6. Kembali Mimpi Buruk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terlihat api menyala-nyala di bawah sana. Posisiku saat ini seperti di atas jembatan, tapi tak ada pijakan di kakiku. Yang kupijak seperti kaca. Pandangan tembus ke bawah. Entah apa yang sedang kulakukan di sini. Suhu pun terasa sangat panas sekali. Keringat membasahi seluruh tubuh. Banyak orang yang melewati jembatan ini, lalu terjatuh ke dalam sana. Ada yang merangkak. Ada pula yang tertatih. Bahkan ada yang bergelantungan di jembatan ini. Pemandangan di bawah sana mengerikan. Ada suara jeritan minta tolong, kesakitan, bahkan ada yang ingin kembali hidup. Entah maksudnya kembali hidup yang bagaimana.

"Jalan."

Terdengar suara orang menyuruhku untuk berjalan, tapi aku tak tahu dia siapa. Aku menggeleng. Tubuhku seperti di dorong dari belakang agar berjalan di atas jembatan ini. Aku masih berusaha sekuat mungkin untuk tak melangkah. Takut akan terjatuh ke bawah sana seperti yang lainnya.

"Jalan!"

"Enggak mau! Aku takut!" seruku.

"Jalan atau tidak kamu akan tetap jatuh ke sana karena dosa-dosamu!"

"Enggak mau!!!"

Tubuhku didorong sehingga terjun ke bawah kubangan api yang menyala-nyala. Aku menjerit kepanasan karena tubuhku terbakar. Rasanya sangat sakit sekali. Aku masih terus menjerit dan minta ampun.

Mata kubuka sempurna lalu bergegas duduk. Keringat membasahi sekujur tubuh. Saliva kutelan. Napas pun tak teratur. Masih teringat jelas jika aku didorong dan terjatuh ke kubangan api di bawah jembatan. Aku teriak minta tolong karena tubuhku dibakar hidup-hidup. Sangat jelas dalam ingatanku.

"Sudah bangun?"

Perhatianku teralih ketika mendengar pertanyaan itu. Kulihat sosok wanita berdiri di depanku sambil membawa gayung. Napas kuhela. Dia lagi, dia lagi.

"Ini sudah jam berapa? Santri lain sudah ngerjain tugas masing-masing, kamu malah enak-enakan di sini tidur." Dia kembali mengoceh.

Dia Ustazah Fatimah. Ralat. Dia bukan ustazah. Sampai kapanpun aku tak akan mengakuinya sebagai ustazah. Dia menyebalkan. Lebih galak dari guru IPS di sekolahku dulu.

"Malah ngelamun! Sofia!"

Perhatianku teralih. Aku beranjak dari matras. Langkah kuayun untuk keluar dari kamar ini. Tak akan tenang hati dan pikiranku jika ada dia. Lebih baik aku menghindarinya.

"Cepat mandi dan ke aula kalau nggak mau dihukum lagi!"

Tak peduli. Sejak ada dia, aku jadi tak tenang. Sekarang aku dalam pengawasannya. Hasanah pun tak bisa membantah perintahnya. Dia dipilih Bu Nyai untuk mengawasiku. Pasti dari Papa. Aku harus patuh padanya. Baru lima hari di sini sudah seperti lima tahun. Aku benci tempat ini.

Kemarin aku dihukum olehnya karena sudah berbohong masalah puasa. Aku memang berbohong, mengatakan jika tidak puasa karena sedang haid, padahal aku memang tak pernah puasa dari tahun-tahun sebelumnya.

Napas kuhela ketika melihat tumpukan pakaian kotor milikku. Biasanya pembantu yang mencuci pakaianku, tapi di sini aku harus mencucinya sendiri. Aku tak mau. Tanganku bisa merah-merah jika kugunakan untuk mencuci pakaian. Belum lagi kuku cantikku. Mana tak ada mesin cuci. Tapi aku butuh pakaian buat ganti nantinya. Santri di sini tak ada yang boleh membantuku. Aku harus mencucinya sendiri. Lebih baik aku segera mandi supaya Fatimah tak mengomel lagi. Aku pusing dengar suaranya yang cempreng.

Aku keluar dari kamar mandi setelah selesai membersihkan tubuh. Perutku terasa lapar, tapi hari ini aku tak boleh makan oleh Fatimah. Dia menyuruhku untuk puasa. Aku benar-benar tersiksa. Tapi mau makan apa? Di sini tak menyediakan makanan kecuali untuk yang sedang haid, dan mereka makan sembunyi-sembunyi. Kalau aku makan, bisa kenal hukuman lagi dari Fatimah. Cukup kemarin aku dijemur setengah hari karena berbohong.

"Eh, katanya Ustaz Dafi gantiin Ustaz Helmi ngajar di pondok putri."

Tak sengaja kudengar obrolan santri mengenai Ustaz Dafi. Entah siapa Ustaz Dafi ini. Sering sekali santri gosipin dia.

"Tau nggak? Tadi anak baru itu diomeli lagi sama Ustazah Fatimah."

"Bulan puasa jangan nambah dosa, Fin. Maklumi saja karena dia masih baru."

Aku menghampiri mereka. Posisiku berdiri di belakang santri yang membicarakan aku. Santi yang melihatku tersenyum getir sambil mengangguk.

"Maaf, Mbak Sofia. Kami nggak bermaksud-"

"Jangan cari masalah sama aku kalau kalian nggak mau aku usik," potongku mengancam.

Santri yang membicarakan aku kaget. Dia membalikkan tubuh, lalu menunduk. "Maaf, Mbak. Aku-"

"Mbak Sofia."

Terdengar suara Hasanah memanggil namaku. Pandangan kulempar ke sumber suara. Hasanah berjalan cepat ke arahku.

"Dipanggil Ustazah Fatimah." Dia menyampaikan.

"Iya," balasku singkat.

Aku menatap tajam santri-santri itu. Mereka terlihat takut. Jelas mereka takut. Hari kedua di sini, aku sempat membuat keributan karena hal yang sama, membicarakan keburukanku pada yang lain. Tak heran jika Bu Nyai menyuruh Fatimah untuk mengawasiku. Jangan mengusikku jika tak ingin aku usik.

"Pakai ini." Hasanah mengulurkan kain padaku.

"Itu apa?" tanyaku sambil menatap kain itu.

"Kerudung," balasnya singkat.

"Nggak mau. Panas." Aku menolak.

"Ini yang minta Ustazah Fatimah loh, Mbak."

"Pokoknya aku nggak mau." Aku kukuh. Tak akan aku menerima kain itu. Kain penyiksa.

Langkah kupercepat untuk meninggalkan Hasanah agar tak terus memaksaku mengenakan kain penyiksa itu. Pakai kerudung itu panas. Apa bedanya dengan menyiksa? Cocok dipakai untuk ibu-ibu. Aku bukan ibu-ibu. Aku masih muda.

"Masyaallah, Ustaz Dafi."

Ustaz Dafi? Lagi-lagi aku dengar nama orang itu disebut-sebut oleh santri. Siapa dia? Kenapa santri sering ngomongin dia? Apa dia-

"Mbak Sofia."

Aku terkesiap. Rupanya Hasanah sudah di dekatku.

"Ada apa, Mbak?" tanyanya.

Langkah kembali kuayun. Kini aku jalan berdampingan dengan Hasanah.

"Na. Ustaz Dafi siapa, sih? Kok banyak santri sini yang sebut-sebut dia? Kayak kagum gitu?" tanyaku pada Hasanah.

"Oh, Ustaz Dafi itu anak bungsunya Pak Kiai. Sudah lama beliau jadi primadona di pondok ini. Hampir semua santri kayaknya ngefans sama Ustaz Dafi," jawabnya mengulas.

"Pak Kiai? Yang punya pondok ini?" Aku memastikan.

"Iya, Mbak."

"Memang dia kenapa? Ganteng? Keren? Ngalahin Lee Min Ho nggak?" Aku penasaran.

Hasanah tertawa. "Mbak Sofia ada-ada saja," balasnya setelah selesai tertawa.

Kami tiba di aula. Santri sudah berkumpul di sini untuk belajar. Fatimah pun sudah ada di sini. Aku dan Hasanah duduk di bagian belakang. Terlihat Fatimah menghampiriku.

"Mana kerudung kamu?" tanyanya padaku.

"Nggak ada," balasku jutek.

"Hasanah. Bukannya tadi saya suruh kamu buat kasih kerudung ke Sofia?" tanyanya pada Hasanah.

"Sudah, Ustazah, tapi Mbak Sofia nggak mau pakai." Hasanah menimpali.

"Kenapa kamu nggak mau pakai kerudung?" tanyanya lagi padaku.

"Ya nggak mau aja. Ngapain aku pake kerudung? Panas. Aku juga bukan ibu-ibu." Aku tak menatapnya.

"Panas? Kamu pernah bayangin dibakar? Atau kulit kamu kena api sedikit saja? Gimana rasanya?"

Ingatanku kembali pada mimpi yang kualami beberapa menit yang lalu. Aku didorong masuk ke dalam jurang api. Rasanya sangat panas dan tak tahan.

"Kerudung itu bukan cuma untuk ibu-ibu saja, tapi wajib buat semua muslimah. Sesuai firman Allah dalam surat An-Nur." Dia kembali berceramah.

Aku meraih kain yang ada di tangan Hasanah. Tak ingin wanita galak itu terus mengomel. Akan panjang jika aku tak melakukan perintahnya. Kerudung segi empat dari Hasanah hanya kulipat jadi dua, lalu menyampirkannya di atas kepala.

"Pakai kerudungnya yang benar." Fatimah kembali menegurku.

"Masih belum puas?" Aku menatapnya tajam.

Dia terlihat menghela napas, lalu beranjak dari hadapanku. Lama-lama melunjak itu orang. Sudah dikasih jantung malah minta hati. Entah apalagi perintahnya yang akan membuatku muak. Sama seperti wajah dan perlakuannya. Memuakkan.

***

Ada yang mau rekomendasiin tokoh yang cocok buat jadi Sofia?

Sebutin namanya di kolom komentar, nanti aku search.
Untuk cowoknya, aku sudah nemu. Cakep.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro