4: Jujur

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seharian ini perasaan Arjuna kacau. Ekspresinya semakin jutek dan menatap sinis ke pegawai yang melakukan kesalahan atau hasil kerjaannya kurang memuaskan. Indira tidak sengaja mendengar omelan Arjuna untuk kesekian kalinya hari ini. 

Dia menghela napas lalu masuk ke dalam ruangan yang sengaja tidak ditutup. Bagi Arjuna, kalau ada orang yang mau masuk maka pintunya jangan ditutup untuk menghindari gosip-gosip yang tidak penting.

Terkadang gosip datang tidak terduga, terutama bagi orang yang kurang menyukai Arjuna. Itulah yang membuat dia menerapkan prinsip itu, terlebih lagi setelah dia menikah. Dia tidak ingin ada salah paham diantara dirinya dengan Renata, meskipun sekarang pun mereka sedang tidak baik-baik saja.

Begitu Indira masuk, langsung menarik perhatian Arjuna dan Nicholas. Seperti yang dibayangkannya, wajah Nicholas memelas dan pucat sementara Arjuna wajahnya jadi garang.

"Nicholas, kamu bisa keluar."

"Lho, saya belum selesai bicara--"

Ucapan Arjuna terhenti begitu melihat tatapan tajam dari Indira. Mereka sudah berteman cukup lama jadi dia paham kalau Indira sedang tidak ingin dibantah. Lagipula, Arjuna menghormati Indira sebagai rekan, mereka bersama-sama membangun perusahaan ini dari awal hingga sekarang.

Nicholas meninggalkan ruangan itu, dia sudah bisa bernafas lega setidaknya untuk beberapa saat ini, sementara Indira duduk di kursi yang terletak di depan meja Arjuna.

"Kamu lagi ada masalah?" Indira belum tahu pasti apa yang membuatnya jadi uring-uringan seperti itu, tetapi dugaannya ini berkaitan dengan isterinya.

Arjuna belum menjawab pertanyaan Indira dan memilih menyandarkan kepalanya di sandaran kursi sembari memejamkan matanya.

"Aku bisa gila kalau kayak gini terus."

"Maksudmu? Kamu minta biar jadi gila?" Ucapan Indira mengundang tatapan tajam dari Arjuna. Melihat itu langsung saja Indira tertawa, dia sedang mencoba mencairkan suasana.

"Jadi, benar ada masalah dengan Renata?"

Arjuna langsung duduk tegap dan menaruh telunjuknya di depan bibirnya.

"Sst, diam-diam. Renata masih belum mau kalau aku ngasih tahu anak-anak di kantor."

"Lho? Kok gitu? Kalian, kan, nikahnya sah bukan kawin lari."

"Tahu ah, ngomong sama kamu bukannya menyelesaikan masalah malah nambah masalah," keluh Arjuna. 

Indira tersenyum lalu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.

"Kamu pulang aja deh kalau kayak gitu. Yang ada semua orang kamu marahin, lagian udah tahu lagi nggak baik-baik aja tuh emosi jadi nggak stabil. Kasihan tahu anak orang dimarahin mulu," nasehat Indira. Dia tahu Arjuna tidak bermaksud seperti itu, kalau pun hasilnya kurang memuaskan dia tidak akan kelepasan untuk memarahi mereka. Lagipula, wajar karena tidak ada yang sempurna di dunia ini selain pemilik semesta.

"Masa kamu lagi yang gantiin tugasku?"

"Eh, enak aja. Kamu kan bisa kerja dari rumah. Ya udah gitu aja dulu sambil kamu selesaikan masalahmu itu. Oh iya, aku ada kabar baik dan kabar buruk. Kamu mau denger yang mana?"

Arjuna memijat pelipisnya lagi, dia sungguh tidak ingin mendengar kabar buruk untuk sementara ini. Namun, tidak ada yang bisa menghindar dari suratan takdir. Roda kehidupan memang kejam, padahal dia ingin menikmati hidupnya dengan damai bersama keluarga kecilnya.

"Kabar baik dulu deh."

Indira tersenyum, lalu duduk tegap. "Kita punya pegawai baru."

"Oh yang kamu bilang kekurangan pegawai jadi mau nyari pegawai baru itu ya?"

"Iya bener. Untung masih ingat," ujar Indira sambil tersenyum. Lesung pipit di pipinya muncul tatkala dia tersenyum dan itu membuatnya terlihat semakin manis. Namun, bagi Arjuna hanya Renata yang paling cantik dan manis.

"Terus, berita buruknya apa?"

"Ada klien, dia resenya bukan main. Selalu saja dibilang hasilnya tidak memuaskan padahal sudah sesuai dengan yang diinginkannya. Dia juga memberikan ancaman akan membeberkan hal ini ke publik, padahal yang salah dia tapi kamu tahu sendiri kalau klien kita ini punya pengaruhnya besar, tetap aja kita yang dicap negatif nanti."

"Terus?"

"Terus, aku selidiki lebih jauh dan baru tahu jika klien rese dan pegawai baru ini punya hubungan darah."

"Terus masalahnya dimana?" Arjuna masih tidak paham dengan maksud kalimat Indira.

"Kamu mikir nggak sih kalau ada kemungkinan klien rese itu bakal ngasih syarat akan diam asalkan kita memenuhi keinginannya yang lain?" Indira selalu suka berpikir jauh, memikirkan setiap kemungkinan yang ada, sementara Arjuna tidak terlalu berpikir jauh dan berlebihan. Baginya sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, lagipula memikirkan suatu hal berlebihan padahal hal itu belum tentu terjadi, bukankah itu sangat membuang-buang waktu?

"Kenapa kamu bisa mikir kayak gitu?"

"Soalnya dia nanyain kamu terus dari awal diterima hingga kemaren. Bukannya itu nggak wajar? Ngapain kepo berlebihan sama pemilik perusahaan yang hobinya marahin orang waktu berantem sama isterinya?"

"Udah ah, males banget. Kalian tuh seneng banget bahas sesuatu berlebihan, mikir sesuatu berlebihan terus nyalahin orang."

Indira mengerutkan dahinya, dia merasa Arjuna juga sama saja.

"Kamu juga sama aja lho. Nggak ngaca?"

Arjuna berdecak kesal lalu mengalihkan pandangannya.

"Mungkin cuman kepo doang, biarin aja udah. Pusing kepalaku mikirin dugaan-dugaan kayak gitu. Aku pulang aja deh ya, nanti kalau kliennya masih aneh-aneh aja, kabarin biar aku yang bicara langsung sama mereka."

Indira tersenyum kecut, dia juga sudah enggan melanjutkan debatnya. Mending dia melanjutkan tugasnya lalu segera pulang ke rumah, merebahkan dirinya di kasur sembari mendengar alunan lagu jauh lebih baik untuk menjaga kewarasannya.

"Ya udah, semoga cepet selesai deh masalahnya."

Arjuna tersenyum tipis memandang kepergian Indira dari ruangannya. Setelah semua beres, dia segera keluar dari sana, menuju ke lift. Rupanya tidak hanya Arjuna yang ingin turun ke lobi, ada satu orang lagi. Seorang perempuan dengan rambut dikuncir kuda, mengenakan kemeja dan rok sepaha.

Pemandangan yang kurang menyenangkan bagi Arjua, dia kurang suka melihat wanita yang mengenakan pakaian kekurangan bahan seperti itu. Seharusnya jangan menggunakan pakaian yang mengundang hawa nafsu pria, karena wanita yang pakaiannya tertutup saja bisa jadi korban apalagi yang menggunakan pakaian kekurangan bahan seperti itu, batin Arjuna.

Mereka masuk ke dalam lift, Arjuna tersenyum tipis begitu wanita itu menyapanya.

"Halo, Pak. Selamat sore."

Arjuna tersenyum tipis lalu menyapanya balik. "Ya, selamat sore."

"Pak Arjuna ya?" 

"Iya. Ada apa?"

Wanita itu tersenyum lebar, matanya berbinar-binar seakan-akan dia menemukan harta karunnya, sementara Arjuna sudah merinding menyadari sikapnya itu. Beruntung lift sudah terbuka, dia langsung mengakhiri percakapan mereka.

"Saya pamit."

Wanita itu masih tinggal di dalam lift, namun pandangannya tidak lepas dari Arjuna.

"Akhirnya saya menemukanmu."

Di tempat lain, Arjuna sudah masuk ke dalam mobilnya dan segera melajukan kendaraannya menuju ke rumah. Pria itu mampir ke toko kue, dia tahu Renata suka dengan makanan manis, bisa saja makanan itu membuat perasaannya jauh lebih baik dan mau diajak bicara dengan baik.

Dia juga harus mengendalikan dirinya biar tidak kelepasan marah di depan wanitanya. Dia tidak ingin menjadi penyebab Renata menangis, dia sudah berjanji untuk membuatnya bahagia bukan berurai air mata.

Arjuna sudah sampai di rumah, dia menaruh kantong plastik berisi kue di atas meja lalu melangkah mendekati kamar. Begitu pintu dibuka, Arjuna menghela napas.

"Udah tidur rupanya."

Akhirnya, dia memilih mandi untuk menyegarkan badannya, sekalian mendinginkan kepalanya. Mungkin lebih baik seperti ini dulu, besok mereka harus menyelesaikan masalah ini.

-Bersambung-





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro