13: Broken

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arjuna tidak membiarkan Renata kabur lagi. Mereka harus membahas permasalahan ini. Semalaman dia merutuki perkataannya, tidak seharusnya dia menyakiti hati wanitanya seperti itu. Harusnya dia paham seberapa cintanya Renata pada pekerjaannya. Dia tidak berhak mengatur hidup Renata sekalipun dia adalah suaminya. 

Renata berhak penuh atas keputusan yang dibuatnya, seharusnya tugasnya adalah memberi dukungan bukannya malah menambah daftar luka baru di hatinya. Semalaman dia menatap Renata yang tidur membelakanginya, punggung mungil itu terasa begitu jauh darinya padahal mereka sangat dekat. Dia sudah melakukan kesalahan.

Pria itu mencekal pergelangan tangannya, jantungnya berdegup begitu kencang.

"Ren, aku mohon jangan kabur lagi. Aku salah, sayang. Nggak seharusnya aku lampiasin amarahku ke kamu. Jangan menghindariku lagi."

Berat, Renata juga tersiksa terus menerus menghindarinya. Wanita itu membalikkan badan, menatap Arjuna dengan tatapan sendu. Mereka berdua sama-sama kacaunya, menghindar hanya akan menyakiti satu sama lain semakin dalam.

"Jadi, kamu mau ijinin aku kerja lagi di kantor?"

"Ini persoalan sepele, Ar. Kenapa harus berbelit-belit gini, sih?" lanjut Renata lagi.

Dari tatapan Renata, tergambar jelas rasa sakit yang dirasakannya dan Arjuna menyesal sudah jadi salah satu orang yang memberikan duka padanya, di saat seharusnya dialah yang memberikan kebahagiaan.

Arjuna menggenggam jemari Renata dengan erat. "Aku ijinkan, maafin aku ya. Ada permasalahan di kantor, itu juga yang buat pikiranku agak kacau. Yah, akhirnya malah melampiaskan emosi ke kamu."

"Masalah di kantor? Kok kamu nggak cerita, Ar?"

Arjuna tersenyum miris. "Masalah biasa, tapi agak rumit aja. Bukan masalah besar kok, sayang."

"Mau masalah besar atau kecil, beritahu aku dong. Aku kan bukan pajangan doang di sini. Aku isteri kamu, jangan rahasiakan apapun dariku."

Mereka sama-sama menghela napas, pada dasarnya mereka berdua sama-sama menyimpan sebuah rahasia. Rahasia yang terlalu menyakitkan untuk diberitakan, rahasia yang terlalu berat untuk dihadapi. Perpisahan adalah akhir yang paling ditakuti oleh kedua insan itu.

"Iya, maafin aku ya."

Arjuna menarik Renata ke dalam pelukannya. Akhirnya tidak perlu menghindar lagi setidaknya untuk beberapa saat ini. Sebab tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya, bukan?

"Ar, ada yang mau aku bahas--"

Ucapan Renata terpotong karena ada panggilan masuk di ponsel Arjuna.Arjuna langsung melepaskan pelukannya dan merogoh sakunya hendak mengambil ponselnya. Renata menyadari ada perubahan ekspresi Arjuna begitu melihat layar ponselnya.

"Siapa?" bisik Renata penasaran.

"Ah, dari kantor."

"Ya udah, angkat aja."

Arjuna tersenyum lalu menjauh darinya. Semakin hari, Renata jadi semakin mudah curiga. Contohnya hal ini, biasanya Arjuna tidak akan menjauh ketika menerima panggilan telepon. Namun, kali ini berbeda. Apakah benar itu panggilan dari kantor?

Renata tersenyum mencoba berpikir positif dan memahami kalau Arjuna tidak mungkin membohonginya. Akhirnya, dia memilih untuk duduk dan menyantap dua lembar roti yang dioles dengan mentega serta meses. 

"Ma? Laper."

 Andreas datang dan merengek kelaparan. Dia masih mengucek-ucek matanya saat itu, dan Renata semakin gemes dengannya. Semakin hari dia semakin sayang saja dengan Andreas, dia sudah dianggap seperti anak kandungnya sendiri.

"Makanya daritadi dibangunin buat sarapan itu didengerin. Untung makannanya belum dihabisin. Nih, makan." Renata mendekatkan piring kecil yang berisi dua lembar roti. 

"Sudah dikasi meses, Ma?"

"Sudah dong, Mama gitu lho."

Andreas tersenyum lalu makan roti dengan lahap. Dia sudah kelapran karena semalam dia tidak ikut makan malam, katanya mengantuk berat.

Mereka masih asik mengobrol begitu Arjuna kembali mendekat ke arah mereka. Dari raut wajahnya terlihat dia sedang khawatir.

"Kenapa Ar? Kok kayak khawatir gitu?"

Arjuna tersenyum lalu mengusap kepala Renata pelan.

"Nggak ada apa-apa. Aku harus ke kantor sekarang, ada yang mesti diurus di sana. Kamu sarapan bareng Andreas aja ya."

"Lho? Terus kamu gimana? Tadi kan belum selesai sarapan." Renata cemberut, dia jelas mengkhawatirkan keadaan Arjuna. Dia tidak ingin suaminya kelaparan nanti, kalau bekerja kan butuh tenaga. Bagaimana mungkin bisa konsentrasi bekerja kalau energinya kurang?

"Aku nanti makan di kantin aja, sayang. Aku pamit ya, buru-buru nih."

Seusai mengecup kening Renata dan pamit dengan Andreas, pria itu langsung masuk ke mobil dan melajukan mobilnya menuju ke kantor. Renata menatap mobil itu hingga hilang dari pandangannya, kebiasaannya sejak dulu. 

Dulu ketika diantarjemput oleh ayahnya, setelah turun dari mobil dia selalu menunggu hingga mobil ayahnya hilang dari pandangannya barulah dia masuk ke dalam sekolah. Kebiasaan itu masih berlanjut hingga sekarang, kalau tidak melakukan hal itu rasanya ada yang janggal dan perasaannya tidak tenang.

Namun, sekarang juga perasaannya tidak tenang. Entah kenapa dia merasa ada hal yang disembunyikan Arjuna darinya. Sekeras apapun dia  berusaha mengingkari pikiran itu, selalu saja keraguan itu hinggap di relung hatinya.

"Ih, dasar aku. Masa nuduh Arjuna bohong sih? Nggak boleh, Ren kamu harus berpikir dewasa. Kalau kayak gini terus yang ada berantem terus sampai aku nemu pintu kemana sajanya doraemon."

Renata tersenyum mentertawakan kebodohannya. "Ah, mending aku bawain makanan ke kantor deh. Nanti bawa Andreas juga, biar sekalian main ke rumah ayah."

Wanita itu begitu semangat menjalankan rencananya. Dia hanya tidak mengira kalau dia sudah masuk dalam jebakan seseorang.

-Bersambung-


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro