10: Pupus

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hal terberat adalah pura-pura baik-baik saja. Mereka sudah sampai di rumah dan masuk ke kamar masing-masing. 

"An, langsung mandi ya. Kita habis dari luar, biar bersih badannya," pinta Renata sambil mengusap kepalanya pelan.

Andreas tersenyum lebar, anak itu sedang bahagia karena keinginannya untuk makan es krim tercapai. Berbeda dengan Renata yang memaksakan diri untuk tersenyum, pikirannya terus terpaku pada satu hal, suaminya dan wanita itu.

"Siap, Ma."

"Anak pintar." Kebiasaan Renata selalu memberikan pujian untuknya. Kalimat yang simpel, tapi penting. Pemberian apresiasi yang sesuai dapat membuatnya merasa dihargai, menumbuhkan kepedulian dan mengurangi stres juga.

Dia juga tidak ingin apa yang terjadi padanya dirasakan juga oleh anak itu. Dulu dia jarang diberikan apresiasi, dia juga sering kesepian. Rasa sakit itu sangat membekas di relung hatinya, terus hadir sejak hari itu hingga dia beranjak dewasa.

Setelah mandi, Renata melangkah mendekati kasur. Dia tengah melamun begitu nada dering ponselnya berbunyi. Hatinya mencelos, ternyata itu dari suaminya.

"Hai Ren, nanti malam aku pulang malam. Kamu tidur aja duluan."

Renata tersenyum tipis, dia masih belum bisa menyingkirkan bayangan mereka di kedai es krim tadi. Betapa bahagianya raut wajah wanita itu dan Arjuna yang mau pergi berduaan saja. Semuanya tampak aneh baginya.

"Ren?"

"Oh iya, oke."

"Kamu baik-baik aja? Kok kayak lemes gitu?"

Kalau aku lemas pun itu bukan urusanmu, karena kamu yang buat aku jadi seperti ini, batin Renata.

"Nggak apa-apa kok. Cuman kecapean aja."

"Oh gitu, oke."

"Ar, aku boleh nanya?"

Pertanyaan yang mengundang gelak tawa dari Arjuna. "Astaga, kayak baru pertama kali ketemu aku aja. Tanya aja kali, emang aku marah kalau kamu bertanya. Nggak, kan?"

Wanita itu tidak ikut tertawa, tatapannya kosong membayangkan hal itu berulang-ulang. Tanpa sadar, air matanya mulai menetes.

"Tadi siang kamu kemana?"

"Hah? Ya di kantor. Memang kemana lagi?"

"Nggak pergi kemana gitu?"

Renata hanya ingin mendengar kejujuran dari Arjuna, berusaha menggiring topik supaya dia sadar apa yang sebenarnya dimaksud wanita itu.

"Hm, tadi makan bareng temen sih. Kenapa memang?"

Renata menggeleng pelan, padahal Arjuna juga nggak bisa melihatnya menggelengkan kepala. Tapi, refleks saja dia melakukannya.

"Nggak apa-apa. Ya udah, aku tutup ya panggilannya."

"Oke, i love you."

Tidak ada balasan, wanita itu langsung menutup panggilannya. Biasanya dia akan kegirangan mendengar kalimat itu, tapi pikirannya masih kacau. Entahlah, mungkin dia yang terlalu berpikir yang tidak-tidak.

"Ah, sudahlah. Ingat Ren, semua yang berlebihan itu tidak baik. Kalau kamu mikir yang nggak-nggak, yang ada kamu sendiri yang stres. Padahal kamu tahu sendiri suamimu nggak mungkin berpaling ke lain hati."

Renata berbicara pada dirinya sendiri, menguatkan dirinya. Dia tidak akan berhenti di tengah jalan, seberapa berat rintangannya dia akan mempertahankan rumah tangga ini. Kecuali Arjuna sendiri yang memintanya untuk berhenti, bila saat itu tiba dia akan menghilang dari hadapan Arjuna untuk selamanya.

Tidak berniat mencari cinta yang baru, sebab selamanya cintanya hanya untuk Arjuna seorang. Jatuh cinta itu resikonya begitu besar, patah hati berujung duka mendalam di hati.

Dalam waktu luangnya, Renata mencari artikel yang membahas resiko jatuh cinta. Sembari memutar lagu yang dinyanyikan oleh Hanin Dhiya yang berjudul pupus.

"Tak ada jaminan bebas patah hati dalam hubungan apapun. Rasa cinta tidak hanya soal bahagia, melainkan keiklasan karena rasa cinta bisa pergi begitu saja. Ketika pada akhirnya merasa kehilangan, pasti merasa sakit hati tetapi masih banyak alasan untuk bertahan. Dunia tidak akan kiamat hanya karena kamu kehilangan dia."

Kalimat terakhir membuatnya tertegun, memang benar waktu akan terus berputar, hidup akan terus berjalan. Mungkin ada masanya menangisi kehilangan, tetapi tidak bisa selamanya larut dalam ratapan.

"Jatuh cinta itu hak setiap orang, tapi tiap orang juga punya hak untuk meninggalkan. Kamu tidak bisa memilih jatuh cinta pada siapa, bukan cintanya yang salah mungkin waktunya yang kurang tepat. Solusinya adalah memaafkan."

Kepalanya semakin cenat-cenut dibuatnya. Membayangkan hari-hari tanpa hadirnya Arjuna adalah mimpi buruknya. Dia tidak sanggup berpisah dengannya, dia tidak mau hidup dalam kesepian lagi.

"Aku akan berjuang dan mempertahankan rumah tangga ini. Aku tidak akan menyerahkan kamu ke siapapun, meskipun itu mempertaruhkan nyawaku. Tapi, kalau kamu memintaku berhenti aku akan berhenti. Berhenti berjuang untukmu dan melepaskanmu meskipun aku tahu aku tidak akan sanggup. Mungkin, aku tidak akan mau jatuh cinta lagi."

Setelah itu, dia menaruh ponselnya dan merebahkan dirinya di kasur. Berusaha memejamkan mata supaya tertidur dengan harapan kepalanya sudah tidak terlalu pusing begitu bangun nanti. Yah, itupun kalau masih diberi kesempatan buat hidup.

***

Renata terbangun begitu mendengar suara hembusan angin yang begitu kencang. Wanita itu langsung duduk dan menatap kesekelilingnya. 

"Ah, jendelanya lupa ditutup. Pantesan bunyinya keras sekali."

Dia melangkah mendekati jendela sambil sesekali menguap. Rasa kantuk masih dirasakannya, setelah ini dia ingin mengecek Andreas dulu baru lanjut tidur lagi. Lagipula, Arjuna juga pulang telat malam ini. Dia sama sekali tidak ingin makan, nafsu makannya lenyap setiap kali mengingat nasib pernikahannya.

Renata baru saja selesai menutup jendela dan hendak berbalik. Namun, sekelebat bayangan membuatnya berhenti. Matanya membulat, badannya mulai gemetaran. Terlihat bayangan menyerupai bayangan manusia tengah berdiri di depan jendelanya. Jendelanya ditutupi tirai tipis dan diluar sudah gelap. Orang itu berdiri lumayan jauh, tapi masih terlihat. 

Anehnya daritadi dia tidak menyadari sewaktu mau menutup jendelanya. Bayangan itu kian mendekat. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah hingga wajahnya menempel di kaca jendela, bertepatan dengan itu dia merasakan helaan napas di tengkuknya.

"AAA!" Renata berteriak sekencang mungkin. Dia berjongkok saking ketakutannya, badannnya semakin gemetar tidak terkendali dan dia menutup kedua telinganya.

"Hei, Ren! Kamu kenapa?" tanya orang itu berulang-ulang. 

"Pergi! Pergi! Jangan ganggu aku!"

Renata terus saja berteriak hingga orang itu mendekapnya dengan erat.

"Ini aku, Arjuna. Tenang, sayang. Semua baik-baik aja."

Dia langsung membuka matanya dan bernapas lega. Renata masih belum berani menengok ke jendela, bayangan itu masih terekam jelas dalam ingatannya.

"Arjuna!"

"Iya, ini aku sayang."

Arjuna mengusap kepalanya pelan, mendekapnya begitu erat supaya wanitanya merasa aman. Badannya masih gemetar dan dia menangis kencang, selama itu pula mereka berdua berpelukan hingga Renata merasa lebih tenang.

Seusai itu, Arjuna berdiri dan menuntun Renata untuk duduk di tempat tidur. Pria itu terus memegangi lengannya, menjaganya supaya tidak terjatuh.

"Kamu tadi kenapa sayang?"

"A-ada bayangan di jendela. Aku takut, Ar."

Arjuna langsung berdiri hendak mendekat ke arah jendela, tapi tangannya dicekal oleh Renata.

"Nggak, jangan ke sana. Dia pasti masih ada di sana. Serem, Ar."

Arjuna tersenyum. "Tenang, sekarang udah ada aku. Kamu aman, Ren."

Benar, dia sudah aman. Tidak perlu khawatir lagi semuanya akan baik-baik saja. Setidaknya untuk beberapa saat ini dia bisa bernapas lega.

-Bersambung-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro