5: Damai

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Renata sudah tertidur begitu Arjuna pulang. Bajunya sudah kusut, begitu juga dengan perasaannya. Dia menaruh tasnya di meja rias isterinya dan pergi ke kamar mandi. Dia mau menyegarkan badannya dan mendinginkan kepalanya.

Padahal belum larut malam, tapi Renata sudah terlelap. Biasanya dia akan menunggunya meskipun dia pulang larut malam sekalipun. Mungkin ini karena mereka beradu pendapat tadi pagi.

Seusai itu, Arjuna keluar kamar untuk melihat Andreas. Pria itu tersenyum begitu melihat anaknya masih terjaga. Dia sedang main robot-robotan di atas kasur. Begitu mendengar ada suara pintu dibuka, anak itu langsung bersembunyi dibalik selimutnya.

Arjuna terkekeh pelan, dia menduga anaknya pasti ketakutan sekarang dan berpikir macam-macam.

"Ini papa, Nak."

Seusai itu, dia membuka sedikit selimutnya lalu menatap Arjuna, wajahnya langsung berubah dari pucat menjadi tersenyum sumringah.

"Papa pulang!" serunya, dia langsung duduk dan memeluk Arjuna erat.

"Hai, An. Gimana hari ini?" sapa Arjuna sambil duduk di kasurnya.

Andreas langsung berubah jadi murung, tentu ini mengundang tanda tanya bagi Arjuna.

"Hari ini berjalan lancar, tapi mama Renata nangis tadi." 

"Kenapa nangis?"

"Nggak dikasih tahu alasannya kenapa, tapi Andreas sedih."

Arjuna langsung memeluk anaknya erat, mengelus kepalanya dengan penuh kasih sayang.

"Terima kasih ya udah jagain mama. Sekarang Andreas tidur yuk, biar besok bangunnya segar."

Anak itu tersenyum lalu mengangguk. Arjuna mengusap kepalanya lagi sebelum keluar dari kamar Andreas.

Dia masih memikirkan ucapan Andreas tadi, rupanya Renata menangis setelah dia pergi. Pria itu semakin merasa bersalah, pasti ucapannya yang kasar membuat perasaannya jadi tersakiti.

"Ah, bodoh. Harusnya bisa kendaliin diri. Kenapa malah aku yang bikin dia nangis sih?" omelnya pelan.

Dia membuka pelan kenop pintu, lalu segera naik ke tempat tidur. Renata membelakanginya, pria itu menghela napas panjang dan segera terlelap. Dia sudah lelah, setidaknya dia bisa berpikir dengan kepala dingin esok hari.

Keesokan harinya, begitu Arjuna bangun ternyata Renata sudah lebih dahulu bangun. Pria itu menghela napasnya lagi, rasanya semuanya jadi semakin sulit saja.

"Dia kemana ya? Tumben banget pagi-pagi udah bangun, biasanya juga aku yang lebih dulu bangun dari dia."

Arjuna pergi ke kamar mandi dulu untuk mencuci muka dan menggosok gigi, biar tidak ada bau-bau yang tidak enak keluar dari mulutnya. Baginya penampilan sangat penting, apalagi dia sebagai pimpinan jadi harus terlihat rapi.

"Ren? Kamu ngapain?" Arjuna terkejut melihat wanita itu tengah mencuci pakaian, padahal biasanya memasukkan pakaian kotor ke laundry. 

"Oh, lagi pengen nyuci sendiri aja."

Jawaban yang singkat dan dia tidak menoleh ke arah Arjuna, jelas menjadi petunjuk nyata kalau dia masih marah pada pria itu. Arjuna langsung mengambil bangku pendek dan duduk di sebelah Renata.

"Ren, denger aku. Jangan nyiksa diri kamu kayak gini. Aku salah, aku minta maaf. Tolong bantu aku, kita selesaikan semua secara baik-baik. Kita bahas ini dengan baik-baik."

Wanita itu masih diam, tidak berniat merespon ucapan Arjuna barusan.

"Aku mohon, Ren. Aku nggak bisa fokus, aku nggak tenang karena masalah kita belum selesai. Sayang, lihat aku." Arjuna menggenggam jemarinya hingga Renata akhirnya menatapnya. Matanya memerah, dia tengah menahan tangisnya.

"Aku minta maaf, sayang. Kamu tahu aku sangat mencintaimu, tidak mungkin aku menikahimu biar ada yang menjaga Andreas. Itu jelas salah besar."

Mendengar itu membuatnya menangis, Renata merasa jadi orang yang bego karena meragukan cinta suaminya. Padahal sudah terlihat jelas dan dapat dirasakan kalau suaminya begitu mencintainya. Lalu, hanya karena gosip yang tidak jelas membuatnya jadi ragu.

Renata melepas genggaman Arjuna lalu membersihkan tangannya yang masih bersabun. Selepas itu, dia memeluk Arjuna erat.

"Maafin aku juga, Ar. Aku terlalu berpikir berlebihan sampai lepas kendali kayak gitu."

Arjuna melepaskan pelukannya dan menatap lekat ke kedua manik Renata.

"Kamu serius? Kita damai, kan?"

Renata tersenyum sambil berurai air mata, tidak ada lagi malam tanpa pelukan. Dia tidak perlu gengsi dan menghindar dari suaminya. Mereka sudah berdamai.

Mereka menghabiskan waktu dengan menangis di hadapan seember yang penuh pakaian penuh busa sabun. Setidaknya perasaan Renata dan Arjuna sudah lebih lega. Sekarang tinggal mencari tahu penyebabnya, batin Arjuna.

***

Sekarang mereka tengah menyantap gorengan dan ada minuman teh hangat. Andreas sengaja diminta untuk tetap tinggal di kamarnya, sementara mereka berdua di meja makan untuk membahas soal masalah yang dipikirkan Renata.

"Lho, Andreas kok nggak keluar kamar?" tanya Renata heran.

Dia baru saja mau menuju ke kamar Andreas begitu tangannya dicekal oleh pria itu.

"Aku sengaja minta dia tetep di kamar. Sekarang waktunya kita bahas soal masalah yang kamu pikirkan, Ren."

Renata mengerutkan keningnya heran. "Ya nggak apa-apa sih, tapi kasihan nanti kalau dia kelaperan gimana?"

"Nanti kan ada makan malam."

Renata tetap teguh pada pendiriannya. "Nggak, setidaknya biarin aku kasih sepiring gorengan dan teh hangat ke kamarnya. Aku nggak mau dia kelaperan."

Arjuna melepaskan cekalannya dan membiarkan Renata melakukan keinginannya. Pria itu tersenyum, Renata benar-benar menyayangi anaknya dengan sepenuh hati.

Selepas itu, mereka akhirnya bisa membahas soal penyebab perdebatan mereka. Awalnya Renata masih enggan mengungkapkannya, tapi Arjuna terus memintanya hingga akhirnya dijelaskan kalau dia mendengarkan ucapan yang tidak enak didengar.

"Setiap aku keluar rumah untuk beli sayur, selalu ada ibu-ibu lain yang beli sayur. Mereka ngomong hal-hal yang nggak bener dan aku kepikiran terus."

"Mereka ngomong apa memangnya?" Arjuna sudah mengepalkan tangannya begitu Renata menjelaskan ucapan mereka.

"Sial, padahal mereka nggak tahu kebenarannya tapi masih aja julid. Mending ngurusin keluarga masing-masing daripada merendahkan orang lain kayak gitu."

Renata malah tersenyum melihat Arjuna ngomel-ngomel. Rasanya dia begitu dilindungi dan benar kalau Arjuna tidak mempermasalahkan soal pekerjaan dan fisik. Baginya dia sudah menerima segala kelebihan dan kekurangannya.

"Ren, sini aku peluk." 

Renata memeluk erat Arjuna, menyandarkan kepalanya pada dada bidang pria itu.

"Sampai kapanpun, aku cuman cinta sama kamu. Jangan pikirin omongan orang ya, kalau kamu risih kamu nggak usah belanja lagi di mas tukang sayur. Nanti kita ke supermarket aja beli sayuran dan keperluan di rumah, oke?"

Renata tersenyum lalu menyetujuinya. "Mereka nggak ngurusin kita, mereka hanya melihat dari luar dan seenaknya berpendapat. Jadi, omongan mereka itu tidak pantas dipikirkan. Asalkan orang yang kamu sayang tetap percaya dan menemanimu, artinya nggak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, kan?"

"Iya kamu benar." Renata melepas dekapannya dan mengusap pipi Arjuna pelan. Mereka hampir berpelukan kembali begitu mendengar nada panggilan dari ponsel pria itu. Mereka saling memandang lalu tertawa.

-Bersambung-


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro