12. Bertemua Dia Lagi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gamis titipan dari Mama sudah kutitipkan pada Hasanah untuk diberikan pada Fatimah. Kebetulan dia dapat tugas dari Bu Nyai untuk menemani Fatimah karena suaminya ada tugas jadi imam di masjid luar pondok. Aku malas memberikannya langsung. Tahu sendiri jika aku sangat tak menyukainya. Setidaknya permintaan Mama sudah aku lakukan walaupun lewat perantara Hasanah. Aku tak mau memberikannya langsung.

Hasanah tak ada di sini, aku merasa kesepian. Biasanya, ada yang kami bicarakan untuk menghilangkan jenuh. Semua sibuk masing-masing. Rahma, Nisa, Nina dapat tugas di dapur. Teman dekatku di sini hanya Hasanah, jadi dengan yang lain aku menjaga jarak.

"Eh, nanti bagi fotonya Ustaz Dafi, dong."

Aku menjulingkan mata. Lagi-lagi yang dielukan dia. Hanya karena dia anak Pak Kiai? Atau karena ketampanannya? Bagiku, dia biasa saja. Justru lebih tampan Alshad ke mana-mana. Ah, malas sekali bahas mereka berdua.

"Mbak sofia."

Perhatianku teralih ketika mendengar namaku disebut. Pandangan kulempar ke sumber suara. Terlihat seorang santri berdiri tak jauh dari posisiku. Pandanganku beralih pada sosok di belakangnya. Seperti sosok laki-laki. Aku beranjak dari undakan.

"Ini. Ustaz Alshad mau ketemu sama Mbak," katanya menyampaikan.

Ustaz Alshad? Eh, Alshad. Ngapain dia mau ketemu sama aku?
Dia menghampiriku, berdiri tak jauh dari posisiku saat inj. Jarak kami sekitar dua meter. Kali ini, dia mengenakan koko lengan pendek warna merah. Seperti biasa, bawahannya selalu celana bahan warna hitam.

"Ada titipan dari kakakku. Dia nggak bisa terima pemberian dari orang tua kamu." Dia menyampaikan sambil mengulurkan barang pemberian Mama padaku.

Napas kuhela. Sudah kuduga akan seperti ini, ditolak. Dan yang tak kuduga adalah dia yang menyampaikan, bukan yang bersangkutan langsung. Aku masih terdiam, memikirkan cara agar barang itu tak kembali padaku.

"Alasannya apa?" tanyaku datar.

"Ini berlebihan," balasnya.

"Berlebihan?" Aku memastikan.

"Terima kembali barang ini dan sampaikan permintaan maaf kakakku pada orang tuamu," lanjutnya.

"Ini terkesan tak menghargai pemberian orang tuaku. Padahal orang tua aku niat ngasih sebagai hadiah, tapi respon kalian seperti ini. Di mana letak salahnya pemberian orang tuaku?" Aku meminta penjelasan. Tak peduli banyak santri yang memerhatikan kami. Salah dia sendiri menemuiku di sini. Ini konsekuensi yang harus ia tanggung.

"Aku sudah bilang kalau ini berlebihan," pungkasnya.

"Berlebihannya di mananya, sih? Mama aku cuma kasih gamis dan uang. Berlebihannya di mana?" Aku masih kukuh. "Bukannya dalam ajaran Islam boleh menerima hadiah? Nabi Muhammad saja mau menerima hadiah dari sahabatnya," lanjutku.

"Tapi-"

Aku meraih gamis itu dari tangannya, "Ya sudah kalau nggak mau. Aku bakar saja gamis ini sama uangnya biar nggak bikin ribut dan bikin orang tua aku kecewa lagi. Cukup tau saja kalau kalian ternyata seperti ini," kataku sebal.

"Bukan seperti itu. Aku-"

Tak mau berlama-lama, aku meninggalkannya untuk menuju halaman belakang. Percuma diusahakan jika tak dihargai. Jangan salahkan aku jika benar-benar membakar barang ini. Tak peduli Mama kecewa padaku. Aku lebih kecewa karena niat baiknya tak dihargai.

"Hei! Sofia!"

Rupanya dia mengikutiku. Aku tak peduli. Biarkan dia melihat keseriusanku untuk membakar barang ini. Aku tak main-main jika sudah bertekad. Dia harus tahu maksud baik orang lain. Jangan karena tak enak, jadi mengecewakan orang lain.

Alshad merebut barang di tanganku ketika aku sedang mencari korek api. Aku menatapnya kesal. Dia pun terlihat sedang mengatur napas. Tatapannya serius padaku. Aku membuang wajah.

"Perlu kamu tau, kami tidak menerima uang subhat," katanya terus terang.

Aku tertawa mendengar kalimatnya. Bisa-bisanya dia mengatakan itu uang sogok. Ada apa dengan mereka?

"Aku akan ambil bajunya, tapi nggak dengan uangnya. Jadi tolong, berikan lagi barang dan uang ini pada orang tua kamu," lanjutnya setelah tawaku reda sambil meraih amplop, lalu mengulurkannya padaku.

"Kamu bisa bedakan mana sogokan, mana hadiah?" tanyaku sambil menatapnya serius.

Sebenarnya aku malas bertele-tele seperti ini. Jangan heran aku tahu perkara ini. Beberapa hari yang lalu, aku dengar pembahasan ini dari Ustazah Salwa.

"Menurut kami, ini uang subhat. Untuk ke hati-hatian, maka kami menolak." Dia masih kukuh menolak.

"Ya Allah, kamu ini belajarnya sampai mana, sih? Ini hadiah, bukan sogok. Harusnya kamu bisa bedakan. Kecuali uang yang dikasih itu uang dari hasil haram, kalian boleh nolak. Ini uang hadiah dari orang tua aku, bukan uang haram," jelasku. "Kamu lupa kisah sahabat dapat hadiah uang dari sahabat lain? Apa mereka menolak? Enggak! Mereka terima. Entah uang itu dipakai lagi atau dikasih ke orang lain, mereka nggak nolak. Nggak kayak kalian, main tolak tanpa mencari kebenarannya. Dan yang bikin aku heran, kenapa pikiran kalian dangkal," imbuhku.

Hening.

Entah ilham apa yang membuatku berani mengatakan hal itu. Tapi aku cukup bangga karena berhasil membungkam mereka. Jadi merasa buang-buang waktu menjelaskan padanya.

"Kalau sudah sadar, aku pamit pergi." Aku beranjak meninggalkannya. Sudah tak ada lagi yang harus dibahas. Biarkan dia berpikir dengan sejuta pertanyaan di hatinya.
Selamat berpikir, Alshad. Selamat mengembalikan barang itu ke kakakmu. Jangan harap aku akan kalah dalam berargumen denganmu, kecuali tak tahu permasalahannya.

***

Aku merebahkan tubuh di atas matras. Rasanya ingin sekali tidur karena tubuhku lelah. Ustazah Hana menyuruhku untuk membantu bagian dapur karena di sana membutuhkan bantuan. Belum lagi salat Tarawih dan lainnya. Belum lagi cuci nampan bekas makan dan buka puasa. Lengkap sudah hari ini penderitaanku.

"Mbak Sofia. Kata Ifah, Ustaz Alshad ke sini buat nemui Mbak Sofia?"

Baru saja memejamkan mata, tapi Hasanah menggangguku. Lebih baik aku diam saja. Biarkan dia penasaran. Malas membuka mata.

"Mbak Sofia." Dia mengguncang lenganku.

"Apaan sih, Na?!" tanyaku kesal. Mata kubuka, lalu menatapnya.

Dia tersenyum tak berdosa. Aku menatapnya tajam. Dia mengacaukan waktu tidurku. Aku beranjak duduk dengan gerakan malas.

"Dia nemui aku buat balikin hadiah dari Mama," ulasku singkat.

"Terus?" Dia terdengar penasaran.

"Ya nggak jadi dibalikin setelah aku ceramahin," balasku datar.

"Serius?"

Aku menjulingkan mata. Tanganku bergerak meraih camilan. "Kamu tanya saja sama yang bersangkutan. Aku malas jelasinnya," timpalku tanpa menatapnya, lebih memilih untuk ngemil.

"Aku penasaran, Mbak Sofia ngomong apa saja sama Ustaz Alshad. Karena selama ini nggak ada santri yang berani negur ustaz atau ustazah di sini, termasuk masalah menolak hadiah. Ustaz atau ustazah di sini memang hati-hati menerima uang. Takut uang subhat," katanya.

"Harusnya mereka bisa bedain, mana uang sogok, dan mana uang hadiah. Mereka harusnya bisa teliti lagi. Lagian uang dari orang tua aku bukan hasil korupsi atau dari hasil yang haram. Apa orang tua aku salah?" tanyaku padanya.

"Mungkin mereka khawatir karena hadiah itu di luar hasil pendapatan mereka dari pondok, kecuali sudah dapat izin dari Pak Kiai," ulasnya.

Sejenak aku berpikir. Ada kebenaran dalam ucapan Hasanah. Mungkin akan aku tanyakan pada Mama nantinya mengenai hal ini. Entah kapan.

"Harusnya mereka langsung nanya ke Pak Kiai atau Bu Nyai masalah ini, nggak main tolak langsung kayak gitu. Aku hanya nggak mau lihat Mama kecewa lagi. Mama sudah pernah ngasih langsung tapi ditolak sama dia. Nanti aku tanya Mama, sudah izin ke Bu Nyai atau belum mengenai hal ini biar nggak semakin ruwet. Lagian juga, kenapa kudu Alshad yang balikin dan jelasin? Kenapa nggak dia sendiri yang balikin?"

"Beliau lagi sakit, Mbak."

"Kan bisa panggil ke rumahnya," gerutuku.

"Jarang-jarang loh Ustaz Alshad nemui santri. Bahkan kayaknya, selama aku di sini, dia nggak pernah menemui santri putri." Hasanah kambuh.

Aku menimpuk Hasanah dengan camilan. Dia tersenyum menggoda, meraih camilan itu dan memakannya. Gegara banyak tanya padanya mengenai Alshad, dia jadi suka menggodaku. Kami sering saling menggoda. Aku tahu jika Hasanah juga fanservis Ustaz Dafi. Walaupun dia tak mengungkapkannya, tapi gelagatnya mengisyaratkan akan hal itu.

Seharian jarang ketemu membuatku rindu untuk berbincang dengannya. Pada akhirnya rasa kantukku hilang karena Hasanah. Dia memang pengganggu, tapi aku masih saja mau meladeninya. Cuma dia sahabatku di sini yang enak dan nyambung untuk diajak ngobrol baik masalah seputar agama Islam atau masalah di luar itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro