Bab 30

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Anna meneguk sebotol cola dingin dan menggigit cokelat batang seraya mendudukkan diri di kursi yang disediakan pengelola sebuah supermarket yang tak jauh dari kediaman Jake. Setidaknya satu batang cokelat bisa mengembalikan suasana hati dan satu botol cola bisa memfokuskan pikiran dari bayang-bayang Jake bercumbu bersama Aria. Bagaimana tidak, Anna memergoki Jake bercumbu panas bersama Aria di ruang tamu seolah-olah di sana hanya ada mereka berdua. Bagaimana tangan Jake menyentuh tubuh Aria begitu posesifnya seperti melupakan malam-malam bersama Anna begitu mudah. Ditambah terdengar jelas untaian kalimat yang seharusnya dimiliki Anna seorang kini dilontarkan pula kepada Aria.

Sayang kebiasaan yang biasanya berhasil begitu mudah sekarang terasa sulit. Anna bersandar, mengamati lalu lalang kendaraan sembari bertanya-tanya pada dewi batinnya. Seburuk itukah suasana hatiku? Ditambah aroma-aroma rokok bercampur asap kendaraan begitu menyengat hidung makin membuat uring-uringan. Anna melirik sinis ke arah beberapa lelaki bertato yang duduk sambil terbahak-bahak karena mereka mengisap tembakau terlalu barbar.

"Kau milikku, Jake."

"Yours."

Dia menenggak cola sampai tak tersisa lalu meremas botol itu sampai tak berbentuk lagi. Sisi ego Anna berteriak dan mengumpat andai kata semesta bisa memberi jeda. Dia akan menyeret Jake dan berteriak memaki lelaki itu, mengeluarkan segenap perasaan cemburu yang membakar kewarasan bahwa Anna benar-benar tak suka Jake berbagi kalimat itu kepada Aria. Dia akan menyuruh Jake melihat betapa dalam luka yang dibuat lelaki itu atas perbuatannya. 

Itu kalimat kita, Jake! rutuk Anna ingin menghajar Jake sampai babak belur.

Namun, di sisi lain, Anna juga ditampar kenyataan kalau posisinya sebagai kekasih diam-diam Jake bakal kalah telak. Bukankah dia harus sadar diri sedari awal hubungan mereka itu tak mungkin jadi nyata? Bukankah dia tahu kalau Jake bisa saja mengarang cerita sedih semata-mata untuk mendapatkan kenikmatan dari tubuh Anna? 

Sudut bibir Anna tertarik ke atas, menyunggingkan senyum kecut menertawakan dirinya sendiri telah masuk dalam perangkap Jake. Bagai orang gila, dia terkekeh seperti ada hal lucu di depannya dan mengabaikan pandangan pemuda bertato di depannya. Mereka tidak akan mengerti kalau ada gadis yang baru saja mengalami patah hati karena kekasih yang dipuja-puja bercumbu dan dia tidak dapat melawan.

Memangnya aku siapa? Meski Nonna mendukungku, aku bisa apa?

Anna membuka botol cola kedua dan meneguknya sampai habis, membiarkan sensasi gelitik dari gas soda memenuhi mulut dan menjalar di hidung sampai menimbulkan rasa nyeri di kepala. Dia memukul dadanya sendiri yang teramat sakit. Sungguh dia yakin kalau Jake hanya bermain-main dengannya sampai-sampai berani bercumbu seperti itu. Dia menarik napas sebanyak mungkin, menatap langit berhias gemintang di atas Sanur di mana rembulan bersinar begitu terang. Bila dibandingkan, mungkin Anna hanya sebatas meteorit tak berarti sementara Jake adalah Saturnus yang dikelilingi cincin bernama Aria. Mereka tidak akan bisa berpisah walau Anna berusaha menelusuk masuk. 

Dia berusaha menguatkan perasaan kalau jalan yang dipilihnya memang selalu berakhir menyakitkan, namun kenapa sensasi pedih itu tak kunjung hilang?

Menyedihkan bukan?

"Harusnya aku mendengarkan ucapanmu, Shanon," gumam Anna tanpa sadar kristal bening di pelupuk matanya terjun bebas. "Kita hanya perempuan biasa yang mengharapkan sebongkah berlian. Bukan kenikmatan yang didapat, tapi rasa sakit tanpa ujung dan tidak dapat diobati."

Tak lama ponsel yang ditaruh Anna di atas meja bergetar menampilkan nama Jake di sana. Dia menggeser ikon merah bermaksud menolak panggilan tersebut karena terlalu malas mendengar suara Jake. Seakan tak menyerah, Jake kembali menelepon Anna dan lagi-lagi gadis itu menolaknya. Seperti tak kekurangan akal, Anna menerima ratusan bahkan puluhan bom pesan dari Jake. Dia mengerutkan kening, menggerutu kenapa lelaki itu tak berhenti mengganggunya. 

Dunia Anna serasa jungkir balik ketika membaca satu kalimat pesan dengan huruf balok dan tanda seru yang banyak. Dari ketikannya saja Jake tampak murka bukan main. Buru-buru Anna meraih tas selempang dan membuang botol cola dan cokelat batang yang tinggal setengah ke dalam tong sampah. Dia mengeluarkan kunci dari dalam saku celana dan menghidupkan mesin walau tangannya gemetaran. 

"Shit!" umpat gadis itu saat kuncinya jatuh ke tanah. Dia memungut kunci itu dengan perasaan panik bagaimana bila sesuatu yang buruk terjadi pada Barbara. 

Nonna, bertahanlah!

###

Jake mondar-mandir menanti Barbara yang sedang ditangani petugas UGD di ruang P1 akibat sesak napas secara tiba-tiba disertai penurunan tekanan darah. Bulir-bulir keringat sebesar biji jagung bercucuran tanpa henti di kening seiring detak jantungnya yang cepat. Hatinya dilanda gelisah, sekelebat bayangan buruk terus-menerus menghantui Jake tanpa memberinya jeda barang satu detik. Dia memijit pelipis merasakan kepalanya begitu pening nyaris meledak. 

Bagaimana jika Barbara tidak selamat akibat salah obat?

Dulu peristiwa ini pernah terjadi saat Jake masih berusia 13 tahun, di mana neneknya tak sengaja mengonsumsi obat antibiotik dan berakhir di rumah sakit. Sekarang, dia tidak tahu obat mana yang diberikan Anna sampai Barbara seperti itu padahal sebelum-sebelumnya semua resep dokter yang diberikan juga tidak menunjukkan adanya gejala alergi hebat. 

"Jake," panggil Aria yang ikut waswas lalu menghadang Jake dan menangkup rahang lelakinya prihatin. "Nonna akan baik-baik saja, oke. Kau harus tenang, Amore."

"Aku takut, Aria," tutur Jake makin gelisah. "Nonna pernah seperti ini. Dia langsung sesak napas seperti yang kau lihat sebelum dia pingsan."

"Aku tahu, Sayang, aku tahu," ujar Aria iba atas musibah yang menimpa Barbara. Dipeluk kekasih itu dalam dekapan sekadar memberikan sandaran sembari berharap Tuhan mau menyelamatkan Barbara untuk sekali lagi. 

Tak lama pintu kaca UGD bergerak otomatis mengalihkan perhatian Jake yang sedang merangkul erat Aria. Sorot abu-abunya menggelap sementara rahangnya mengatup rapat kala Anna berlari dengan wajah panik. Dia melambaikan tangan saat Jake melepaskan pelukannya bersamaan Aria memutar kepala. 

"Jake!" seru Anna. "A-apa yang terjadi? No-nonna, astaga aku nggak tahu kalau--"

Jake langsung menarik tangan Anna kasar, menyeretnya keluar agar tidak menimbulkan kegaduhan di lobi UGD. Setidaknya dia tidak ingin mengundang banyak pasang mata saat semua umpatan tak bisa ditahan lebih lama. Jake hanya ingin tahu mengapa Anna begitu teledor sampai membahayakan nyawa Barbara. Padahal sejak awal gadis itu menjadi perawat pendamping neneknya, Jake sudah memberi tahu obat mana saja yang tidak boleh dikonsumsi Barbara. 

Anna merintih kesakitan merasakan pergelangan tangannya dicengkeram sangat kuat sampai-sampai aliran pembuluh darahnya tersendat. "Jake," rintihnya. "Lepasin."

Saat di sudut UGD yang diterangi lampu yang agak remang-remang dan suasananya sepi. Jake melepas begitu saja seperti membuang sampah tak berguna hingga Anna nyaris jatuh tersandung kakinya sendiri. Dia meringis dan tercengang beberapa saat kalau bekas cengkeraman itu meninggalkan jejak merah di kulitnya. 

"Bajingan kamu, Anna!" sungut Jake menunjuk Anna. "Apa maksudmu mencelakai nenekku, hah!"

"Apa?" Anna mengerutkan kening tidak mengerti. "Aku nggak--"

"Jangan mengelak, Anna!" sela Jake menggelegar seperti petir yang menyambar Anna di siang hari. "Nonna mengalami alergi hebat sampai sesak napas!"

"What? Sesak?" Anna membeliak bukan main. Lantas membongkar kembali ingatan dua jam lalu saat dirinya menyiapkan obat untuk Barbara benar-benar sesuai petunjuk yang dituliskan di label kemasan. Jadi, tidak mungkin kan kalau obat itu menimbulkan reaksi lain padahal sebelumnya baik-baik saja?

Tangan Jake refleks mencengkam leher Anna akibat dikuasai emosi yang menganggap Anna merencanakan sesuatu yang jahat. Gadis itu meronta-ronta kesakitan merasakan tulang lehernya hampir patah bersamaan aliran oksigen yang makin lama makin menipis. Dia memukul-mukul tangan besar Jake sambil memohon-mohon agar menjelaskan kejadian yang sebenarnya. 

Sungguh bukan keinginan Anna sampai hati mencelakakan Barbara yang notabene sudah membukakan tangan untuk merangkul kehidupannya yang susah. Bukan keinginan Anna pula sampai tega memberikan obat yang salah pada wanita yang mendukungnya untuk mencintai Jake.

Tapi Jake terlalu terbakar emosi. Kemurkaan yang terpancar dalam bola matanya sama persis dengan redupnya lampu di atas mereka berdua. Jake kehilangan akal bila sesuatu menyangkut keluarganya tanpa mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Wajah lelaki itu pun berubah menyeramkan dan mengabaikan bulir kristal bening yang keluar dari sudut mata Anna. 

Apa aku bakal mati tanpa sempat menjelaskan kepadamu?

"J-jake!" Tenaga Anna hampir habis. Kepalanya berputar-putar sementara pandangan di sekelilingnya makin lama makin berkunang-kunang. Dia tidak yakin kalau nyawanya nanti masih utuh sedangkan Jake tidak memberi ijin dirinya menghirup udara. 

"Jake! Fuck! Jake!" jerit Aria berlari dan menarik Jake agar melepaskan Anna. "Jake! Sadarlah Jake! Kau bisa membunuh seseorang!" serunya ikutan tegang melihat kekasihnya mencekik Anna. 

Lelaki itu melepaskan cekeramnya dengan napas memburu seperti orang kesetanan. Anna jatuh terduduk memegangi lehernya sambil terbatuk-batuk. Dia memukul-mukul dadanya akibat tidak mendapat pasokan udara selama beberapa detik. Tubuhnya gemetaran tak berani menatap wajah Jake. Entah apa yang sedang merasuki lelaki itu sampai melakukan tindak kekerasan seperti ini.  

"Jika kau bersikap di luar kendali, tidak akan menyelesaikan masalah, Jake," ucap Aria mengelus-elus dada Jake yang naik-turun begitu cepat. Sorot mata kekasihnya tertuju pada Anna seperti mengirimkan laser panas yang bisa membelah tubuh jadi berkeping-keping. Aria meneguk salivanya sendiri, pertama kali mengetahui emosi meledak-ledak Jake bisa seperti ini. 

"Brengsek!" sembur Jake menendang tong sampah di sisi kiri Anna membuat gadis itu menjerit ketakutan. "Kamu membunuh nenekku, Anna! Dia kritis kamu tahu!"

"Aku nggak tahu, Jake! Selama ini obat-obat yang aku kasih nggak pernah ada reaksi seperti ini!" bela Anna. 

"You liar!" pekik Jake menunjuk muka Anna penuh murka. "Kamu ... aku membencimu, Anna! Kamu nggak pantas hidup di dunia! Kamu nggak pantas menjadi perawat! Kamu ... kamu pembunuh!"

"Jake ..."

"Aku bisa menuntutmu bila nenekku tidak ada perbaikan, Anna, aku bisa menuntutmu dan keluargamu tidak peduli ibumu koma!" ancam Jake menatap lurus bola mata Anna seperti sedang menusuk dada gadis itu dengan puluhan belati tajam. "Kamu pantas mendapatkan karma!" Dia pergi begitu saja meninggalkan Anna diikuti Aria. 

Tanpa disadari keduanya, Aria menerbitkan satu garis tipis di bibir penuh arti mengabaikan isak tangis Anna yang bisa menyanyat hati. 

Di sisi lain, Anna menenggelamkan wajahnya di antara kedua lutut yang ditekuk, merutuki kenapa hal ini bisa terjadi padahal dia sudah mengecek obat sebelum diberikan kepada Barbara. Selain itu, kenapa Jake mengutuk dirinya seolah-olah tak pantas hidup di dunia? Apakah karena dia tahu Anna anak haram lantas mengolok seperti itu?

Ibu ... apa Anna memang nggak pantas di dunia ini, Bu? 

Dering ponsel memaksa Anna untuk merogoh benda itu dari dalam tas selempangnya seraya beranjak dari posisi. Dia menyeret kakinya paksa agar segera pergi dari rumah sakit BhaktiVedanta Medical Sanur daripada terus-menerus tenggelam dari rasa sakit yang ditimbulkan oleh Jake. Kepala Anna masih terasa nyeri, telinganya berdengung akibat hina-hinaan tanpa dasar diterima tanpa henti, sementara dadanya nyeri bukan main seolah-olah seseorang telah menarik paksa jantungnya. 

Air mata terus berlinang walau otak Anna sudah menyuruhnya berhenti. Dia tergugu tak bisa mengatur napas ketika melihat nama Saras tertera di layar gawainya. Jempol kanannya gemetaran saat menggeser ikon hijau dan tak berapa lama suara Saras terdengar kacau. 

Tanah yang dipijak Anna serasa berguncang hebat hingga membolak-balikkan dirinya lagi ketika menerima sebuah kabar buruk menimpa sang ibu. Tanpa sadar ponsel yang dipegang terjatuh ke tanah bersamaan tubuh Anna melunglai tak bertulang. Orang-orang yang melihat Anna seperti orang linglung buru-buru menghampiri gadis itu. 

"Mbok, Mbok!" seru seorang pria paruh baya. "Kamu nggak apa-apa?"

Lidahnya tak mampu menjawab saat separuh jiwa Anna melayang hendak menyusul Silawarti ke tempat yang lebih baik lagi. Dengung di telinga Anna makin nyaring menciptakan sensasi nyeri bukan kepalang menyerang ke sel saraf otaknya. Suara-suara yang memanggil Anna mendadak menjadi sekumpulan gaung di tingkat tertinggi yang tidak bisa ditangkap telinga. Seiring cahaya-cahaya lampu-lampu di sekitar Anna tiba-tiba menyilaukan mata hingga ada sesuatu yang menghantam kepala dan tidak bisa dihindari. 

"Mbok!" teriak pria paruh baya itu. "Woy, ada yang pingsan!"

Separuh jiwa Anna melayang menyusul di mana Silawarti berada. Sebuah tempat di mana tidak ada seorang pun yang bisa menyakiti mereka. Anna melihat ibunya berdiri mengenakan kebaya Bali yang begitu indah dipandang. Kain kebaya putih dengan aksen bordir bunga-bunga dipadu kamen kuning keemasan juga ikat pinggang senada yang membalut lekuk tubuh ibunya. Rambut panjang Silawarti disanggul pusung tagel sebelah kiri kemudian dihias bunga-bunga cantik. 

Silawarti melambaikan tangan seraya melempar senyum manis yang diturunkannya ke putri semata wayang. Wanita cantik itu makin menjauh manakala Anna berusaha mengejar sekuat tenaga seraya berteriak. Tapi, suaranya yang melengking tak lantas menghentikan Silawarti yang perlahan-lahan memudar dari pandangan. Anna hanya berdiri seorang diri di antara ruangan serba putih menyisakan sepi tanpa ujung. 

Hening...

Hampa...

Ibu ... Ibu sudah nggak sakit lagi ya? 

Terus Anna hidup sama siapa kalau nggak ada ibu?

Ibu ... Anna sendirian, Bu.

Anna bakal kangen, Ibu. 

Ibu ... Anna boleh ikut Ibu?

Ibu ... dunia kejam sama Anna, Bu.

Anna sedih.

Anna sendirian.

Benar-benar sendirian. 
***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro