tidur pulas. Heran. Entahlah itu binatang apa. Setahuku semacam belalang. Mengingat tempat ini dekat dengan kebun dan banyak pohon bambu.

Hal lain yang membuatku semakin tak betah di sini adalah kamar mandi. Rasanya jijik saat harus bergantian kamar mandi dengan banyak orang. Apalagi kamar mandinya sempit dan kotor. Satu kamar mandi bergantian dengan lima sampai enam orang. Hanya ada lima kamar mandi sedangkan di sini penghuni santri khusus tak bayar ada tiga puluh orang. Aku benar-benar tak betah tinggal di sini. Tapi entah kenapa anak-anak sini biasa-biasa saja. Belum lagi makanannya. Sumpah. Aku tak betah lama-lama di sini. Aku pun tak makan malam karena menunya membuat aku mual hanya dengan memandangnya saja. Anehnya santri-santri di sini lahap memakannya. Benar-benar aneh.

Aku kesal pada Papa karena menempatkan aku di sini. Kenapa tak pilih pondok yang lebih bersih dan nyaman dari tempat ini? Di sini aku sangat tersiksa. Kalau bukan untuk menerima tantangan Papa dan terlanjur, mungkin aku akan memilih kabur.

Perhatianku teralih ketika mendengar suara langkah kaki di balik pintu kamar ini. Suaranya sangat jelas. Pandangan kulempar ke arah santri lain. Semuanya sudah tidur. Mendadak aku jadi takut. Horor. Apalagi lampu sudah dimatikan. Aku sempat protes saat tidur harus dalam keadaan tanpa penerangan seperti ini, tapi ini sudah kebiasaan mereka.

Duh, naasnya, kenapa juga aku harus kebelet buang air kecil malam-malam seperti ini? Aku tak berani ke kamar mandi sendiri. Kamar mandinya di luar sana dan minim penerangan. Ini pertama kali aku takut dengan sesuatu. Biasanya aku berani dengan situasi apa pun di Jakarta. Berbeda kondisinya di sini.

"Hasanah." Aku membangunkan Hasanah yang sudah tertidur lelap di sampingku.

Dia hanya membalasku dengan gumaman.

"Hasanah. Anterin aku ke kamar mandi, yuk?" Aku menepuk lengan Hasanah untuk membangunkannya.

Aku beranjak duduk. "Hasanah! Cepetan! Aku udah kebelet, nih!" Aku menggoyang lengannya lebih kencang.

"Kenapa, sih, Mbak Sofia?" Hasanah beranjak duduk. Dia mengusap matanya.

"Aku kebelet pipis," kataku kesal.

"Ya udah, ayo." Dia segera berdiri.

Aku pun mengikutinya untuk keluar dari kamar ini. Pandangan kuedarkan. Sepi. Tanganku masih memegang erat pakaian Hasanah. Takut. Suasananya horor. Hawa dingin pun begitu terasa. Bulu kudukku merinding.

"Mbak Sofia bisa takut juga?" tanya Hasanah memecah keheningan.

"Aku juga manusia kali, Na," balasku datar.

Hasanah tersenyum mendengar jawabanku. Kami masih berjalan menuju kamar mandi. Entah kenapa rasanya kamar mandi terasa jauh.

"Na, tadi aku dengar suara orang jalan di luar," kataku pada Hasana.

"Mungkin hewan atau santri yang tidur di kamar lain sedang lewat, Mbak," balasnya.

"Iya juga, sih. Kenapa aku jadi parno begini? Tapi suaranya-"

"Ayo Mbak, sana masuk. Aku tunggu di sini." Hasanah memotong ucapanku.

Aku menatap Hasanah dengan senyum jengah. "Kamu ikut masuk, ya. Aku takut di dalam sana," pintaku.

"Di dalam sana nggak ada apa-apa, Mbak. Ini bulan puasa, semua makhluk yang kayak gitu dipenjara selama bulan puasa," balasnya santai.

"Serius? Apa kamu cuma baik-baikin aku saja biar nggak takut?"

Hasanah tersenyum. "Besok Mbak bisa tanya ustazah kalau pas ada kajian."

"Tapi ..."

Ah, aku sudah tak tahan lagi. Terpaksa masuk ke dalam kamar mandi sendirian karena Hasanah tak mau ikut ke dalam sana.

"Jangan lupa baca doa, Mbak." Hasanah mengingatkan.

"Bawel!" Aku bergegas masuk ke dalam kamar mandi karena sudah tak tahan.

Suasana horor sangat terasa. Ditambah lampu kamar mandi remang-remang. Aku bergegas menyelesaikan keperluanku di dalam sini. Mana tempatnya sempit. Aku jadi tak leluasa.

Tak butuh waktu lama, aku bergegas keluar dari kamar mandi. Rasanya seperti sedang uji nyali di dalam sana. Berbeda situasinya kalau pagi atau siang.

"Cepet banget?" tanya Hasanah ketika aku sudah tiba di dekatnya.

"Ngapain lama-lama di sana. Horor iya." Aku berjalan mendahuluinya.

"Hati-hati, Mbak. Di depan sana ..."

Langkah kuhentikan. "Jangan bikin aku takut, Na," kataku kesal.

Hasanah tertawa ringan. Aku mengembuskan napas. Dia rupanya bisa jail. Awas saja. Aku balas nanti.

"Pernah terjadi hal aneh nggak di sini?" tanyaku penasaran.

"Contohnya?" balasnya bertanya.

"Ya apa, kek? Penampakan gitu?"

"Kalau penampakan nggak ada. Nggak berani mereka nunjukin diri di sini. Yang ada mereka takut duluan dibacain Alquran. Adanya paling kesurupan," jelasnya.

"Sama saja kali." Aku menimpali.

"Beda, Mbak. Yang masuk ke tubuh santri bukan jin kafir, tapi jin muslim. Mereka mau ikut belajar di sini," sambungnya.

"Emang ada gitu jin kafir dan muslim?" Aku semakin penasaran.

"Ada lah, Mbak. Mereka itu sama seperti kita. Kita makan, mereka juga makan. Mereka ada yang muslim dan kafir. Apa pun yang kita lakukan, mereka juga melakukannya. Bedanya kalau yang kafir itu jahat. Mereka yang suka goda manusia dan suka menampakkan diri buat nakut-nakutin kita. Mereka senang kalau kita takut."

Aku baru tahu mengenai masalah ini. Setahuku jin itu jahat dan tak memiliki agama. Mendengar penjelasan Hasanah, aku jadi tahu bahwa mereka sama seperti kami. Mereka ada yang jahat dan ada yang baik.

Kami sudah tiba di kamar. Hasanah kembali merebahkan tubuh. Aku menatap jam tangan di samping bantal. Masih jam satu kurang sepuluh menit. Semua penghuni kamar ini masih terlelap tidur. Aku kembali merebahkan tubuh. Mata kembali susah kupejamkan. Aku menoleh ke arah Hasanah.

"Na. Jangan tidur dulu," kataku.

Hasanah membuka mata. Dia menatapku. Aku tersenyum hambar.

"Kenapa lagi?" tanyanya.

"Aku nggak bisa tidur," balasku.

"Banyak zikir aja biar bisa cepat tidur," katanya.

Aku hanya tersenyum getir. Mana aku tahu zikir itu apa. Yang aku tahu cuma istigfar. Selain itu, aku tak tahu. Pandanganku kembali pada Hasanah. Dia sudah memejamkan mata.

"Na," panggilku.

Tak ada jawaban. Sepertinya dia sudah ke alam mimpi. Aku kembali sendiri, belum bisa tidur. Napas kuhela. Berulang kali mengubah posisi tidur karena tak nyaman. Tetap saja, mau posisi bagaimanapun aku tak bisa memejamkan mata untuk tidur.

Entah kenapa ingatanku tertuju pada mimpi kemarin. Sangat jelas. Dua orang berjubah hitam menyeret dan mencambuk tubuhku. Mereka mengatakan jika aku disiksa karena telah banyak melakukan dosa. Dosa yang mana? Tapi entah kenapa bisa seperti kenyataan. Punggungku terdapat bekas cambukan sesuai dalam mimpi. Aku bukan sedang berhalusinasi. Itu memang terjadi. Sampai sekarang belum ada yang tahu kejadian itu. Aku belum cerita kepada siapapun termasuk orang tuaku. Mungkin aku akan bertanya pada Hasanah. Barangkali dia tahu arti mimpiku. Itu pertama kali aku mimpi buruk dan juga membekas bekas cambukannya.

Semoga mimpi itu tak kembali kualami. Bekasnya sampai sekarang masih terasa nyeri di tubuh. Mimpi itu sangat menyeramkan. Aku tak mau lagi mimpi hal itu. Jangan sampai.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro