Bab 26🔞

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Anna membanting diri di atas kasur berseprai bunga-bunga lalu memandangi langit-langit kamar. Tubuhnya serasa dipukuli banyak orang padahal perjalanan seharian ini tidak sebanding ketika dia pulang dari Nusa Lembongan menuju Buleleng atau dari IHC ke Sanur. Ini semua karena dia harus menelan mentah-mentah semua hinaan Aria tanpa bisa membalas. Anna mengumpat dalam hati, merutuki sikap kekanakan Aria yang dirasa tidak menunjukkan martabat sebagai konglomerat. Jika dia mau dewasa sedikit, mana mungkin gadis itu memberi ancaman juga mencela orang lain? 

Tak berapa lama notifikasi pesan berbunyi. Dengan malas, tangan kirinya merogoh-rogoh tas selempang hitam untuk meraih gawai tersebut dan mendapati Shanon mengiriminya beberapa pesan teks sekadar menanyakan bagaimana kabar gadis itu. 

Shanon : Apa semua baik-baik saja, Mate? Terakhir kali kau tidak bisa dihubungi.

Anna : Feel crook, Mate. Tunangan Jake datang dan dia menyebalkan. 

(Tidak baik, kawan)

Shanon : What???

Shanon : Beristirahatlah dulu, Annie. Jika kau sudah merasa baikan, kau boleh cerita. Tetaplah bernapas, Annie! 

"Ya, benar. Apa pun yang terjadi tetaplah bernapas, Anna, seperti kata Jack Kahuna Laguna," gumam Anna meletakkan kembali ponsel tanpa membalas pesan Shanon. Ibarat mesin, dia sudah tidak bertenaga lagi jika harus menceritakan sedari awal. 

Mendadak perut Anna keroncongan seperti aksi demonstrasi dari cacing-cacing di dalam sana yang dilanda rasa lapar berkepanjangan. Dia menggigit bibir bawah kalau menghadapi Aria benar-benar menguras energi. Padahal tadi siang dia makan agak banyak berupa nasi campur Bali; nasi yang didampingi ayam sisit, telur bebek pindang, ayam betutu, jukut urap, sate lilit ikan, dan sambal matah. Ditambah saat di pameran makanan tadi, dia bersama Barbara juga berkeliling mencicipi tester yang diberikan. Jadi, seharusnya cukup kan memenuhi nutrisi sampai malam?

Akhirnya Anna memutuskan bangkit dari tempat tidur dan mematut diri di depan cermin betapa berantakan penampilannya. Dia perlu mandi menggunakan lulur untuk merontokkan celaan-celaan Aria, menggunakan sheet mask agar kulitnya tidak terlalu stress akibat dipandang sebelah mata, dan tentunya perut Anna harus diberi jatah. Mungkin semangkuk mi kuah diberi potongan cabai, sayur sawi, dan telur bisa menjadi teman ternikmat malam ini. 

Uap mi kuah rasa kari ayam spesial yang kental bertabur irisan cabai merah menggiurkan Anna yang baru selesai mandi. Dia baru ingat kalau di kulkas ada stok sebungkus jamur enoki, sehingga dia menambahkan jamur tersebut agar makin kenyang. Dia mendudukkan diri di kursi ruang makan ditemani lagu-lagu dari Spotify yang menemani hari-hari sepinya. 

Anna telah menyusun satu playlist yang sengaja diberi nama 'AJ' di mana inisial tersebut mewakili namanya juga Jake. Akibat kesamaan selera musik, maka tidak ada salahnya kan bila dia menyalurkan kerinduannya kepada lelaki itu melalui lagu? 

Dia memutar garpu agar gulungan mi terbalut sempurna sebelum masuk ke dalam mulut ketika suara Rob Thomas mengalun merdu menyanyikan unwell. Anna merasa bahwa tiap lirik yang dinyanyikan vokalis Matchbox Twenty itu sedang menggambarkan dirinya yang sedang tidak baik-baik saja. Andai kata ada ajang pencarian manusia paling tahan banting menahan tekanan batin, Anna akan mengajukan diri dan menunjuk Aria sebagai dalang dari semua rasa sakit hatinya. 

"Kamu itu ibarat anjing jalanan yang kebetulan dipungut Jake atas belas kasihan."

Jikalau memang belas kasihan, kenapa Jake terus-menerus mencoba mendekatinya hingga mengajak bercinta? Kenapa pula bolak-balik dia menawarkan kebaikan di saat Anna sendiri bisa melakukannya secara mandiri? Dan kenapa pula Jake merasa tak begitu bahagia saat berada di dekat Aria?

Dering ponsel yang menampilkan nama Jake memecah lamunan panjang Anna. Gadis itu nyaris tersedak karena baru ingat kalau lelaki itu akan mampir ke rumah. Dia menoleh ketika mendengar ketukan pintu dan suara berat Jake tengah memanggil. Buru-buru Anna beranjak dan menyambut Jake seraya memasang wajah kalau semuanya terlihat baik-baik saja.

Tuhan! Dasar aku kebanyakan melamun sampai nggak sadar dia datang!

Bagai menemukan obat pelipur lara, Jake tersenyum manis kala pintu terbuka dan langsung menarik gadis itu dalam dekapan. Menyesap aroma bunga dari sampo yang digunakan Anna dan bertanya-tanya dalam hati, merek mana yang disukai gadis itu. Tapi, di sisi lain, yang terpenting saat ini adalah Jake bisa merelaksasikan dirinya sebentar bersama Anna selepas seharian tadi suasana begitu tegang. Menumpahkan gumpalan rindu yang menyesakkan dada. 

"Jake," panggil Anna saat lelaki itu menangkup wajahnya dan menggesek-gesekkan hidung mancung mereka. Anna terkikik geli karena sentuhan janggut Jake yang mulai lebat. 

"Aku suka kamu memanggilku, Anna," bisik Jake memberi kecupan lembut. "Kamu makan mi instan?" terkanya menaikkan sebelah alis. "Kari?"

"Kok tahu?" Anna menjilati bibir tapi Jake malah melumat bibirnya seakan-akan itulah tugas yang harus dilakukan. "Jake." Anna tergelak memukul dada bidang lelaki itu.

"Aku suka rasamu," lirihnya tak memedulikan pukulan Anna yang tidak seberapa sakit.

"Masuklah," ajak Anna menyilakan Jake masuk dan duduk di ruang tamu. "Kamu nggak dicariin Aria?"

Jake tak menjawab tapi tadi sempat memberi alasan ingin keluar menemui pegawainya di kantor karena ada masalah teknis di saluran listrik. Aria mengiyakan begitu saja karena dilanda rasa lelah berkeliling seharian. Sekarang biarlah dia membuat ruangannya sendiri bersama Anna tanpa dirusak orang lain. Jikalau bisa pun, ingin sekali Jake menghentikan detak jam di dinding agar lebih lama mendekap Anna.

Dia menarik lengan Anna agar duduk di pangkuan sebelum gadis itu menjauh dan membentangkan jarak yang memusingkan kepala. Kedua tangan Jake menangkup kepala Anna, mengagumi betapa manis dan menggemaskan gadis ini. Dia menghadiahinya ciuman-ciuman kecil di bibir sebelum berubah menjadi pagutan liar dan panas. Cumbuan penuh damba dan tuntutan kala gairah bercampur rasa rindu tercurah begitu saja dan dirasa tidak akan pernah habis untuk ditumpahkan. Bagi Jake, Anna seperti sebotol wine yang membuatnya ingin meneguk lagi dan lagi, berbotol-botol tanpa peduli dirinya akan mabuk. 

Aku memang sudah dibuat mabuk olehnya, batin Jake.  

Anna sedikit kewalahan mengimbangi lidah Jake yang makin mendesak menguasai mulutnya. Ditambah tangannya kini turun dan menelusuk masuk ke dalam kaus tank top yang dikenakan Anna. Sementara yang lain menekan punggung bawahnya untuk merekatkan bukti gairah mereka yang menggebu-gebu tak sabar bersatu sepertu dulu. Tentu saja sentuhan intim ini langsung melumpuhkan seluruh sel saraf Anna, namun membangunkan bulu roma hingga jutaan kupu-kupu dalam perut kini berputar membentuk pusaran. 

Kepala Anna berdenyut-denyut tapi sensasi menyakitkan ini justru menjadi kenikmatan tersembunyi, di mana sebagian besar kesadarannya terhanyut entah ke mana berganti bayangan-bayangan erotis tentang apa yang akan dilakukan Jake. Jemari-jemari Anna terbenam ke dalam rambut tebal lelaki itu, menekan lebih kuat ciuman mereka walau mungkin nantinya dia butuh bantuan napas sementara. Anna terkikik dalam cumbuan tersebut saat tangan Jake memainkan puncak dadanya yang mengeras.

"Jake, mi instanku nanti jadi lembek," bisik Anna di sela ciumannya.  

Barulah Jake melepas pagutan mesra sambil tertawa dan mencolek puncak hidung Anna. Jempolnya membelai bibir bawah sang pujaan yang terasa bengkak oleh lumatannya yang begitu dominan. Kemudian beralih ke rambut pendek Anna yang agak basah, menyisirnya ke belakang telinga lantas berkata, 

"Hari kita benar-benar berat. Maafkan aku." Jake menenggelamkan diri ke dada Anna. "Aku suka aromamu."

"Karena aku baru mandi," tandas Anna membelai rambut Jake. 

"Kamu menenangkanku, Anna. Kamu canduku, morfinku, wine-ku," puji Jake mendongakkan wajah dan menyandarkan dagunya ke dada Anna. "Aku minta maaf Aria telah mengejekmu."

Anna melenggut paham, mengatupkan bibir rapat membentuk senyum paksa. Kemudian dia memberi ciuman lembut di kening Jake, "Nggak ada yang salah, Jake. Seperti katamu kan? Nggak ada yang salah."

Ada secuil keraguan menyergap diri Anna tentang kalimat yang barusan meluncur dari bibirnya. Ini bukan salah Jake, tapi Aria yang tidak menghargai pekerjaan orang lain seolah-olah hanya dirinyalah yang berada di atas awan. Mungkin tanpa kedua orang tuanya yang kaya, Aria hanyalah seorang gadis Italia biasa. Ini juga bukan salah Jake saat berani mengambil jalan lain untuk mencintai Anna di saat raganya telah terikat oleh tali perjodohan berdasar bisnis. 

Lantas salah siapa, Anna?

Dewi batin Anna mengajukan pertanyaan itu. Anna menggeleng tak tahu. Yang jelas, mungkin waktu yang salah telah mempertemukannya dalam kondisi seperti ini. Andai Anna berjumpa dengan Jake lebih awal, mungkin segalanya akan berbeda. Di sisi lain, bukankah sedari dulu cinta segitiga seperti ini memang menyakitkan? Bahkan ketika disuruh memilih pun Anna tidak akan mampu. 

"Kalau aku bertemu denganmu lebih awal, apakah kisah kita akan sama seperti ini, Anna?" lirih Jake muram. Sorot abu-abu dalam matanya meredup seperti kehilangan harapan. Dia menarik napas lalu bergerak menjauh tanpa melepaskan pandangan kepada Anna.  Ada kegelisahan bercampur aduk dengan rasa dilema yang tersirat dari dalam sana.

"Nggak ada yang tahu takdir, Jake," jawab Anna berusaha meyakinkan diri kalau jawabannya memang benar. Kisah cinta manusia adalah misteri. Tidak ada yang tahu akhir perjalanan hidup seorang atau ke mana hati mereka akan berlabuh. Tuhan Sang Pemilik Hati punya kuasa untuk membolak-balikkan perasaan tanpa bisa ditebak-tebak oleh manusia. 

Saat berkencan dengan Milo, Anna pernah bermimpi kalau dia bisa menikahi pria berdarah Spanyol tersebut. Sampai akhirnya ditampar kenyataan jika yang dijalaninya bersama si parasit hanyalah sebuah fatamorgana Anna yang haus akan kasih sayang seorang pria. Dia terlalu buta, terlalu naif, terlalu cinta hingga memberikan hasil keringatnya secara sukarela.

Anna menarik napas panjang, mendadak hatinya begitu sakit jika hubungan ini bakal terasa sulit untuk menggapai ujung. Apakah dia mengulang fatamorgana itu lagi? Siapkah dia mengalami patah hati lagi? Siapkah dia mengeluarkan ratusan air mata untuk menangisi seorang pria yang notabene sudah punya belahan jiwa?

"Aku bersedia bila kamu mengakhiri ini, Jake. Aria ... dia terlalu mengikatmu dengan cincin pertunangan ini," kata Anna menarik jari manis lelaki itu, membelai cincin keperakan yang berkilau namun terasa menancap sanubari begitu dalam. 

"Aku nggak mau pisah darimu, Anna," balas Jake terdengar tak suka. "Kita bisa melaluinya, oke?"

"Nggak bakal ada akhir di antara kita bertiga, Jake. Ah, ada akhir untukmu dan Aria, bukan untukku." Anna beranjak dari posisinya. "Sudahlah, aku nggak mau kita berdebat seperti ini. Aku sadar diri kok." Dia memaksakan bibirnya tersenyum meski dadanya bergemuruh dipenuhi emosi mengapa perjalanan cintanya tidak pernah mulus. 

Apakah ini karma karena aku anak haram?

"Anna..." Jake mengekori Anna dan mendekapnya dari belakang. "Conosco solo un modo per misurare lo scorrere del tempo. Ed e con te o senza di te."

(Aku hanya tahu satu cara untuk mengukur berlalunya waktu. Dan itu ketika bersamamu aatau ketika aku tidak bersamamu)

"Artinya?" Anna menaikkan sebelah alis. "Kamu hanya ngajarin aku bahasa dasarnya saja loh, nggak sepanjang yang kamu omongin tadi."

"Artinya, mi instanmu sudah lembek," jawab Jake iseng kemudian mengaduh karena Anna menyikut tulang iganya. "Ayolah, Bella, aku datang ke sini agar kita saling menghibur bukan berdebat seperti tadi."

Anna mengerucutkan bibir seraya berjalan agak kesusahan karena badan Jake bertumpu pada bahunya yang kecil. Dan benar saja, mi kuahnya yang dibuat sepenuh hati sudah dingin dan mengembang. Dicicipi pun rasanya agak berubah. Dia mendecak kesal karena Jake masih tidak melepaskan rangkulan di sekeliling bahunya. 

"Yang barusan berdebat, Jake, mana mungkin kata sebanyak itu artinya 'mi instanmu sudah lembek'."

Jake membalikkan badan Anna menghadap dirinya. Tinggi gadis itu hanya sebatas pundak dan Anna seperti gadis mungil di sisinya. Apalagi gaya rambut pendek dan pipi tembam Anna tidak menunjukkan kalau gadis itu sudah berusia 30 tahun. Ibarat gadis kecil yang terperangkap dalam sebotol wine. Menggemaskan. 

Anna melingkarkan lengan ke leher Jake sambil menelengkan  kepala. "Kenapa kamu melihatku kayak gitu?"

"Lucu." Jake terkekeh sambil merangkul pinggang Anna yang ramping. "Ti voglio, Anna."

(Aku menginginkanmu, Anna)

"Ti Voglio. Apa itu?" tanya Anna menahan senyum di bibir. "Bukan mi instan lembek lagi kan?"

Jake terbahak-bahak menunjukkan geligi dan senyum semanis madu yang sangat disukai Anna. "I want you, itu artinya."

"Ti voglio." Anna mengulang kalimat itu. "Ti voglio, Jake."

"G nggak usah dibaca, Anna," kata Jake mengoreksi ucapan pujaan hatinya. "Ti voglio, amore. Baciami dappertutto."

(Aku menginginkamu, Sayang. Cium aku di mana saja)

"Bacem apa?" Anna mengerutkan kening.

Lagi-lagi Jake terbahak-bahak lalu menenggelamkan kepalanya ke ceruk leher Anna. "Astaga, kamu lucu. Bacem, hahaha ... bukan bacem."

"Serius tahu, bacem apa tadi? Kamu kecepetan ngomongnya!"

Jake menangkup wajah Anna lalu berbisik dan memandang iris cokelat itu penuh arti. "Baciami dappertutto itu ... ini."

Dia mencium Anna bertubi-tubi dari kening, mata, pipi, bibir lalu leher dan kembali ke kening hingga gadis itu menjerit karena geli. Ruang makan yang tadinya sepi kini dipenuhi rayuan-rayuan dan ciuman-ciuman penuh gairah hingga berakhir erangan penuh damba.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro