Bab 27

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Secangkir kopi rasanya tidak akan meredakan kemelut yang menjalari tengkuk manakala banyak sekali pesan elektronik yang diterima Jake. Bolak-balik dia memijit kepala dan bersandar ke kursi kantor sebelum lanjut membaca ulang beberapa keluhan yang datang dari konsumen. Seharusnya ini bisa ditangani oleh bagian customer service, namun karena dianggap terlalu banyak dan agak meresahkan, akhirnya dia ingin membantu. 

Kebanyakan dari mereka adalah permasalahan pengiriman yang dinilai terlalu lambat dan barang yang pecah di tengah ekspedisi. Ada juga yang mengatakan tutup botol wine Lagom tidak terlalu rapat sehingga rasa anggurnya berubah saat tiba di rumah. Alhasil, mereka merasa dirugikan dan menuntut barang ganti secara gratis. Tentu saja Jake harus memilah-milah semua laporan tersebut karena beberapa kali karyawannya ditipu oleh oknum-oknum nakal. Di jaman sekarang, orang lebih dari sekadar mampu tuk melakukan penipuan berkedok barang rusak dan bisa merugikan perusahaan. 

Jalan keluarnya adalah Lagom akan mengganti botol yang pecah secara cuma-cuma bila disertakan video unboxing saat produk pertama kali diterima pembeli. Sementara, waktu pengiriman yang dinilai lama sudah di luar tanggung jawab Lagom karena barang sudah berada di tangan ekspedisi.

Selain itu, dia juga membalas email-email melalui MacBook dari kolega yang ingin menawarkan kerja sama termasuk undangan untuk menghadiri peresmian sebuah restoran di Seminyak. Jake menulis kalau dia bersedia datang. Beberapa saat kemudian perhatiannya teralih manakala pesan teks dan sebuah foto masuk dari Anna membuat bibir tipis Jake menyunggingkan seulas senyum. Dalam jepretan kamera ponsel itu, Anna sedang duduk di samping kolam renang bersama Oslo juga Barbara. Mereka memakai masker wajah menggunakan irisan timun. Yang paling lucu, anjing kesayangan Jake turut berbaring di atas kursi pantai sementara dahinya ditempeli potongan timun. 

Anna : Nonna bercerita banyak tentang masa kecilmu, Jake. 

Anna : Dia bilang kalau dulu kamu anak badung. Suka tidur di kelas, misalnya. 

Anna : Btw, aku membayangkan kita berada di pantai yang sangat sepi. Mungkin berjemur, surfing, bakar ikan atau main gitar.

Dia menopang dagu, menggeleng-geleng kepala merasakan debaran dalam dadanya kian membuncah. Ibarat musim semi di mana bunga-bunga bermekaran, dengung lebah saling bersabut-sahutan, dan semburan sinar matahari yang hangat menerpa kulit. Bahkan Jake tidak bisa menghentikan tarikan senyum di bibir mengamati lebih dalam wajah Anna. Apalagi pipi tembam menggemaskan itu. 

Jake membenarkan ide Anna yang menarik tersebut namun tidak ingin ke pantai, melainkan berkunjung ke desa-desa adat Bali. Sewaktu kecil Jake pernah mengunjungi desa Penglipuran bersama keluarganya dan benar-benar dibuat betah. Apalagi kala itu ada acara ngusaba bantal--upacara keagamaan sebagai ungkapan terima kasih kepada Sang Pencipta usai panen padi--diadakan sebelum Nyepi. Penduduk di sana mempersembahkan jajan banten yang terbuat dari ketan, gula merah, garam, kelapa kemudian dibentuk mirip bantal dan dibungkus daun enau.

Rasanya sudah sangat lama tidak pergi ke tempat-tempat bernuansa alam. Di sisi lain, ada selipan rindu terhadap tanah kelahirannya, Chianti, Tuscany. Apalagi di sana musim semi dan musim panas lebih menggoda untuk  dijelajahi. Bersepeda menyusuri jalanan berkaveling yang dikelilingi kebun anggur berhektar-hektar luasnya atau sekadar duduk di bawah pohon sambil membaca buku-buku klasik. 

Jake membalas pesan tersebut dengan mengatakan kalau dia tidak akan pernah bosan mengabadikan senyum manis Anna. Tak lama, pintu ruang kerja Jake terbuka menampilkan sosok Aria berlenggak-lenggong di atas sepatu sandal hitam menunjukkan betapa jenjang kaki tersebut. Dia menurunkan kacamata hitam sedangkan di tangan kanan ada beberapa kantung belanja bermerek mahal. 

Tangan kanan Jake menutup chat bersama Anna lalu beranjak dari kursi untuk menyambut Aria. Gadis itu meletakkan kantung-kantung tersebut di atas sofa berbahan kulit lalu mengalungkan lengan ke leher Jake dan menerima ciuman di bibir. 

"Bagaimana harimu?" tanya Jake merengkuh pinggang Aria. "Kau tampak bahagia daripada kemarin."

"Shopping bisa memuaskan hatiku, Jake," jawab Aria memberi kecupan di pipi. "Kau?"

"Ada undangan peresmian restoran di Seminyak malam ini," kata Jake.

"Aku ikut bersamamu," ucap Aria tak ingin bila Jake mengajak Barbara karena kemungkinan besar Anna pasti ikut. Tidak! Dia tidak akan memberi celah gadis itu mendekati sang pujaan. Tangannya turun tuk membelai dada bidang Jake yang terbungkus kemeja The Row katun biru muda bermotif vertikal dan yang bagian tangannya digulung sampai siku. Aria tersenyum tipis kalau Jake masih setia mengenakan hadiah pemberiannya tahun lalu. "Sudah lama juga kita tidak datang bersama ke acara resmi, Jake."

"Ya, aku tahu," tandas Jake mengangguk singkat. "Padahal aku berencana mengajak nonna."

"Nonna memberi kita ruang agar bisa berkencan, Jake!" sembur Aria jengah. "Kenapa beberapa hari ini semua sikapmu terasa aneh bagiku?"

Tuhan ... batin Jake mendadak kehilangan kesabaran. 

"Astaga, tidak, Vita mia. Aku hanya ingin menyenangkan nonna saja," elak Jake terlalu malas berdebat lagi. "Oke, aku koreksi ucapanku, Aria. Aku akan berangkat bersamamu. Jangan cemberut seperti itu, please." Jake mencolek puncak hidung mancung Aria lalu mencium kening dan mendekapnya erat. 

"Tentu saja kau harus bersamaku, Jake," balas Aria menyesap wangi tubuh kekasihnya. "Kau milikku, Amore."

###

Aria memulas lipstik peach di depan cermin kemudian memandangi dirinya mengenakan gaun koktail blush berpotongan V rendah begitu menggoda. Warnanya langsung tampak kontras namun terkesan eksotis di kulit tan Aria sementara riasannya tak terlalu mencolok. Mungkin dia hanya memfokuskan di bagian matanya yang agak sayu agar terlihat besar. Mengukir wing eyeliner tipis agar sudut mata terkesan naik. 

Penampilan elegan nan seksi ditunjang sepatu bertumit tinggi rancangan Stuart Weitzman berwarna senada. Rambut panjangnya sengaja dia cepol menyisakan anak-anak rambut agar terkesan manis dan tak lupa menambahkan anting emas klasik agar tidak terlalu berlebihan. 

Jake membuka pintu kamar mereka dan Aria membalikkan badan sambil bertanya, 

"Bagaimana?"

Lelaki itu mengacungkan jempol. "Kau perfect, Vita mia. Aku menyukainya."

Aria mengambil clutch di atas meja rias lalu berjalan menghampiri Jake yang mengenakan setelan kemeja putih dilapisi jas dan dasi kupu-kupu hitam. Rambut keritingnya ditata begitu klimis sementara janggutnya sengaja dibiarkan tanpa dicukur untuk menambah kesan manly. Tapi, walau begitu pun semua wanita yang melihat Jake akan langsung jatuh hati terutama mata abu-abu yang teduh dan senyum manis itu. Walau usianya 38 tahun, pesona Jake seperti wine. Makin lama makin menawan sampai menarik wanita untuk mencumbu bibirnya. 

Sebelah tangan Aria merapikan posisi dasi kupu-kupu yang agak miring lalu berbisik, "Kau benar-benar tampan, Mr. Luciano. Pantas saja perempuan di sini dibuat mabuk kepayang."

Jake tergelak. "Walau mereka seperti itu, aku adalah milikmu." Dia mengacungkan cincin yang mengikat dirinya bersama Aria. 

Yang membuatku merasa tercekik oleh hubungan palsu ini, batin Jake. 

Aria mengangkat bahunya lalu menggandeng Jake keluar kamar sebelum terlambat menghadiri peresmian tersebut. Dalam hati, Aria mencari-cari sosok Anna yang sedari tadi belum pulang karena Barbara menahannya agar lebih lama di sini. Dia mencebik kesal. Apa untungnya berinteraksi bersama gadis itu? Dia juga tidak akan bisa menanggapi obrolan seputar wine atau seluk beluk bisnis yang digeluti keluarga Luciano. 

Di sisi lain, Aria ingin pamer bahwa Jake adalah miliknya, cintanya, belahan jiwanya yang tidak akan bisa direbut oleh siapa pun. Lagi pula yang pantas disandingkan adalah dirinya bukan gadis sok pintar dan sok akrab seperti Anna. Dia sudah mencari tahu latar belakang gadis itu secara mudah dan ... tentu saja tebakannya benar kalau Anna adalah anak anjing terlantar yang tidak jelas latar belakang keluarganya. 

Anna keluar dari pantry seraya membawakan segelas air putih dan wadah kecil berisi beberapa obat yang akan ditelan Barbara. Pandangannya bertemu dengan Jake untuk beberapa detik sebelum berpaling ke arah Aria yang menatap tak suka. 

"Gaunmu bagus, Aria," puji Anna tulus dan memang pas di badan ramping nan tinggi Aria. Dia benar-benar stunning tanpa riasan mencolok. 

"Thanks," ucap Aria melintas begitu saja tak membiarkan Jake menimpali kalimat Anna. "Come on, Amore."

Iris cokelat bulat Anna hanya sanggup mengamati sejoli tersebut bisa bebas bepergian ke mana-mana, sementara dirinya harus mencuri-curi waktu dan tempat. Dia tersenyum getir, berusaha melapangkan dada yang terasa sesak seperti dijejali banyak kerikil. Namun, tak menampik kalau ada segelintir rasa cemburu menyelinap di dalam lubuk hatinya. Toh, dia manusia biasa kan? Meski paham risiko yang diambilnya sendiri ketika memutuskan menjalani backstreet bersama Jake akan selalu seperti ini. Dia memejamkan mata sesaat, membuka kembali memori-memori penuh gelora semalam sampai-sampai tak ingin melepaskan lelaki itu dalam dekapan. 

Perut Anna mengencang merasakan desakan diri Jake masih memenuhi dirinya. Walau hanya beberapa jam, sampai sekarang sensasi itu setidaknya bisa mengobati rasa iri terhadap Aria. Hati Anna dipenuhi gelombang-gelombang penuh kenikmatan bahwa Jake telah mengklaim setiap inci tubuhnya, membisikkan rayuan-rayuan penuh janji yang entah kapan bisa ditepati. 

Bodoh?

Mungkin. Namun, siapa yang sanggup menahan godaan juga ketertarikan untuk memiliki lelaki itu?

Dia menggeleng, berjalan mendekati Barbara yang duduk di teras belakang rumah sambil mengelus-elus puncak kepala Oslo dengan penuh kasih sayang. Tadi dia sudah mengukur tekanan darah nenek Jake tersebut dan hasilnya memang jauh lebih bagus dibandingkan awal-awal mereka bertemu. Mungkin yang dibutuhkan Barbara adalah suasana yang rileks tanpa ada masalah datang menerpa. 

"Setelah Nonna makan tadi, ini obatnya," ujar Anna. "Obat jantung yang diletakkan di bawah lidah dan satunya aspilet untuk Anda telan."

"Grazie, Anna," ujar Barbara meletakkan obat pertama ke bawah lidah. "Anna."

"Ya?"

"Boleh aku mengatakan sesuatu?" tanya Barbara menatap lurus ke dalam bola mata Anna. 

Oslo langsung menggonggong seolah-olah paham dengan kalimat yang akan meluncur dari bibir Barbara. Dia menjulurkan lidah lalu berpindah tempat dan menggesekkan badannya ke kaki Anna. 

Entah mengapa tiba-tiba Anna dilanda perasaan gelisah jika nada bicara wanita tua itu terdengar begitu serius. Apakah dia telah melakukan suatu kesalahan hingga Barbara menunggu tidak ada tuan rumah? Dia menelan salivanya sendiri, meremas lutut untuk meredam kakinya yang gemetaran. 

Selagi menunggu obat tersebut larut di dalam pembuluh darah yang bisa membawa efeknya langsung ke jantung, sebelah tangan Barbara menyentuh tangan Anna dan berkata, "Aku melihat sesuatu yang terjadi di antara dirimu dan Jake."

Tanpa disadari mulut Anna menganga bukan main. Jantungnya langsung berhenti berdetak mengetahui Barbara menangkap gelagatnya bersama sang pemilik Lagom. Apakah ini akan menjadi akhir dari segala hubungan Anna bersama Jake mengingat cerita-cerita romansa tidak pernah mengizinkan tokoh utama menjalin asmara dengan wanita lain. Apalagi mereka memiliki perbedaan status bagai bumi dan langit.

Tangannya makin gemetaran. Perutnya melilit tak karuan. Dia merasa mulas, mual, ingin muntah dalam waktu bersamaan. Tapi, Anna tidak bisa pergi, kakinya terlalu berat untuk digerakkan. Apakah tanah yang diinjaknya sekarang tidak memberinya izin berpindah? Apakah alam mendukung Barbara untuk menghardik Anna karena berani bermain belakang?

Anna tidak bisa mengelak kalimat Barbara ketika kenyataan itu memang benar adanya. Di sisi lain, dia juga tidak pandai menyembunyikan kebohongan sebagaimana Silawarti selalu mengajarkan sedari kecil untuk selalu jujur. Lidah memang tak bertulang dan bisa merangkai dusta, tapi mata ... sekecil apa pun rahasianya, mata bisa menguaknya tanpa perlu berbicara. 

"Jadi, itu benar, Anna?" tanya Barbara seakan-akan tak sabar mendengar pengakuan Anna. "Ada sesuatu di antara dirimu dan Jake?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro