14. Bantuan Ustadz Alshad

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ini pertama kali aku memikirkan Mama tak seperti biasanya. Sebelum di sini, mana pernah aku memikirkan orang lain. Aku hanya memikirkan diri sendiri dan kesenanganku. Ya. Aku memang egois. Aku sadar sekarang. Semenjak tinggal di sini, aku merasa ada banyak perubahan. Perubahan cara pikir, pergaulan, dan perilaku. Semua itu karena tempat ini.

Sekarang aku mengerti, kenapa Papa memasukkan aku ke sini. Aku disuruh belajar bagaimana menghargai waktu, menghargai orang lain, dan bagaimana rasanya arti peduli. Bukan itu saja, tapi yang utama aku mendapat ilmu spiritual. Tempat ini tak menakutkan seperti apa yang aku pikirkan. Bagiku, tempat ini memang penjara. Penjara suci. Penjara untuk mengubah orang yang sakit. Sakit batin dan sakit cinta dunia. Itu menurutku.

Sampai saat ini, Mama masih belum menghubungiku. Hari raya sudah tinggal beberapa hari lagi, tapi aku belum mendapat kabar tentang keluargaku. Aku khawatir terjadi apa-apa dengan mereka. Jika sebelumnya aku tak peduli mereka tak menghubungiku, tapi berbeda saat ini. Aku justru sangat menanti kabar mereka.

Langkah kuayun untuk memasuki ruang istiqbal. Rasanya sudah tak sabar ingin memastikan kondisi keluargaku. Aku meminta tolong pada bagian istiqbal untuk menghubungi Mama atau Papa. Keegoisanku runtuh karena rasa rindu pada mereka. Lebih tepatnya khawatir.

"Nomor ibunya Mbak Sofia nggak aktif." Petugas istiqbal menyampaikan.

"Coba hubungi papaku," kataku.

"Nggak ada, Mbak. Di sini hanya ada nomor ibunya Mbak Sofia," lanjutnya.

Napas kuhela. Perasaanku masih gundah gulana. Ada apa dengan Mama?

Langkah kembali kuayun untuk kelaur dari ruangan itu setelah pamit dan berterima kasih pada Nina yang sedang tugas menjadi istiqbal. Tak mungkin aku memaksanya untuk terus menghubungi Mama. Aku sudah mengirim pesan pada Mama, menanyakan kabarnya, serta mengungkapkan rasa rinduku. Semoga Mama membaca pesanku. Aku sangat rindu dengannya. Ingin sekali bertemu dengannya dan meminta maaf karena sudah berlaku kasar selama ini padanya. Papa juga.

Perhatianku teralih ketika melihat beberapa santri sedang berdiri di depan pintu pagar penghubung dengan santri putra. Entah apa yang sedang mereka perhatikan. Padahal pintu pagar itu dilapisi akrilik. Aku pun ikut penasaran, lalu menghampiri mereka. Terdengar suara seruan dari balik sana.

"Coba saja ya Ustaz Dafi ngajar karate di pondok putri," celetuk salah satu santri putri.

"Yang ada nanti kamu bukannya latihan malah liatin mulu Ustaz Dafi," timpal sebelahnya.

Aku menahan tawa ketika tahu, siapa yang sedang mereka perhatikan. Ingin sekali mengerjai mereka. Apa reaksi mereka jika aku menyerukan nama salah satu ustazah.

"Ustazah Fatimah!" seruku sambil bersembunyi di balik dinding.

Terlihat santri-santri itu berlarian meninggalkan pagar pintu itu. Tawa pun tak kuasa kutahan. Jika aku tak melakukannya, mungkin santri-santri itu masih akan terus menonton Ustaz Dafi yang sedang melatih karate. Ada-ada saja mereka.

Hampir saja jantungku lepas dari tempatnya ketika mendengar suara deheman seseorang di belakang tubuhku. Sejenak aku terdiam karena suara itu bukan perempuan melainkan laki-laki. Tubuh kubalikkan untuk memastikan sosok di balik tubuhku. Napas kuhela. Dia lagi. Entah kenapa dia seperti makhluk tak kasat mata yang selalu menghantuiku. Aku menatap pakaiannya. Pakaian khas bela diri menghiasi tubuhnya. Dia terlihat berbeda.

"Kamu ngapain di sini?" tanyanya.

Nggak tau kenapa selalu ketemu sama dia. Udah kayak hantu saja. Lagian ngapain dia selalu di pondok putri? Bukannya santri sudah mulai libur karena mau lebaran?

"Ngapain? Nggak salah? Harusnya aku yang tanya, ngapain Anda di sini?" tanyaku balik.

Dia mengusap kepala belakang. Sepertinya sedang berpikir. Salah sendiri tak kontrol pertanyaan.

"Saya ada perlu di sini," balasnya. "Kenapa kamu bohong sama santri lain padahal di sini nggak ada Kak Fatimah?" lanjutnya bertanya.

"Siapa yang bohong? Aku hanya menyerukan nama beliau buat bubarin santri yang sedang nonton Ustaz Dafi ngajarin karate. Apa aku salah? Apa aku harus terus biarkan santri nontonin Ustaz Dafi terus?" tanyaku tak mau kalah.

"Tapi cara kamu salah." Dia mulai kambuh seperti kakaknya.

"Hanya cara itu yang tersirat di pikiranku saat lihat santri menyaksikan pemandangan seru." Aku menimpali. "Ya sudah, aku mau pergi. Kamu juga jangan lama-lama di sini, nanti jadi sorotan santri putri kayak Ustaz Dadi," lanjutku. Langkah kuayun untuk meninggalkannya setelah mengatakan hal itu.

Langkahku terhenti ketika mengingat sesuatu. Tubuh kembali kubalikkan. Dia sudah berjalan menuju pagar. Aku bergegas mengejarnya.

"Ustaz Alshad!" seruku sebelum dia membuka pintu gerbang.


Dia menghentikan langkah. Aku bergegas menghampirinya. Pandangan ia edarkan ke sekitar. Aku tak peduli.

"Ada apa lagi?" tanyanya datar.

"Bisa minta tolong?" tanyaku.

"Apa?" balasnya singkat.

"Aku mau tanya sama Ustazah Fatimah, tapi nggak mungkin aku ke rumah beliau tanpa ditemani santri lain. Jadi aku mau minta tolong ke Anda untuk menyampaikan pesanku. Bisa?" Aku memastikan.

Dia mengangguk.

"Aku mau nanya masalah Mama. Barangkali Mama telepon Ustazah Fatimah. Tadi aku coba telepon Mama, tapi nomornya nggak aktif. Barangkali Ustazah Fatimah punya nomor baru Mama." Aku menyampaikan.

"Akan aku sampaikan." Dia kembali mengangguk. "Ada lagi?" tanyanya kemudian.

Kepala kugelengkan. Lagi, dia mengangguk, lalu bergegas membuka gerbang untuk masuk ke area pondok putra.

"Terima kasih, Ustaz Alshad," kataku ragu.

"Iya," balasnya singkat.

Tak lagi kudapati suaranya di balik sana. Sepertinya dia sudah pergi. Aku menghela napas, lalu bergegas meninggalkan tempat ini.

***

Aku masih menunggu kedatangan Fatimah. Berharap dia membawa kabar baik untukku mengenai Mama. Biasanya, dia akan datang ke sini di jam seperti ini. Entah kenapa dia tak muncul-muncul. Apa Alshad tak menyampaikan pesanku lada Fatimah? Jika benar, maka dia keterlaluan. Aku akan mencarinya jika hal itu benar terjadi.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Orang yang kunanti telah hadir di sini. Aku bergegas menghampirinya yang sedang berjalan menuju dapur santri putri.

"Ustazah Fatimah!" seruku sambil berjalan cepat menghampirinya.

Dia menghentikan, menoleh ke arahku. Senyum terpaksa kusungging untuk menghargainya. Ada rasa risih untuk bertanya, tapi ini darurat.

"Apa adik Anda sudah menyampaikan pesanku?" tanyaku padanya.

"Oh, itu. Iya. Dia sudah menyampaikannya padaku. Kamu tunggu saya di ruang istiqbal. Nanti saya menyusul setelah keperluan dengan santri bagian hikmad selesai. Insyaallah nggak lama," balasnya.

Syukurlah jika Alshad menyampaikan pesanku. Setidaknya ucapan dia bisa kupegang. Lagipula dia ustaz di sini, jadi tak mungkin mengabaikan hal penting ini.

Aku bergegas menuju ruang istiqbal sesuai perintah Fatimah. Ini pertama kali aku memulai obrolan dengan dia. Biasanya, dia yang akan lebih dulu mengajakku untuk berbicara. Situasinya berbeda. Ini masalah Mama, jadi aku harus bisa meruntuhkan egoku.

Langit di atas sana terlihat mendung. Sepertinya akan turun hujan pagi ini. Aku mempercepat langkah agar segera tiba di ruang istiqbal untuk menanti Fatimah. Benar. Hujan pun turun saat aku tiba di ruang istiqbal. Ini hujan ketiga yang kudapati selama tinggal di sini.

"Allahumma shoyyiban nafi'an."

Kalimat itu selalu keluar dari mulut para santri ketika hujan turun. Kalimat itu adalah doa yang mengartikan, semoga hujan yang turun menjadi rahmat. Aamiin.

Pa, Ma, maafin Ratu, ya. Ratu menyesal karena selama ini sudah bikin kalian kecewa. Ratu menyesal karena sudah bikin Papa dan Mama menanggung malu. Ratu minta maaf. Ratu sadar, apa yang selama ini kalian lakukan hanya untuk kebaikan Ratu, bukan karena tak sayang pada Ratu. Ratu menyesal karena baru menyadari. Maafkan Ratu, Ma, Pa.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro