15: Imperfect

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nada dering dari ponsel Renata terus terdengar. Sudah dari beberapa jam dihabiskan untuk melamun. Keadaannya cukup mengenaskan, rambut yang berantakan. Dia merebahkan dirinya di kasur, menaruh kakinya ke tembok. 

Dengan mengangkat kaki ke tembok mempunyai beberapa manfaat seperti membuat pikiran jadi rileks, meredakan nyeri punggung, memperbaiki pola tidur, memperlancar pencernaan dan meredakan kram pada kaki. Sejak mengetahui manfaat itu, Renata sering menyempatkan waktu untuk mengangkat kaki ke tembok, sembari mengevaluasi semua yang sudah dilakukan.

Ponselnya berada di dekatnya, dari layar tertera kalau orang yang memanggilnya adalah Arjuna. Sudah berpuluh-puluh chat dikirimkan dan berkali-kali panggilan darinya, tidak ada satupun yang dibalas dan diangkat.

 Renata sudah mengunci pintu kamarnya, sementara Andreas sudah aman bersama kedua orang tuanya. Lagipula ada Johan dan isterinya di bawah. Jadi, anak itu aman bersama mereka. Pikirannya sedang kacau, sulit baginya untuk berkonsentrasi.

Foto yang dikirim ke ponselnya menambah kecurigaannya, apalagi waktu dia memutuskan untuk menelpon Arjuna begitu dia sampai di rumah ayahnya. Waktu itu, dia mau menanyakan langsung ke pria itu, dia menurunkan egonya dan mau menanyakan kebenaranya. Sayangnya, yang terjadi diluar dugaannya.

"Halo?"

"Iya? Ini siapa?" 

Bukan suara Arjuna, jelas-jelas itu adalah suara wanita. Entah siapa, tapi berhasil membuat Renata semakin kalut.

"Anda yang siapa? Kenapa ponsel suami saya ada di Anda?"

"Oh, dia lagi ke toilet. Mau sampaikan pesan apa?"

Renata tidak merespon pertanyaan itu, dia langsung mematikan panggilan dan melempar bantal dan barang-barang yang ada di dekatnya. Hancur, bagaimana mungkin seorang Arjuna memberikan ponselnya kepada wanita lain?

Dia tidak bisa mengeyahkan pikiran buruk itu dari pikirannya. Semuanya diingat dengan jelas dan membuatnya semakin sakit hati. 

"Kamu kenapa, Ar? Bosan sama aku? Kamu seenaknya ketemu sama wanita lain di belakangku, kamu berduaan juga sama wanita lain di dalam ruanganmu, kamu bahkan--"

Di foto itu ada Arjuna dan wanita yang ditemuinya di kedai es krim. Rupanya waktu itu bukan pertemuan pertama mereka, kedekatan mereka begitu terlihat dan Arjuna tidak jujur padanya.

"Kamu anggap aku pajangan aja? Jadi, aku dinikahi buat jaga anak kamu doang? Serendah itukah aku di matamu?"

Setelah beberapa jam melamun, akhirnya wanita itu menangis. Menangisi nasib pernikahannya. Dia paling benci dimadu, tidak ada wanita yang ingin berbagi pasangan. 

Tidak lama kemudian, ponselnya kembali berdering. Renata tertegun, di layar tertera kalau ayah mertuanya yang memanggilnya. Langsung saja diangkat panggilan itu.

"Selamat sore, Pa."

"Hei, Ren. Kamu datang kan ke acara keluarga?"

"Ah, iya. Renata datang kok Pa, cuman agak terlambat mungkin. Masih ada kerjaan soalnya, Pa."

"Oke, kamu hati-hati ya. Kalau ada masalah boleh lho cerita ke papa juga. Jangan sungkan-sungkan, kamu kan sudah papa anggap sebagai anak sendiri."

"Siap, Pa. Terima kasih ya, Pa."

Renata menutup panggilan itu. Dia  baru ingat kalau hari ini ada acara. Untung saja ayah mertuanya begitu baik dan menanyakan kedatangannya. Dia bersyukur mempunyai ayah mertua yang baik, meskipun berbeda dengan mama mertuanya yang terus menuntut kehadiran cucu. Dia sudah lelah dengan ekspektasi, karena dia tidak mampu mewujudkan ekspektasi itu.

Dengan lesu, dia duduk dan menyandarkan punggungnya ke dinding. Seakan-akan sudah tidak bertenaga, untuk makan saja dia enggan apalagi pergi ke rumah orang tuanya Arjuna. 

"Sudahlah, Ren. Kalau kayak gini terus permasalahan nggak akan selesai. Mending selesaikan semuanya satu per satu. Pertama, datang ke acara keluarga dulu. Nggak enak kalau aku sendiri yang nggak dateng, nanti malah mama mikir macem-macem. Mantu nggak bener lah, mantu nggak tahu diri, atau parahnya dibanding-bandingin sama wanita lain."

Dia berusaha menguatkan dirinya sendiri, kalau bukan dia yang menyemangati dirinya lantas siapa lagi?

Renata langsung mandi dan menggunakan dress kesukaannya. Mengeringkan rambutnya yang basah setelah keramas, lalu mencatok rambutnya juga biar semakin rapi. Dia mengenakan dress berwarna biru dongker polos. Renata menyukai hal yang simpel, terlebih lagi dress ini adalah hadiah pemberian Arjuna.

"Oke, sudah terlihat cantik."

Renata tersenyum puas dengan hasil make up-nya, dia tampak anggun dalam balutan dress berwarna biru dongker itu. Setelah selesai membereskan barang-barangnya yang berantakan, merapikan kasurnya, lalu dia keluar dari kamarnya.

Seperti mengulang masa lalu, dia kembali bertemu kakak tirinya, Johan.

"Hei, tumben dandan," sapanya. Johan terlihat tampan, dia terlihat jauh lebih bahagia sekarang. Renata menduga dia menikmati kehidupannya yang sekarang bersama keluarga kecilnya.

"Beneran cantik, kan? Mau ke rumah orang tuanya Arjuna. Ada acara keluarga."

"Oh, pantesan. Terus, Arjuna mana? Nggak jemput kamu?"

Renata terdiam, dia juga tidak tahu pria itu ada di mana. Sudah sampai di rumahnya atau masih bersama wanita itu.

"Ren? Are you okay?"

Wanita itu merutuki dirinya yang mudah sekali ditebak. "Baik kok. Ih, nggak usah sok khawatir gitu deh."

"Nggak, pasti nggak baik-baik aja. Pria brengsek itu ngapain kamu? Berani-beraninya dia buat adik kecilku sedih."

"Nggak tahu apa kalau sedih dia makin jelek," lanjutnya lagi.

Renata langsung menatapnya garang dan mencubit tangannya dengan segenap kekuatan yang ada.

"Heh! Sakit!"

"Rasain, makannya jangan usil mulu jadi orang."

Johan mengusap kepalanya pelan. "Jangan sedih-sedih ya, adik cantik. Kalau mau cerita, aku selalu siap mendengarkan."

Tadi ayah mertuanya, sekarang Johan. Ternyata dia memang tidak sendirian, masih ada orang lain yang menyayanginya dan mau menerimanya yang tidak baik-baik saja.

"Siap, nanti traktir makan biar aku seneng."

"Dih, itu namanya penyalahgunaan kesempatan. Dasar."

Mereka tertawa, rasanya beban Renata sedikit berkurang. Dia sudah siap untuk pergi sekarang, semoga saja kesalahpahaman ini cepat berakhir.

-Bersambung-


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro