13. Ada Apa dengan Hatiku?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pandangan masih kutujukan pada langit di atas sana. Sepertinya akan turun hujan pagi ini. Jika benar, maka ini hujan pertama yang kulihat di sini. Sejak hari pertama tiba di tempat ini tak pernah hujan sekalipun. Aku suka hujan. Apalagi pelangi. Tapi aku alergi dengan hujan. Tubuh akan sakit jika terkena hujan.

Tak terasa sudah hari kedua puluh aku di sini. Ada banyak yang kupelajari di tempat ini. Apa yang aku pikirkan tak seperti kenyataan. Entah apa yang membuatku menjadi seperti ini. Seperti ada yang berbeda dari pribadiku yang dulu dan sekarang. Entah apa itu, aku tak paham. Tapi aku merasakannya.

Perhatianku teralih ketika suara rintik hujan turun. Akhirnya aku bisa melihat rintik hujan membasahi bumi di tempat ini.

"Allahumma shoyyiban nafi'an."

Aku menoleh ke samping, melirik dengan ekor mata. Beberapa santri keluar dari aula. Mungkin karena mendengar hujan.

"Eh, hujan-hujanan, yuk." Nina mengajak yang lain.

"Sana kamu saja. Aku kan puasa," balas santri lain.

Hujan semakin terlihat deras. Santri lain semakin senang karena bisa bermain air yang mengucur dari genting. Aku masih pada posisi, duduk di teras aula sambil menikmati rahmat Allah yang turun ke bumi, dan pemandangan santri bercanda sambil menciprat air hujan ke satu sama lain.

Setelah hafalan selesai, aku memilih keluar aula dan duduk di sini. Kepala rasanya mau pecah jika mengingat hafalan. Seperti kembali saat masih kecil, aku kembali mengaji di sini. Kentara bodohnya akan ilmu agama jika melihat hafalan santri lain yang sudah cukup banyak hafalan.

Senyum kusungging ketika melihat santri berlarian ke arah halaman lapang. Mereka saling mengejar untuk bercanda. Jujur, aku merasa iri dengan mereka, bercanda seperti tak memiliki beban. Dan yang lebih membuatku miris adalah mengingat jalinan bersama sahabat-sahabatku sebelum ke sini. Tak pernah seakrab itu, bahkan saling membantu. Aku justru sering berantem hanya karena hal tak penting, contohnya kejadi yang belum lama kualami. Kami sering cekcok hanya masalah pakaian, pasangan, dan lainnya.

"Di luar dingin. Kamu nggak masuk?"

Pikiranku buyar. Pandangan kulempar ke sumber suara. Dia berdiri di sampingku. Aku kembali menatap ke arah santri yang sedang hujan-hujanan. "Nggak," balasku singkat. Malas menanggapinya.

Dia sudah kembali mengajar setelah pulih dari sakit. Syukurlah jika dia sudah membaik. Aku jadi tak merasa kesepian karena tak ada yang mengomeliku. Tapi kali ini beda. Hari ini, dia tak seperti biasanya. Dia santai menghadapiku. Bahkan terlihat cuek. Apa ini perasaan aku saja?

"Saya minta maaf untuk masalah hadiah dari mama kamu," ucapnya sambil duduk di sampingku.

Ah, aku lupa akan hal itu. Aku belum bertanya pada Mama karena menanti Mama lebih dulu telepon aku. Malas ke ruang istiqbal karena harus lebih dulu menghubungi Mama.

"Kamu nggak mau maafin saya?" tanyanya.

"Kenapa minta maafnya ke aku? Yang kasih hadiah itu bukan aku, tapi Mama. Jadi, silakan Anda minta maaf dengan mama saya, bukan saya," balasku datar. "Kalaupun harus ada yang minta maaf dengan aku, mungkin adik Anda yang harus minta maaf ke aku karena sudah bikin aku kesal sekaligus menggangguku," lanjutku.

"Iya. Sekali lagi, atas nama Alshad, saya minta maaf. Saya juga akan minta maaf pada mama kamu karena sudah salah paham," balasnya dengan nada menyesal.

Kepala kuanggukkan. Entah kenapa aku jadi luluh padanya hanya karena masalah ini. Apa karena mengingat kondisinya? Atau karena permohonan maafnya? Entahlah. Aku pusing.

Dia beranjak dari tempat duduknya. "Jangan lama-lama di luar. Dingin," katanya mengingatkan.

Aku memilih diam. Malas menanggapinya. Terserah jika dia akan berpendapat apa tentangku. Semenjak di sini, aku memang lebih banyak diam. Diam adalah emas.

***

Aku membuka mata ketika mendengar namaku disebut. Suara itu sangat jelas. Suara yang sangat kurindukan. Buku yang menutupi wajah kusingkirkan. Kulihat, Hasanah duduk di sampingku. Aku beranjak duduk.

"Mana Mama aku?" tanyaku padanya.

"Mama?" tanyanya bingung.

"Iya. Tadi aku dengan suara Mama manggil nama aku. Mama ke sini, 'kan?" Aku memastikan.

"Enggak, Mbak Sofia. Yang manggil Mbak Sofia bukan mama Mbak, tapi aku. Dan yang datang juga bukan mama Mbak sofia, tapi Ustaz Alshad. Dia nungguin Mbak Sofia di luar. Katanya ada yang mau disampaikan," ulasnya menyampaikan.

Tapi tadi aku dengar jelas suara Mama. Aku nggak sepenuhnya tidur, jadi masih bisa bedakan mana mimpi dan mana kenyataan. Apa aku-

"Mbak Sofia." Hasanah membuyarkan pikiranku.

"Tapi tadi aku jelas banget denger suara mama aku." Aku masih kukuh.

"Temu Ustaz Alshad dulu, nanti kita bahas lagi mengenai itu. Kasihan beliau sudah nunggu dari tadi."

Napas kuhela. Kerudung kurapikan agar tidak memalukan di depannya. Ya. Aku sudah mulai belajar memakai kerudung, menggantikan kerudung segi empat yang hanya kusampirkan di kepala. Ada kenyamanan saat memakai kerudung panjang. Walaupun awalnya terasa panas, tapi seiring berjalannya waktu, aku merasa nyaman mengenakannya. Entah ini ilham dari Allah, atau memang karena terpaksa demi menuruti permintaan Hasanah dan teman-teman sekamar.

Aku beranjak keluar dari kamar diikuti Hasanah. Tak mungkin aku dan Alshad bertemu tanpa pendamping. Haram baginya. Aku baru tahu setelah mendapat penjelasan dari Hasanah mengenai hal itu. Kondisinya berbeda saat aku akan kabur dan dia melihatku. Saat itu, kami memang hanya berdua di halaman belakang pondok. Entah kenapa dia bisa melihatku saat akan kabur. Mungkin saat itu sengaja.

"Ada apa?" tanyaku saat tiba di belakang tubuhnya. Hasanah ada di belakang tubuhku.

Dia membalikkan tubuh. Kenapa pesonanya selalu membuatku risih. Bukan karena tak rapi, tapi karena pesonanya yang selalu membuatku kagum, meski aku membencinya.

Ratu! Ingat! Dia nyebelin!

"Saya mau minta maaf ke kamu masalah beberapa hari yang lalu," ungkapnya tanpa basa-basi. Tatapannya tak ke arahku.

"Sudah sadar?" tanyaku sinis.

"Sekali lagi saya minta maaf," ulangnya.

"Saya maafkan, dan semoga ini tak kembali terulang pada santri lain," timpalku.

"Insyaallah." Dia mengangguk.

Aku pun mengangguk.

"Terima kasih." Dia berlalu dari hadapanku setelah mengatakan hal itu.

"Tunggu," kataku menghentikannya.

Dia menghentikan langkah. Aku bergegas masuk ke dalam, meraih kue kering di dalam lemari pakaian, lalu kembali keluar. Dia masih menungguku.

"Buat kamu." Aku mengulurkan kue kering padanya.

"Nggak usah." Dia menolak.

"Masih nggak mau terima hadiah?" tanyaku.

"Bukan seperti itu. Lebih baik kasihkan saja ke santri lain," balasnya.

"Sudah, Ustaz. Semua sudah dapat." Hasanah menyambar.

"Denger sendiri, 'kan?" Aku menimpali.

Dia mengangguk, menerima kue kering pemberianku, lalu berterima kasih. Setelah itu, aku meninggalkannya untuk masuk ke dalam kamar. Tak baik lama-lama bertemu dengannya. Selain membuat kondisi jantungku tak baik, dan tentunya tak enak jika jadi tontonan santri. Khawatir ada yang julid.

Seperti biasa, Hasanah menggodaku karena sudah ditemui Alshad. Aku tak menanggapinya. Ada waktunya aku akan balas godaannya. Tinggal tunggu saja waktu yang tepat.

Saat ini, yang masih kupikirkan adalah Mama. Sudah beberapa pekan aku tak mendengar suaranya. Hanya sekali mendengar suara Mama, dan itupun sebentar karena aku marah saat itu. Pekan berikutnya, aku tak mau menerima telepon dari Mama karena masih kesal. Harusnya pekan ini Mama telepon, tapi sampai saat ini Mama belum menghubungiku. Aku rindu dengannya. Apa Mama sengaja tak menghubungiku karena perlakuanku? Atau karena masalah lain? Aku jadi kepikiran.

***

Ada yang kangen nggak nih?
Sengaja aku up karena tema cerita ini kan Ramadhan, jadi kayak pas aja kalau aku upnya lagi pas puasa. Semoga bisa memotivasi dan menjadi pelajaran dari cerita ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro