Bab 29

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Halo, Ibu," sapa Anna ketika jam besuk tiba. Diraih punggung tangan Silawarti yang terasa hangat lalu menciumnya penuh kasih sayang.

Melalui Saras, Anna mendapatkan informasi jika kondisi sang ibu dari sisi kejadian kejang sudah jauh berkurang walau beberapa kali masih terjadi. Namun, masalah lain muncul di mana jumlah leukosit dalam darah Silawarti melonjak drastis disertai demam tinggi sampai empat puluh derajat. Dan ketika ditelusuri lebih jauh, kemungkinan besar karena infeksi paru akibat terlalu lama menjalani rawat inap meskipun di tempat steril seperti ICU sekalipun. Pantas saja ketika Anna datang, ada botol kaca kecil berisi infus paracetamol disambung infus antibiotik.

Saras bercerita kalau sejak semalam suhu tubuh Silawarti naik-turun, sehingga beberapa kali dia harus memberi ekstra penurun demam ditambah kompres air di sekujur tubuh tak berdaya itu. Tentu saja hal tersebut menyayat perasaan Anna sampai ke dalam sanubarinya. Mau menangis pun sudah tak bisa manakala hidup ibunya kini hanya bergantung pada obat dan kabel-kabel dari monitor yang berusaha mempertahankan nyawa. 

"Bu ... Anna kangen sama Ibu," lirih gadis itu menatap wajah ibunya yang terpejam seakan-akan betah dibuai mimpi kendati ada intubasi di mulut. Seenaknya itukah dunia lain yang dijelajahi Silawarti sampai enggan terbangun lagi? batin Anna sedih. Bibirnya bergetar menahan manakala bola matanya mulai berkaca-kaca. "Kangen suara Ibu, kangen masakan Ibu, kangen dipeluk Ibu."

Ada rasa yang begitu pekat memenuhi dada Anna kala tak ada jawaban yang keluar dari bibir ibunya. Lantas jemari Anna terulur membelai pipi Silawarti kemudian menyandarkan kepala di pinggiran kasur ketika tanpa sadar bulir kristal bening sukses meluncur dari pelupuk mata. Selain kondisi Silawarti yang makin mengkhawatirkan, Anna juga mendapat telepon dari Made, kakak tertua ibunya. Bukan menanyakan kabar Silawarti atau kabar Anna, justru Me Nik-nya meminta sejumlah uang untuk kebutuhan nenek Anna yang juga terbujur sakit di salah satu rumah sakit umum. 

Kalau mereka sejak awal mau menerima dan membantu Silawarti, Anna akan mengirim uang cuma-cuma sebagai tanda jasa. Namun, mereka terlanjur menorehkan sebuah luka yang teramat dalam hingga tidak akan bisa sembuh walau butuh waktu. Terlalu pedih untuk didengar. Terlalu lelah untuk ditanggapi. 

"Tiang sing ngelah pis, Anna. Dadong juga butuh uang untuk berobat ndak cuma ibumu," ujar Made terdengar sedikit memaksa. "Pampers, sabun, obat, makan. Uang pensiun Dadong ndak cukup. Kamu kirimlah lima atau sepuluh juta, masa iya sama keluarga sendiri perhitungan?"

(Aku nggak ada uang)

(Dadong = nenek)

"Sepuluh juta buat apa, Me Nik? Itu terlalu banyak, lagi pula kan Dadong juga ada asuransi," elak Anna tanpa bermaksud menyinggung jika uang itu kemungkinan digunakan hal-hal lain. 

"Asuransi lama-lama juga habis! Kamu dimintai tolong pelit amat sih! Masih untung tiang telepon kamu karena kita masih keluarga, Anna!" seru Made jengah bukan main karena keponakannya berbelit-belit.

"Loh kok nyalahin Anna?" 

"Dasar anak haram ndak tahu diuntung!" hardik Made kesal. "Syukurin tuh Silawarti di rumah sakit, biar uangmu sekalian habis buat ngobatin orang yang udah jadi mayat!" hinanya lalu menutup sambungan telepon. 

"Bu, kenapa Anna selalu dihina seperti itu?" gumam Anna pilu. "Emang salah ya kalau Ibu melahirkan Anna?"

Tak berapa notifikasi pesan dari Jake masuk yang mengingatkan Anna untuk mengambil obat Barbara sesuai resep yang diberikan oleh dokter di IHC. Lelaki itu juga memberi satu tanda hati di akhir pesan, menimbulkan tarikan tipis di bibir Anna. Setiap kata yang diukir lelaki itu seolah-olah menjadi pelipur lara.

Dia menghapus jejak basah di pipi lalu membalas pesan Jake kalau dirinya tidak lupa mengambil resep obat tersebut. Anna juga menambahkan jika dirinya akan membawa kaliadrem lagi sekalian pergi ke rumah Jake.

Jake : Aku nggak sabar buat makan kaliadrem lagi bersamamu. 

###

Dari rumah sakit, Anna langsung pulang ke rumah untuk memasak sebagai bekalnya sendiri di rumah Jake. Dia akan mengolah ayam madu ditaburi biji wijen, cap cay yang dirasa lebih mudah karena hanya menumis dan memasukkan bumbu yang sudah dihaluskan, serta botol tumbler yang diisi es sirup. Cuaca panas seperti ini memang cocok minum sesuatu yang segar, apalagi halaman rumah Jake benar-benar asri. 

Sebenarnya Anna sering diajak makan malam bersama, namun ada beberapa menu yang dirasa Anna tidak bisa mengenyangkan perut. Maklum saja, meski tinggal di Indonesia selama bertahun-tahun, Jake masih menanamkan kebiasaan makan orang Italia di mana roti, salad, atau pasta yang disiram saus tomat selalu ada di meja. Jangan lupakan sebotol wine yang juga menemani sampai akhir waktu makan diselingi dessert manis.

Di sisi lain, dia juga tidak betah satu meja bersama Aria. Entah mengapa makin ke sini tatapan gadis itu makin sinis seperti menabuh genderang perang. Mengolok dan menyindir Anna secara terang-terangan bahwa dirinya datang ke rumah seperti manusia tak tahu diri yang bisanya memasang topeng untuk meminta belas kasih. Dia juga selalu menyamakan Anna dengan anjing-anjing lokal Bali yang kadang terlihat tak terurus.

Pernah sekali waktu Anna mengajak bicara empat mata Aria untuk menanyakan di mana letak kesalahannya sampai gadis itu bolak-balik mencela. Niat Anna sedari awal adalah menuruti keinginan Barbara yang menjadikannya perawat sementara waktu sembari merawat ibunya di IHC. Tapi, perkataan Aria justru menampar Anna. 

"Kamu tahu parasit? Dia diberi tempat yang layak, Anna. Tapi, bukannya berterima kasih dan menjaga harga diri. Parasit justru membunuh tuan rumah," sindir Aria begitu angkuh. "Kamu selain seperti anjing jalanan, kamu juga parasit bagi kami. Dan tanpa kamu sadari ... kamu telah menghancurkan rumah ini."

"Aku nggak seperti itu, Aria," elak Anna tak terima.

"Sampai kapan kamu berbohong Anna?" cibir Aria lalu berbisik kepada Anna. Sorot mata cokelatnya menatap lurus seperti melempar ancaman tanpa rasa gentar. "Anjing penjaga rumah ini sedang menggonggong, Anna. Kamu harus hati-hati dan berjaga-jaga kapan dia menyerangmu dari belakang."

Jejak-jejak senja membentuk gradasi jingga-ungu-biru yang tampak menawan di langit Ungasan. Bias matahari yang tadinya gagah kini mulai redup berganti rembulan juga gemintang, sementara suhu udara perlahan-lahan turun begitu menyejukkan kulit. Anna jadi teringat saat dirinya duduk berdua di pinggir pantai Keramas, bertukar cerita tentang filosofi hidup juga kekagumannya terhadap kemampuan Jake menguasai sesuatu. Hingga hari itu menjadi hari di mana dia menyerahkan diri juga cinta kepada sang pewaris Lagom. Dia memotret pemandangan itu dan mengirimkannya kepada Jake seraya memberi pesan.

Anna : Langit indah di atas kita selalu mengingatkanku padamu, Jake.

Anna : Always be yours.

Sesampainya di rumah Jake, Oslo selalu menyambut Anna dengan gonggongan yang memekik telinga. Anna berjongkok dan merentangkan tangan menyambut anjing menggemaskan tersebut. Oslo mengendus-endus Anna lalu berlari sesekali menoleh seakan-akan menyuruh gadis itu segera mengikutinya. 

"Sabar, Oslo!" teriak Anna menenteng tasnya mengekori Oslo masuk ke dalam rumah. 

Detik berikutnya, tubuh Anna membeku manakala mendapati Jake tengah bercumbu mesra bersama Aria di ruang tamu. Aria berada di pangkuan sang tunangan dan membelakangi Anna sementara kedua tangan Jake meremas bokong sintal yang hanya mengenakan celana super pendek. Bukan hanya cumbuan liar yang pernah Anna cecap dari bibir pria itu, melainkan rayuan-rayuan yang sama persis terlontar di sana juga diterimanya saat di kapal.

"Kau milikku, Jake," racau Aria menggoyangkan pinggul di atas paha Jake.

"Yours, Aria," balas Jake berbarengan satu tangannya beralih ke tengkuk gadis itu, menekan bibirnya makin dalam. 

Anna berpaling sambil memejamkan mata agar kristal bening yang mulai mendesak keluar tidak meluncur begitu saja. Tangan kanan yang menenteng tas berisi bekal juga kaliadrem dipegang erat sampai buku-buku jarinya memutih. Anna menggigit bibir bawahnya kuat-kuat berusaha tidak menjerit dan memaki Jake yang tidak bisa menjaga perasaan orang lain. Rongga paru-parunya terasa pengap hingga Anna tidak bisa bernapas normal saat telinganya makin menangkap rayuan mesra mereka.

Apakah ini yang ingin ditunjukkan Oslo? batin Anna merasakan hatinya begitu pedih dan sakit dalam waktu bersamaan bagai dilubangi paksa. 

Oslo menyalak keras membuat aktivitas sejoli itu terhenti. Buru-buru Anna mengalihkan pandangan sembari menghapus jejak-jejak kristal bening di sudut matanya agar tidak terlihat seperti gadis malang. Dia memaksa bibirnya mengulum senyum seraya menyapa dan Jake mendadak terlihat bersalah. 

"Anna?" panggil Jake membenarkan posisi duduknya sedangkan Aria menjilati sisa ciuman di bibir. Tanpa malu, gadis itu memberi kecupan singkat di pipi Jake. 

"Oh, kukira kau tidak punya keberanian lagi untuk datang ke sini, Anna," cibir Aria menaikkan satu kaki di atas kakinya yang lain, melipat tangan di dada membuat bulatan di balik bajunya yang ketat seakan-akan ingin tumpah. 

Jake menoleh, menyipitkan mata. "Apa maksudmu?" tanyanya seperti ada perang dingin yang dikibarkan Aria. 

"Coba kau cari sendiri," balas Aria lalu beranjak dari sofa dan meninggalkan Jake. 

Lelaki itu berdiri, menghampiri Anna yang masih terpaku di tempat. Dia mengulurkan tangan hendak menyentuhnya tapi berhasil dihindari. 

"Jangan sentuh aku, Jake!" desis Anna melempar sorot tajam ke arah Jake. "Aku nggak mau bicara sama kamu."

"Anna," panggil Jake mengejar gadis itu untuk mencari Barbara. Langkahnya terhenti saat Barbara keluar sembari membawa vas berisi bunga peony yang dibelikan Jake kemarin. Dia tidak mungkin menarik gadis itu dan menjelaskan semuanya bahwa ciuman tadi karena godaan Aria. Dia sempat bertengkar karena Aria terus-menerus menyuruh Jake tidak memperkerjakan Anna lagi dengan alasan bahwa Barbara sudah terlihat jauh lebih sehat. 

"Nonna bukan orang sakit, Jake! Dia sudah lebih baik dan tidak membutuhkan perawat seperti, Anna! Kau mau aku mengingatkan Nonna minum obat? Akan kulakukan! Kau mau aku mengukur tekanan darahnya? Aku bisa melakukannya dengan tensi digital!" sembur Aria tanpa jeda. "Kau hanya buang-buang uangmu untuk mempekerjakan manusia seperti dia!"

"Aria!" seru Jake terbakar emosi. "Kenapa kau ini, huh?"

"Aku hanya ingin dia pergi," ucap Aria dengan bibir gemetaran.

"Dia butuh uang untuk biaya pengobatan ibunya, Aria. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk membalas jasanya menolong, Nonna. Tolong mengertilah," kata Jake merendahkan suaranya. "Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu berhenti cemburu seperti itu?"

"Cium aku!" pinta Aria. "Cium aku seperti kita tidak pernah bertemu, Jake. Cium aku seolah-olah kau mendambakan aku. Seolah-olah kau menggilai aku seperti dulu!"

"Aria... itu konyol, Anna akan datang dan tidak mungkin--" kalimat Jake teredam manakala Aria membungkam bibirnya dengan ciuman liar penuh gairah. 

###

"Kau kelihatannya sedih, Anna. Ada apa?" tanya Barbara seraya membuka stoples berisi kaliadrem buatan Anna. Mereka duduk di teras rumah setelah Anna selesai memeriksa tekanan darah Barbara dan mencatatnya di buku catatan kecil. Barbara mencium bau manis dari kue tradisional tersebut lalu berkata lagi, "Aku menyukai kue ini. Ibunya Jake sering membuatnya apalagi disanding kopi panas."

Anna tersenyum tipis selagi membereskan alat tensimeter miliknya. "Terima kasih, Nonna."

"Ada apa?" tanya Barbara lagi. 

Anna menarik napas sebanyak mungkin untuk menutupi luka di dadanya yang menganga lalu berkata, "Aku khawatir atas kondisi ibuku, Nonna."

"Apakah ibumu kembali kritis?" 

Anna menggelengkan kepala sesaat, berpaling menatap Barbara. "Tidak. Hanya saja ... harapanku makin kecil melihat ibuku makin lama makin menurun."

"Anna ..." Barbara menyentuh pundak Anna penuh iba. "Teruslah berdoa, Bella. Tuhan akan selalu bersama orang baik sepertimu. Aku yakin Dia akan memberikan keajaiban yang tidak disangka-sangka, Anna."

"Aku tahu, Nonna. Terima kasih atas motivasimu," ucap Anna lalu mengalihkan pandangan saat smartwatch-nya berbunyi menandakan Barbara harus mengonsumsi obat. "Waktunya minum obat."

Gadis itu membongkar isi tas selempangnya dan mengeluarkan kantong cokelat bertuliskan apotek rumah sakit IHC dan nama Barbara tertera di sana. Dia menunjukkan beberapa kemasan obat yang terdiri obat jantung, vitamin, obat anti koagulan, dan obat anti kolesterol. Anna beranjak dan berkata, 

"Aku ambilkan minum dan memotong obatnya, Nonna. Ternyata dokter meresepkan obat ini diminum setengah tablet," kata Anna menunjukkan obat anti kolesterol berbentuk bulat kecil.

"Baiklah."

Anna pergi ke pantry seraya membawa kantong tersebut lalu mengambil satu cawan kecil dan gelas berkaki dari lemari penyimpanan. Dengan telaten dan hati-hati, dia membaca kembali petunjuk penggunaan obat agar tidak salah minum. Kemudian dia mencatatnya ke buku catatan sebagai dokumentasi pribadinya setiap kali memberikan obat kepada Barbara. Selanjutnya, Anna memotong tablet itu dengan gunting lalu menaruh sisanya dalam plastik klip kecil dan memberinya label agar tidak salah. Lalu mengambil tablet vitamin juga tablet obat jantung yang dikonsumsi sebelum tidur. 

Mendadak dia merasa ingin buang air kecil. Anna pun meletakkan cawan obat dan gelas di atas meja pantry lantas buru-buru ke toilet sambil merutuki diri kenapa minum es sirup terlalu banyak. 

Tanpa disadari Anna, seseorang tengah mengintai dengan mata berkilat dan seringai senyum penuh arti. Dia menanti sesuatu besar terjadi sehingga bisa mengenyahkan gadis itu dari semua orang.

Ya, semua orang.

Bukankah anjing jalanan seperti dia perlu disingkirkan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro