Episode 10: Jiwa yang menangis

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

MINIMAL TAP TAP LAYAR LAH! KOMEN 100X LANGSUNG CHECK KODAM😌🐣
YOK MONGGO RAMAIKAN!!!

"Ingatan bisa saja hilang, tetapi tidak dengan jiwa yang selalu menanti kepulangan."


Malam semakin larut. Tama yang seharusnya ikut dalam alunan kebersamaan di acara yang sengaja Azmi buat dengan mendatangkan orang-orang terdekat Tama di masa lalu, justru meninggalkan mereka dan mengunci dirinya di dalam kamar.

Agam, adalah salah seorang yang pernah menjadi partner kerja sekaligus sahabat Tama di masa lalu turut hadir di malam itu tak bisa berkutik. Jangankan mengenalinya, untuk menyapanya saja Tama enggan.

"Apa separah itu, Mi?" tanya Agam dengan suara yang agak dipelankan. "Masa Tama nggak kenal aku? Parahhh ish."

Azmi mengangguk pasrah. "Seperti yang kamu lihat, Gam."

"Tapi apa kata dokter? Ingatan dia bisa kembali?"

Azmi berdeham. "Bisa. Kalau ada mukjizat dari Allah."

"Heh. Kau pikir nabi dapat mukjizat," Agam terkekeh.

Azmi hanya diam dengan wajah datar tak mengindahkan ucapan Agam. Melihat tak ada respon, Agam berhenti tertawa dan memasang muka serius. "Beneran?"

Kembali Azmi menganggukkan kepalanya. "Tapi aku akan berusaha semaksimal mungkin. Dari terapi sampai mendatangkan kalian itu adalah bentuk ikhtiar aku untuk membantu mengembalikan ingatan Tama. Kata dokter, sih, impossible, tetapi di beberapa momen, ingatan Tama mulai kembali meskipun itu hanya secuil dan acak-acakan."

Memang beberapa waktu lalu ingatan Tama muncul seperti puzzle. Tak berurutan dan tidak jelas yang membuat Azmi juga ikut kebingungan. Ingatan apa yang sebenarnya sedang mengotak-atik otaknya, apakah itu baik atau buruk, Azmi tak bisa merangkainkannya dengan kata-kata.

"Hmm ... aku salut sama kamu, Mi." Agam tersenyum di sana sambil menepuk pundak Azmi. "Demi Tama, kamu sampai harus repot membuat acara seperti ini. Padahal, kan, kamu tinggal undang aku aja sama anak-anak untuk bertamu seperti biasa. Nggak perlu bikin acara gini segala."

"Ya, sesekali, lah. Kan kita jarang kumpul seperti ini. Apalagi setelah kamu menikah dan Tama menghilang, bisa dihitung jari kita kumpul kayak gini, kan?"

Mata Agam menyipit. "Iya juga, sih. He he," kekehnya. "Apalagi kita ketemunya lebih banyak pas di acara undangan aja. Ngisi doang, deep talk-nya nggak."

"Nah, inilah momennya. Sekalian kan," Azmi balas menepuk pundak Agam. "Gimana kabarmu? Tumben banget chatku bisa kebaca. Biasanya tenggelam."

Agam terlihat menatap Aisyah yg duduk sendiri di depan tv, lalu senyumnya merekah. "Aku baik. Alhamdulillah. Setelah nikah, pintu rezeki tiba-tiba banyak terbuka."

"Alhamdulillah." Raut wajah Azmi ikut merekah. "Berarti rezeki anak bentar lagi dong ini."

Spontan Agam melirik Azmi. "Loh loh, darimana kau tau istriku sedang hamil?"

Mata Azmi membelalak. "Hah? Serius? Aisyah hamil?!" Suara Azmi begitu keras oleh karena terkejut.

Agam terperanjat, ia langsung menarik pundak Azmi dan mengunci mulutnya rapat-rapat. Terlihat Aisyah tersipu malu, memberi reaksi menundukkan kepala.

Raihan, Yusuf, juga Fatih yang sedari tadi ikut menyimak sontak mengucapkan selamat pada Agam dan istrinya. "Padahal, mah, si Azmi cuman asal tegur itu," timpal Raihan.

"Iya!" teriak lagi Azmi setelah berusaha menarik tangan Agam yang menempel di mulutnya. "Aku hanya tebak-tebak aja, Gam!"

Semua tertawa lepas. Begitu juga dengan Tama yang tak sengaja menguping pembicaraan mereka dari dalam kamar. Sesaat ia ikut tersenyum haru oleh karena kabar baik dari temannya terdengar menyejukkan, meski ia pun lupa seperti apa sosok Agam itu, namun malam itu, ia tersenyum atas kebahagian yang Agam sedang rasakan.

Di balik pintu kamar, Tama duduk di atas ranjang sambil tersenyum tipis mendengarkan suara tawa dari luar kamar. Sepintas ia berpikir kalau coba saja istrinya masih hidup, apa ia juga akan bisa memiliki keturunan? Apakah ia akan sebahagia Agam & Aisyah di luar sana.

Ia memejamkan kedua bola mata sayunya itu, berusaha mengingat wajah istrinya, suaranya. Semakin ia ingin mengingat wajah itu, semakin sakit kepala juga dadanya. Napasnya sudah mulai tak beraturan, tak ingin larut dalam kesakitan, sesaat kemudian ia membuka mata. Bola mata itu sudah memerah di sana.

Senyum yang melukis pada bibirnya tadi tidak berlangsung lama. Pikirannya kembali kosong, jiwanya kembali menangis. Suasana hatinya yang sebelumnya merekah, pelan-pelan menguncup. Lalu hilang rasa, Tama merasakan keheningan itu lagi.

Tama sedikit menundukkan kepala, dan tak terasa air matanya menetes begitu saja. Perasaannya biasa-biasa saja, tetapi jiwanya menangis. Ia menyeka air mata itu, ditatapnya butiran air yang telah menetes ke wajahnya barusan.

"Air mata apa ini? Tak ada rasanya sama sekali. Jiwaku  seperti sedang menangisi sesuatu, namun hatiku tak merasakan apa pun."

***

"Kamu sudah bangun, Tama?"

Azmi menggeser pintu dan sedikit terkejut sebelum melempar pertanyaan itu. Ia kemudian merenggangkan kedua tangannya setelah balik berjamaah di masjid lobby apartemen. Tak seperti biasanya Azmi melihat Tama sepagi itu berdiri di depan balkon apartemen. Suasana angin subuh masih dingin ditambah lagi langit masih gelap tak ada lagi bintang, hanya ada gemerlap lampu kota yang menyala terang.

"Ya," dijawab datar. "Kamu tidak lihat?"

"Kalau tau gitu, tak ajak kamu ke masjid buat ikut jamaah tadi," lanjut Azmi.

Tama hanya diam tak menggubris.
Meskipun Tama kehilangan ingatan, tapi tidak dengan asma-asma Allah yang telah ia hafalkan sedari kecil sampai di umur sekarang. Namun, Tama belum bisa berada dalam keramaian sekalipun itu salat berjamaah. Oleh karena itu untuk menghindari rasa panik dan kecemasannya itu, ibadah lima waktunya masih dilakukan sendiri dalam kamar.

Azmi tahu itu semua, tapi ia sengaja basa basi ke Tama agar suasana semalam tak usah lagi dibahasnya, ia tak ingin memperburuk suasana.

Tatapan Tama tajam ke depan, ia tak menoleh sedikit pun. Tetapi ia merasakan kehadiran Azmi sudah berdiri di sebelahnya. Keduanya sedang menghirup udara subuh. Pelan-pelan langit sudah mulai menampakkan merahnya. Azmi menarik napas panjang seraya memejamkan mata. Begitu besar karunia Allah yang Azmi lihat dan rasakan. Gedung tinggi pencakar langit, suara kereta cepat penyintas waktu, juga lampu-lampu jalan penghias ibukota menyala terang. Udara pagi masih sejuk, polusi seakan istirahat sejenak agar udara segar leluasa memberikan manfaat untuk tanaman, hewan, manusia, dan semua ciptaan Allah tanpa terkecuali yang melaksanakan ibadah subuhnya dengan hikmat dengan caranya masing-masing.

Setelah beberapa saat mata terpejam, Azmi membuka matanya dengan raut wajah sumringah. "Menurutmu, ke mana semua ingatanmu pergi, Tama?" tanya Azmi dengan senyuman lebar.

Entah angin apa yang menghantam Azmi, pertanyaan itu tiba-tiba ia lontarkan tepat di sebelah Tama. Ia menoleh ke wajah Tama yang masih fokus menatap ke depan.

Tama tidak mengindahkan pertanyaan yang Azmi lontarkan padanya. Lebih tepatnya, ia berpura-pura tidak mendengarkan. Suasana hatinya masih sama seperti semalam. Matanya terlihat letih oleh karena tak ada tidur. Semalaman dia berkutat di tanda tanya itu.

Perasaan semalam sejatinya ingin Tama utarakan pada Azmi, namun ia urungkan. Menurutnya tak ada gunanya kalau itu bukanlah tentang ingatan. Bisa saja air mata yang beberapa tetes itu hanyalah sebuah kebetulan setelah matanya terpejam dan merasakan kepala yang pening juga dada yang sedikit sesak. Ia tidak ingin membuat Azmi ikut memikirkan kondisinya itu. Sudah cukup ia merepotkan Azmi, sekarang ia ingin mengurusnya sendiri.

Ingatan Tama boleh jadi menghilang, tetapi semua kenangan hidup yang telah ia lihat, dengar, dan rasakan bermuara pada jiwa. Otaknya sudah melupakan itu semua tetapi tidak dengan jiwanya. Setiap bagian kenangan itu boleh jadi bersemayam di sana.

Azmi masih tersenyum di sana meski Tama tak mengindahkan. Ia juga mengingat-ingat semua perbincangannya semalam bersama Agam dan yang lain. Ia semakin yakin kalau jalan yang ia tempuh untuk memulihkan ingatan Tama sudah benar. Azmi akan menunjukkan hal-hal yang pernah Tama lalui bersama. Salah satunya, suatu hari Azmi akan membujuk Tama untuk ikut ke majelis ilmu. Dengan cara itulah kepingan-kepingan Tama pelan-pelan akan kembali meski harus dengan cara sakit sekalipun pikirnya.

Tidak mengapa kalau harus melihat Tama menangis, jikalau itu bisa menghadirkan ingatan, jikalau itu bisa memulangkan Tama yang dulu lagi.

"Lagi-lagi, waktu akan terasa cepat hari ini. Aku dan yang lain serasa sendu berselimut rindu, mengingat masa-masa indah saat kita bersama. Tertawa, menangis. Saat kita bercerita tentang masa depan yang ingin kita gapai bersama. Thank you for staying alive, Tama," lirih Azmi dalam hati yang masih menatap sahabatnya itu dengan penuh kehangatan.

***

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro