Episode 11: Kepulangan yang tak diharapkan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jika semua rumah adalah tempat pulang, tapi kenapa tak satu pun ada yang memberikan kenyamanan? Apakah boleh seseorang meminta pulang kepada Tuhan?"

***

Dalam beberapa minggu terakhir, Azmi disibukkan dengan jadwal yang sangat padat menghadiri undangan majelis salawat di beberapa tempat di Ibukota. Sudah beberapa kali juga ia mengajak Tama, tetap saja kekeh tidak mengindahkan ajakan Azmi tersebut.

Hingga satu waktu, sore itu, Tama yang tengah menyeruput teh hangatnya di balkon apartemen kembali ditawari oleh Azmi yang baru saja selesai tacap untuk persiapan nanti malam. "Tama, ikut, yuk?"

Tama menengok sedikit ke arah Azmi yang sedang memasang kopiah di atas kepalanya serta mengalungkan sorban putih miliknya.

"Skip," dijawabnya dengan judes.

Azmi tersenyum simpul. "Wah, sudah mulai ngegas nih."

"Kamu tidak lihat? Saya masih pemulihan."

"Pemulihan sudah berbulan-bulan. Terapi, bolak-balik rumah sakit. Ya, tetap saja, ingatan kamu belum juga pulih," Azmi seperti sedang mengeluh. "Mungkin salah satu caranya selain ikhtiar berobat jalan adalah hadir ke majelis salawat. Dulu kamu paling gercep loh hadir di majelis."

Tama masih terdiam sambil menikmati minumannya. "Barangkali ingatanmu bisa kembali dengan hadir ke majelis ini, Tama," lanjut Azmi berusaha meyakinkannya.

"Memangnya kenangan saya di majelis selawat banyak, ya? Sampai kamu yakin saya bisa sembuh dengan hadir ke sana? Sedangkan, saya benci keramaian."

Terlihat Azmi meyimak perkataan Tama taktaka menyebut kata benci keramaian. Jauh sebelum mereka berpisah, keseharian Tama adalah orang yang paling menyukai keramaian. Dalam hal apa pun, ia tidak bisa sendiri, ke kamar mandi saja harus ada yang menemani. Begitu juga dengan tidurnya, paling tidak harus ada guling sebagai teman tidur jika sudah tidak ada orang yang bisa menemani.

Azmi kembali tersenyum lalu merangkul pundak Tama, sontak Tama terkejut. "Aku yakin 99%."

Tama mengernyit. "Satu persennya ke mana?"

"1%nya kuasa Allah, he he," kekeh Azmi sambil menarik lebih dalam pundak Tama.

Tatapan sinis Tama kemudian jatuh di pelipis mata Azmi yang sedang menertawai sikap dinginnya. "Sekali-kali lah rangkul sahabatku yang paling tersayang ini. Gemes, ih dinginnya nggak ketulungan," lanjut Azmi mencubit-cubit pipi Tama.

"Gimana? Gimana? Mau ya, mau yaaa. Pliss." Azmi tidak akan berhenti bertanya dan memohon-mohon sambil memainkan pipi Azmi sebelum mendapatkan jawaban.

Tama pasrah, lalu dengan spontan menjawab, "Iya iya ... saya ikut."

Tiba-tiba Azmi tersentak. "Serius?!"

"Tapi, dengan satu syarat."

Hening tercipta sesaat. Sorot mata Azmi berusaha membaca keinginan Tama. Azmi diam seribu bahasa menunggu syarat apa yang Tama ingin ajukan. "Saya harus selalu di sebelahmu, jangan sampai saya terpisah karena saya tidak mengenal siapa-siapa."

Kedua bola mata Azmi berbinar. Senyumnya menukik. "Oh, jelas itu! Kamu kan bayi besarku yang sudah aku rawat dengan sepenuh hati dan kasih sayang ...." Senyumnya melebar. "Seperti anak sendiri," lanjutnya.

Perkataan Azmi membuat perut Tama tergelitik, tapi ia tidak bisa menunjukkan ekspresi bahagia itu. Ia sudah berusaha tersenyum tapi tak bisa juga menunjukkan ekspresi itu pada Azmi. Dalam hati kecilnya, Tama berdeham, saya ingin secepatnya pulih. Tidak hanya pulih ingatan, tapi juga kondisi mental.

***

Jadwal majelisan hari itu perdana melibatkan Tama. Pada akhirnya, setelah dibujuk oleh Azmi, akhirnya ia mengalah dan pasrah untuk ikut. Lagipula, ia sudah mulai merasakan suntuk di apartemen sendirian. Terlebih, Tama semakin bersemangat ikut saat ia tahu dari Azmi bahwa acaranya cukup dekat dari kos-kosan Tama dulu saat masih mengawali rantaunya di ibukota.

"Seberapa sering kamu dulu main ke kosan saya, Azmi?" tanya Tama spontan saat mereka di dalam mobil.

Kali ini Azmi memilih menyetir sendiri tanpa ada supir agar Tama bisa leluasa bertanya dan berbicara dengan dirinya.

"Sering banget. Sehari itu bisa tiga kali. Kayak makan, tiga kali sehari. Kadang sampai aku harus bermalam."

"Kenapa harus bermalam?"

"Iya. Kamu yang maksa minta ditemenin."

"Ohhh. Gitu." Tama mengangguk. "Andai saya tidak hilang ingatan, pasti kenangan itu adalah salah satu kenangan terbaik."

Azmi fokus menyetir, tapi kata demi kata yang Tama keluarkan dari bibirnya tak sedikit pun terlewatkan dari pendengarannya. Kemudian Azmi bercerita bagaimana sebenarnya Tama yang begitu suka dengan keramaian, membenci kesendirian, terlebih tidak ingin merasakan kesepian. Sangat berbanding terbalik dengan sekarang.  Penyakit yang ia derita sampai harus membuat kondisi mentalnya yang terganggu.

"Apa ini yang disebut karma, ya?" Tama memotong pembicaraan Azmi.

"Maksudnya?"

"Ya, saya mungkin dulu pernah berbuat kesalahan yang membuat Allah murka."

"Usss ..." desik Azmi. "Jangan ngomong kayak gitu. Fokus pada kesembuhanmu saja, ya. Hari ini kita akan hadiri majelisan, bertemu dengan kanjeng nabi. Sekaligus ngalap berkah para kyai, nanti aku minta para haba'ib untuk mendoakan kesembuhan kamu." Azmi kembali menyemangati Tama.

Azmi mengikuti semua perintah dokter bahwa jika ingin Tama cepat pulih, tidak hanya cukup hidup dengan pola yang sehat, tetapi suasana hati dan pikiran harus selalu positif. Agar kesehatan mental tidak mengalami penurunan drastis. Meski masih sulit dalam hal mengontrol emosi Tama, tetapi setidaknya Azmi sudah berusaha membangun positifvibe.

Menjelang pukul enam sore, waktu menunjukkan hampir masuk waktu magrib. Beberapa menit lagi, Azmi akan tiba di lokasi acara. Sesuai arahan maps pada layar monitor di mobilnya, ia diarahkan belok kiri ke jalan Patimmurah,  melewati Jalan Kejati. Tepat di perempatan lampu merah, dari arah berlawanan ada segerombolan orang keluar dari dalam mobil hitam dan salah satunya langsung menghentikan kendaraan yang dikemudikan Azmi.

Spontan Azmi banting stir mobil ke kiri dan melakukan rem mendadak. Mereka berdua terkejut. Serentak segerombolan orang itu mengepung mobil Azmi. Salah satu dari mereka ada yang mengetok jendela kaca mobil.

"Tama, kamu nggak apa-apa, kan?"

Tama mengangguk. "Itu kenapa? Apa ada yang kecelakaan?"

Azmi menurunkan sedikit kaca mobilnya. Lantas melontarkan pertanyaan pada orang tersebut. "Ada apa ya, Pak?"

"Kami ditugaskan untuk menjemput Mas Tama."

Azmi mengernyit. "Maaf, kalian siapa? Dari mana?"

"Kami pengawal yang ditugaskan Pak Yudistira Permana, ayah kandung dari mas Tama Yudistira."

Azmi menengok pada Tama yang hanya diam membisu, lalu ia mencoba mengingat-ingat nama Yudistira Permana. Ia juga bertanya-tanya bagaimana bisa orang-orang itu mengetahui keberadaan mereka, terlibih Azmi diberhentikan di tengah perjalanan menuju majelisan. Jangan-jangan ia dibuntuti dari jauh hari. Di otak Azmi penuh dengan pertanyaan.

Suara klakson terdengar sahut-sahutan menyadarkan Azmi dari pertanyaan-pertanyaan yang membelenggu isi kepalanya. Sederet mobil di belakang mobil Azmi sedang mengantre untuk melewati jalan yang setengahnya ditutupi oleh kendaraannya.

Azmi terlihat berusaha untuk tetap tenang, pelan-pelan ia menarik napas panjang. "Baik, sebentar ya, Pak. Saya menepi dulu," ucapnya dengan ramah.

Mobil kemudian berjalan ke tepi trotoar jalan raya. "Ada apa, Azmi?" tanya Tama lagi.

"Nggak apa-apa. Kita menepi sebentar, ya."

Sesaat Azmi ingin membuka pintu mobil, orang-orang itu lebih dulu membuka pintu dan menarik keluar Azmi dari dalam mobil. Kedua tangannya disekap, ia ingin berteriak tapi mulutnya sudah ditutupi lakban oleh salah satu dari mereka.

Mata Azmi membelalak ke arah Tama. Tidak sempat Tama berbuat apa-apa, ia langsung dibius sampai pingsan dan diangkat oleh para anak buah pengawal yang katanya suruhan ayah Tama. Meski ia disekap, Azmi tidak berhenti merontah, namun sebelum orang-orang menyadari kalau ia sedang diserang, mereka memasukkan Azmi ke dalam mobilnya lalu salah satu dari mereka mengambil alih kemudi.

Entah ke mana mereka akan membawa pergi Azmi, juga Tama di mobil yang berbeda.

***

Tama pulang ke keluarganya dalam kondisi setengah sadar. Saat sadarkan diri, tahu-tahu ia sudah ada di dalam ruang kamar yang cukup besar. Pajangan fotonya di kamar itu membuatnya sedikit terkejut, juga di sebelahnya sudah ada foto-fotonya lengkap bersama para anggota keluarga.

Tak hanya itu saja, di antara tumpukan foto-foto itu, ada sebuah surat yang amplopnya tertulis jelas:

Surat Wasiat

untuk Tama Yudistira

Ahli Waris

Pikiran Tama kemudian tertuju pada Azmi yang ia pun tidak tahu kemana Azmi menghilang atau ia yang menghilang dari Azmi. Tama tidak tahu ada di mana. Salah seorang kemudian membuka pintu kamar dan masuk. Tama sontak menoleh ke arah pintu.

"Mas Tama!" seru orang itu.

Tatapan Tama membisu sebab ia sama sekali tidak mengenali perempuan yang berdiri di sana. "Maaf. Anda siapa? Dan saya di mana?"

"Saya maminya Yusuf. Ibu Tiri kamu," perempuan yang masih terlihat muda itu tersenyum simpul. "Selamat, ya. Kamu sudah kembali."

Perempuan itu berjalan kecil menghampiri Tama yang sedang memperbaiki posisi duduknya. "Gimana rasanya hilang ingatan?"

Tama tidak tahu bagaimana bisa perempuan itu mengenalnya, terlebih ia tahu bahwa dirinya sedang sakit. Mendengar kalimat ibu tiri yang dilontarkan oleh perempuan itu. Tama kembali mengedarkan pandangannya, ia semakin yakin kalau dirinya sudah pulang ke rumah yang sebenarnya. Namun ia tak mendapatkan sambutan hangat seperti yang ada di bayangannya. Kepulangan Tama layaknya kepulangan yang tak diharapkan oleh rumah itu. Tak ada yang menyambutnya dengan baik.

Tanpa berpikir panjang Tama mengajukan pertanyaan, "kemana orang tua kandung saya yang ada di foto ini?"

Perempuan itu dengan tenang menjawab, "Ibu kandungmu sudah lama meninggal, dan ayahmu ..."

***
To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro