7: Masalah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Andreas masih asik dengan mainannya. Dia tidak lagi tertarik untuk makan kerupuk, sepertinya ucapan Arjuna masih membekas dalam benaknya. Anak itu juga tidak tersenyum, seperti raga tanpa nyawa. Hanya menggerakkan mainan mobil-mobilannya, tapi tidak menikmatinya.

Melihat itu membuat Renata segera ke kulkas untuk mengambil sepotong kue cokelat kesukaan Andreas. Anak itu penggemar makanan manis dan Renata menduga mungkin perasaannya akan lebih baik setelah itu.

"Halo jagoan," sapa Renata lalu duduk di sebelahnya.

Andreas hanya menatap balik Renata lalu kembali menggerakkan mainan mobil-mobilannya itu.

"Kok cemberut gitu? Udah nggak suka sama mainannya?" Renata mengusap rambut anak itu pelan. Andreas hanya menggeleng, masih belum berniat mengobrol dengannya.

Renata menaruh piring berisi kue itu, lalu mengeluarkan boneka domba miliknya. Boneka itu hasil rajutan Arjuna dulu. Dia memberikannya sebagai hadiah karena tahu Renata meyukai boneka. Hadiah yang spesial, terlebih lagi hasil buatan pria itu sendiri.

"Hai cowok ganteng!"

Renata mendekatkan boneka itu padanya, dia mencemprengkan suaranya juga. Lama-lama, perhatiannya tertuju pada boneka itu.

"Ihiy! Gitu dong senyum, kan makin kelihatan gantengnya."

Andreas meletakkan mainan mobil-mobilannya dan menopang dagu menatap boneka itu lagi.

"Salam kenal ya ganteng, namaku domba. Kalau ganteng namanya siapa?"

Renata menggerakkan kaki domba itu seakan-akan tengah bersalaman, anak itu tersenyum lalu mengulurkan tangannya.

"Andreas."

"Wah, nama yang bagus ya. Berhubung anak ganteng udah senyum, domba mau kasih hadiah."

"Hadiahnya apa?" tanya Andreas penasaran.

Renata mengambil piring tadi dengan tangannya yang satu lagi dan memberikannya pada Andreas. Dia tertegun menatap sepiring kue cokelat itu. Matanya berbinar-binar. Hal itu membuat Renata jadi tersentuh. Padahal cuman sepotong kue cokelat, tapi udah bisa buat anak itu begitu senang.

Renata memberikan boneka domba itu pada Andreas yang tengah makan kue dengan lahap. 

"Andreas jangan sedih-sedih ya. Kalau Andreas sedih, nanti aku ikutan sedih. Kalau Andreas bahagia, aku juga bahagia. Kebahagiaanmu itu prioritasku, Nak."

Perlahan-lahan air matanya mulai menetes, dia memeluk anak itu dengan erat setelah dia selesai makan kue. Menyandarkan kepalanya pada dadanya, dan mengusap kepalanya dengan pelan.

"Kalau Andreas sedih, marah beritahukan ya, Nak. Jangan dipendam sendiri, kasihan kamu."

Wejangan demi wejangan terasa menyenangkan di telinga anak itu. Dia selalu menginginkan momen ini, dulu dia hanya bisa iri dengan teman-temannya yang bebas mengungkapkan perasaan pada orang tuanya. Arjuna selalu sibuk dan dia sudah kehilangan sosok ibu. 

Itulah mengapa dia menikmati momen kebersamaannya dengan Renata. Meskipun sifat usilnya masih belum punah, tapi sudah mulai berkurang. Malah dia semakin lengket dengan Renata, dia menemukan sosok ibu melalui Renata.

Sosok ibu tiri yang menakutkan perlahan sirna, Renata tidak sejahat ibu tiri di dongeng yang sering dibacanya. Meskipun Renata sering mengomel karena dia tidak membereskan mainannya, membongkar pakaian yang sudah disusun rapi di lemari, makan berantakan, tapi dia tahu kalau Renata begitu menyayanginya.

Mereka masih asik mengobrol begitu  nada dering ponselnya berbunyi. Wanita itu tertegun melihat nomor asing yang tertera di layar ponselnya. Ada keraguan yang hinggap, tapi akhirnya diangkat juga.

"Halo?"

Renata terus bertanya, tapi tidak ada jawaban. Hingga akhirnya terdengar suara seorang wanita. Dia terisak pelan, membuat Renata mendengarkan baik-baik apa yang didengarnya itu. Isakan itu perlahan mereda dan berganti dengan lirihan.

"Jauhi Arjuna atau kamu akan menghilang selamanya."

Renata membulatkan matanya, baru saja dia mau merespon tapi panggilan itu sudah diakhiri. Badannya jadi lemas, dengan mulut yang melongo, dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

"Mama kenapa?" Andreas jadi heran dengan perubahan sikap Renata. Tapi, dia berhenti bertanya begitu mendengar suara ketokan yang begitu keras. Baik Andreas maupun Renata sama-sama terkejut. Andreas langsung memeluk erat Renata, dia takut dengan hal yang horor.

Sekelebat bayangan maling menghantuinya. Dia langsung menelpon Arjuna sembari melirik ke arah tongkat baseball yang terletak di samping sofa. Dia meminta Andreas bersembunyi di balik sofa, tapi anak itu bersikeras ingin berada di dekat Renata.

Akhirnya, mereka berdua berjalan pelan-pelan mendekati pintu itu. Sudah berulang kali Renata menelpon Arjuna tapi tidak kunjung diangkat. Wanita itu menaruh kembali ponselnya di saku celana, dan bersiap-siap dengan tongkat itu. Pasalnya kenop pintu bergerak, seperti ada yang berusaha membuka dari luar.

Begitu pintu terbuka, Renata langsung mengayunkan tongkat itu.

"EH! REN, JANGAN PUKUL MAMA!" teriak orang itu keras.

Beruntung Renata masih bisa merespon dan tidak jadi mengayunkan tongkat itu kepadanya. Dia tercengang melihat orang yang datang, rupanya ibu mertuanya.

"Lho? Mama?"

"Oma?"

Renata dan Andreas bisa bernapas lega sekarang, dia langsung menaruh tongkat itu ke samping meja yang ada di dekat pintu. Dia menyalim tangan mama mertuanya itu.

"Mama kok nggak bilang kalau mau mampir?"

Mama mertuanya merentangkan tangan kepada Andreas, lalu menggendong anak itu. Dia begitu sayang dengan cucunya. Tentu saja, siapa yang tidak sayang dengan cucu pertama?

"Kamu yang nggak angkat telepon mama. Udah berulang kali juga nggak diangkat-angkat. Ya udah mama langsung ke sini. Eh begitu nyampe sini malah mau dipukul. Durhaka kamu tuh."

Renata cengengesan, tidak bisa dipungkiri dia memang bersalah. Tapi, sikapnya ini karena telepon yang barusan diangkatnya. Mengingat hal itu saja sudah mampu membuat bulu kuduknya merinding.

"Kenapa kamu, Ren?"

"Nggak apa-apa kok, Ma. Oh iya, mama udah makan? Tadi Renata sempat masak, mungkin mama mau mampir makan juga."

Wanita paruh baya itu tersenyum lalu melangkah masuk ke ruang makan. Dia berdecak kesal memandang rumah yang berantakan.

"Kamu ini lihat nggak sih rumah berantakan gini? Jadi perempuan kok nggak rapi gini. Jaga rumah tetap rapi, biar suami pulang juga nggak makin mumet lihatnya."

"Iya, Ma. Maaf, tadi Renata lagi main sama Andreas--"

"Halah, nggak usah banyak alasan. Mama juga denger dari temen mama kalau kamu jarang ngobrol sama tetangga?"

Renata masih diam, membiarkan mertuanya selesai berbicara.

"Harusnya kamu inisiatif ajak mereka ngobrol. Katanya dia sama ibu-ibu lain udah ngajak kamu ngobrol tapi kamunya diam-diam aja. Relasi itu penting, Ren. Jangan mengandalkan Arjuna terus. Jadi, wanita itu yang mandiri."

Renata paham tidak ada maksud jahat sama sekali dari ucapan itu, dia berusaha mendengarkan dan memahami setiap nasehat yang diberikan. Lagipula, belajar itu seumur hidup jadi tidak masalah dengan adanya kesalahan.

"Terus, udah ada tanda-tanda?" 

Pertanyaan yang membuat Renata semakin bingung. Melihatnya yang diam membuat mama mertuanya menggeram kesal.

"Tanda-tanda hamil. Udah ada?"

Renata akhirnya paham dengan pertanyaan tadi. Perlahan-lahan dia mulai keringat dingin, pasalnya mereka sama sekali tidak merencanakan untuk memiliki bayi dalam waktu dekat. Mereka hanya ingin fokus pada Andreas dulu hingga dia sudah cukup besar. Tapi, hal itu sepertinya akan bertentangan dengan keinginan mertuanya.

"Oh, belum ada, Ma."

"Kok belum ada? Kamu nggak mandul, kan?"

Rasanya mendengar pertanyaan itu lebih menyakitkan daripada mendengar julidan tetangganya. Sakit yang tidak berdarah, dan parahnya dia juga meragukan dirinya sendiri.

-Bersambung-



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro