Bab 45

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beralih ke panggilan video, Ezio banyak bercerita bagaimana Barbara mengetahui insiden tangki bocor padahal Jake tidak pernah mengatakannya. Dia sempat dibuat kagum dengan neneknya yang memilih pergi ke Indonesia untuk mengalihkan pikiran dari turis yang menjarah anggur mereka, ternyata ada alasan lain yang tak diketahui siapa pun. Ezio berkata jika Barbara mulai menaruh curiga terhadap keluarga Rogmana atas sabotase anggur-anggur di pabrik Tuscano. Mereka ingin anggur-anggur dari kebunnyalah yang dipakai bukan dari kebun keluarga Luciano sendiri.

"Itu tidak masuk akal, Ezio. Bukankah sudah bertahun-tahun lalu mereka menyetujui kalau kita menggunakan dua puluh persen anggur dari kebun mereka? Kenapa sekarang ingin meminta lebih?" ketus Jake tak terima mendengar penjelasan adiknya. Dia masih berada di ruangan di mana Anna terlelap menanti gadis itu terbangun dari buaian mimpi. 

"Ayolah ... manusia tidak ada yang bisa menepati janji, Dude. Mereka hanya manis di mulut sementara menyembunyikan sebilah pisau di punggung," cibir Ezio. "Maka dari itu Nonna menyuruh seseorang mengawasi keluarga Rogmana dan kekasihmu. Ups, mantan. Sorry."

"Apa Aria juga terlibat?" tanya Jake. "Karena selama di Bali, Nonna masih memperlakukan gadis itu seperti biasanya."

"Kurasa Nonna tahu, tapi dia lebih memilih diam agar tidak menaruh curiga. Sampai ... ya kau tahu kejadian di mana Aria menukar obat, Nonna menceritakannya padaku," ujar Ezio. "Dia benar-benar tergila-gila padamu, Jake. Aku merinding."

"Aku tidak pernah menyukainya," elak Jake melirik Anna. "Aku mencintai Anna. Dia gadisku."

"Tapi, kau tidak mengelak ketika diajak bercinta, Jake," sembur Ezio dibalas tatapan tajam sang kakak. "Semua pria sama saja, dikasih umpan malah meminta lebih," ledeknya tanpa takut justru terbahak-bahak. "Astaga ... tapi, aku yakin mereka tidak bisa berkutik lagi. Nonna sudah kembali ke Tuscany kemarin untuk rapat besar bersama orang-orang. Aku tak mau ikut, kepalaku sudah pusing mendengar omelan-omelan Nonna dan Papa. Jadi, aku di sini sendirian bersama Oslo."

"Ya, bersenang-senanglah selagi di sana. Tapi, jangan membawa perempuan di rumahku!" titah Jake mengingatkan.

"Tentu saja tidak, Dude. Kau pikir aku apa? Hei, aku melihat beberapa postingan kekasihmu," kata Ezio kini tampak serius. "Aku baru tahu kalau temannya penggila Lagom."

"Oh Shanon?" Jake menyebut nama teman Anna yang diingatnya sebagai penggemar fanatik Lagom. "Hei, dari mana kau tahu akunnya Anna? Aku saja tak tahu." Alisnya menyatu mencurigai kemampuan Ezio selalu bisa merancang bangunan juga stalking akun orang lain sampai ke akar-akarnya.

"Oh itu yang namanya Shanon," gumam Ezio mengulang nama itu dengan wajah tersipu-sipu berpura-pura tak mengenal si empunya nama. Padahal iseng-iseng menggunakan akun lain, Ezio mengirim pesan langsung ke Instagram Shanon dan mengaku sebagai penggemar Lagom juga. "Karena kau terlalu sibuk untuk mengamati akun perempuan. Aku akan pergi, Jake. Jaga dirimu, Dude," pamitnya melambaikan tangan lalu memutuskan sambungan telepon. 

"Ck!" Jake mendecak bisa menebak adiknya tak sekadar 'pergi' melainkan entahlah bermain-main dengan Shanon atau sejenisnya. Tak berapa lama, dia menangkap Anna tengah mengerang. 

Buru-buru Jake menghampiri Anna, memegang tangan gadis itu yang menggenggam balik begitu erat seperti menemukan kembali kehangatan yang dicari. 

Perlahan namun pasti, kedua mata Anna terbuka dan mengerjap-ngerjap menyesuaikan pendar cahaya yang masuk ke dalam pupilnya. Dia mengerutkan kening menangkap sosok pria tengah menatap Anna tanpa berkedip hingga penampakan lelaki yang amat dirindukan makin lama makin jelas. 

Anna tertegun cukup lama tapi sentuhan kulit tangannya dengan tangan Jake terasa nyata. Sementara bibir lelaki itu mengembang tipis penuh haru apalagi dia berkata lirih memanggil namanya. Kristal bening di sudut matanya menggenang sebelum melebur akibat perasaan yang menggebu-gebu itu terbayar tuntas. Dia mengangkat sebelah tangan tanpa memedulikan rasa nyeri di bahu kanan yang dibalut perban. Anna ingin menyentuh wajah pujaannya bahwa sekali lagi Jake bukanlah fatamorgana dalam lubang kesengsaraan yang dipijaknya. Dia ingin membelai garis rahang yang tertutupi janggut sebelum beralih pada garis bibirnya yang terasa lembut. 

"Mi manchi, Bella."

(Aku merindukanmu, Sayang)

Sebuah kelegaan menjalari diri Anna kalau suara rendah nan sensual Jake bukan sekadar mimpi di siang hari. Suara itu nyata. Lelaki itu berada di depannya, menggaungkan rasa rindu yang tak bisa ditahan lebih lama. Dia memejamkan mata ketika Jake mencium bibirnya penuh kasih sayang mencurahkan cinta tulus tanpa pamrih. 

"Ti amo, Anna," bisik Jake di depan bibir Anna lalu memberi kecupan manis di kening. "terima kasih sudah mau bertahan. Aku sangat khawatir padamu."

(Aku mencintaimu, Anna)

Lidah Anna kelu tak mampu menimpali ucapan Jake karena tersentuh bahwa lelaki itu masih peduli padanya setelah penolakan yang diterima. Dia mengangguk pelan, matanya meneteskan kristal bening namun bibirnya tersenyum penuh kebahagiaan. Lalu menarik tangan Jake untuk dicium lembut, merasakan telapak tangan dan wangi tubuh yang diingat Anna kini berputar-putar kembali tuk merajut kenangan-kenangan baru di masa depan. 

"Aku minta maaf bila menyakitimu, Anna, aku sungguh minta maaf," kata Jake lagi. "Aku ... benar-benar nggak bisa tenang sampai kamu mengampuni kesalahanku waktu itu. Aku rela melakukan apa pun--"

Kalimatnya tertahan saat jari kiri Anna menempel di bibir Jake. 

"Tetaplah bersamaku, Jake," lirih Anna serak. "Aku cuma minta itu aja darimu."

Jake tertegun cukup lama sebelum akhirnya tersenyum lebar dengan mata berkaca-kaca. "Aku bersumpah akan membahagiakanmu."

"Jangan cuma janji, aku perlu bukti," balas Anna membelai janggut Jake yang tumbuh subur membuat penampilan lelaki itu agak sedikit lebih tua dibandingkan umur aslinya. "Pertama ... kamu perlu mandi, cukur, makan dan beristirahat. Kamu kelihatan banyak pikiran."

"I'm always thinking about you," timpal Jake mencium punggung tangan Anna. "Mine."

"Yours."

###

Isu Aria sebagai dalang terdengar di telinga Fabio yang sempat membela mati-matian tunangan Jake tersebut. Tapi, sejumlah bukti-bukti berupa chat maupun rekaman telepon dengan Chloe dan Jarred seorang mantan narapidana yang pernah dihukum akibat perampokan dan pemalsuan identitas pun membuat gadis itu tak berkutik. Apalagi Barbara turut memperkeruh keadaan melalui kesaksian pengurus rumah Jake yang menangkap Aria menukar obat dengan antibiotik hingga mengalami alergi berat. 

Sementara menunggu penyelidikan lebih dalam dan persidangan dua penculik di Brisbane, Aria memilih diam di kediamannya sementara keluarganya tengah berdiskusi cukup 'alot' bersama petinggi Tuscano. Tidak hanya sampai di situ, berbagai pemberitaan terus-menerus menyorot Aria sebagai gadis picik yang egois. 

Lihat saja banyak wartawan berdiri tak sabar menanti tunangan Jake untuk meminta keterangan lebih jelas terkait isu negatif yang menyerang dirinya sebagai dalang penyekapan seorang WNI di Australia. Mereka juga menuntut alasan di balik retaknya hubungan Aria dengan Jake yang disinyalir sebagai perjanjian bisnis yang disembunyikan dari publik. Berita itu juga merembet ke bisnis pemasok anggur yang dilakoni keluarga Rogmana selama puluhan tahun disusul muncul keraguan-keraguan para pengusaha wine yang membeli bahan baku ke mereka.

"Jangan-jangan mereka juga menyabotase produk wine yang lain, supaya orang fokus ke wine yang dihasilkan dari anggurnya saja," komentar seorang pria paruh baya yang dimuat dalam koran. 

Ayah Aria--Gustav--sempat murka mengapa sang putri semata wayang harus melakukan kejahatan sampai sejauh ini. Aria membalas, mengamuk karena merasa ditipu Jake atas pertunangan mereka. Dia berkelakar kalau apa yang dilakukannya sekarang sebagai pembelaan diri untuk melindungi harga diri.

"Ma insomma, Aria. Seharusnya kau bilang ke Papa bukan melakukannya seorang diri seperti itu! Kalau kau memang terbukti salah, dampaknya akan sangat besar!" sungut Gustav melotot tajam sampai wajahnya memerah.

(demi Tuhan)

"Aku sudah menutupi kelicikanmu dari kebocoran tangki itu, Papa. Nyatanya apa? Si nenek tua itu tahu segalanya!" balas Aria ikutan kesal dari mana Barbara sampai mengendus kejahatan keluarga Rogmana. "Dan Papa masih menyalahkanku!"

Dan sekarang tidak ada kata-kata lagi untuk membela diri di  hadapan Barbara maupun Fabio, Gustav kalah telak. Dia memang salah sekaligus serakah karena ingin mendapatkan keuntungan lebih banyak daripada yang seharusnya. Dia memohon agar masalah ini tak dibawa ke pengadilan pun hanya dianggap angin lalu. Barbara terlalu murka, sedangkan Fabio telah kehilangan kepercayaan bahwa teman sekaligus rekan bisnisnya menusuk dari belakang. 

"Kalian tidak bisa memenjarakan Aria hanya karena masalah obat itu, Mrs. Luciano" seru Gustav kepada Barbara. "Lagi pula kau baik-baik saja kan sekarang? Aria juga meminta maaf kepadamu!"

"Minta maaf? Minta maaf tapi membuat orang lain celaka, itukah yang kau maksud Gustav?" ketus Barbara memicingkan mata penuh kebencian. "Astaga, kalau ayahmu tahu anak-anaknya licik seperti ini, sedari awal aku tak akan mau menjalin kerja sama. Tanpa anggur-anggur dari kebun kalian, kami masih bisa memproduksi wine lebih bagus, Gustav! Aku hanya menaruh belas kasihan kepada keluargamu!"

"Nonna!" seru Gustav hendak menghentikan Barbara yang beranjak dari kursi ruang rapat tapi ditahan oleh Fabio.

"Kita akhiri kontrak hari ini, Gustav. Aku tidak mau bekerja sama dengan pengkhianat," tambah Fabio. "Kasus ini tetap aku bawa ke pengadilan!" tegasnya menunjuk Gustav murka. 

###

Guyuran air hangat yang membasahi tubuh Jake mampu merelaksasikan seluruh ketegangan yang menggelayuti selama beberapa hari. Pikirannya tak lagi kalut, mulutnya tak lagi cemberut, sinar matanya telah kembali ketika Anna mau membuka kesempatan kedua. Selesai mandi, dia mematut diri di depan cermin dan benar saja, janggut yang tumbuh subur di rahang membuat penampilan Jake tak lebih dari manusia gua. Alhasil, berbekal pisau cukur yang dia beli di supermarket dekat rumah sakit, Jake memangkas hingga habis dan berpikir kalau rambut keritingnya yang memanjang juga perlu dipotong. 

Usai memangkas janggut, Jake memang terlihat jauh berbeda. Garis rahang tegas yang dihias dagu belah dua serta senyum manis memang menjadi daya pikat tersendiri. Begitulah penuturan Anna kepadanya tadi membuat Jake tergelak malu.

Dia keluar dari kamar mandi mengenakan pakaian santai, celana linen gelap yang dipadu sweter senada menonjolkan lekuk lengan kekar dan bahu bidang. Jake mendapati Anna tengah menonton siaran berita dan bertemu tatap. Seketika bibir gadis itu mengembang seraya melambaikan tangan kiri meminta Jake segera menghampirinya. Jake menyampirkan handuk di jemuran dekat wastafel lantas melangkahkan kaki mendekati sang kekasih hati. 

"Kamu ganteng," puji Anna kala Jake memberinya kecupan. "Aku bau, Jake."

"Aku bisa membantumu membersihkan diri," goda Jake mengerlingkan sebelah mata. "Masih sakit?"

Anna menyengguk. "Injeksi anti nyerinya baru dua jam lagi dikasih. Kamu nggak makan?"

Jake terkekeh seraya mengisi jemari kiri Anna yang kosong lalu menciumnya pelan. "Astaga, baru sejam lalu aku makan masa iya disuruh makan lagi?"

"Iya, biar kamu nggak lemes," jawab Anna. 

"Yang sakit siapa yang disuruh makan siapa," cibir Jake mencolek puncak hidung Anna gemas. 

"Jake," panggil Anna terdengar serius memandangi iris abu-abu pria di sampingnya itu. "Menurutmu apa Aria akan--"

"Kupastikan dia mendapat ganjaran, Bella," sela Jake tidak ingin Anna resah. "Ezio sudah banyak membantuku."

"Ezio?" Anna mengerutkan alis. "Adikmu?"

Jake melenggut. "Dia memberitahu bahwa ponselku disadap Aria, oleh karena itu semenjak kedatangannya ke sini suasananya tak seperti dulu. Aku terlalu menyepelekan segalanya, Anna."

"Tapi, sekarang sudah usai, Jake. Kita nggak perlu takut lagi," tutur Anna membelai rahang Jake yang terasa kasar lalu berhenti di garis bibir lelaki itu. 

"Aku sempat takut kehilanganmu, Anna," ucap Jake yang bisa dirasakan Anna kalau lelaki itu memang pernah dilanda khawatir. "Aku menjemputmu di apartemen, tapi ... kamu nggak ada. Aku bingung setengah mati."

"Sekarang aku di sini, Jake. Aku nggak apa-apa kok, meski luka-luka ini sakitnya bukan main," keluh Anna mengalihkan pandangan ke sekujur tubuhnya yang diperban. "Ah, aku jadi ingat, kontrak kerjaku kurang sebulan. Aku takut mereka ngasih denda."

"Mereka sudah tahu kamu korban penculikan dan kalau mereka nggak terima, aku yang mengurusnya. Beres," ujar Jake agar Anna tidak memikirkan hal lain kecuali pemulihannya. "Hei."

"Iya?"

"Mau ke Tuscany?" tawar Jake tak melepas pandangan dari iris cokelat Anna. "Aku ingin mengenalkanmu kepada keluargaku."

What?

Anna tertegun bukan main. Dalam pikirannya jika seorang lelaki ingin membawa gadis untuk dikenalkan maka mereka melangkah ke fase yang lebih serius. Anna bukannya tidak siap, hanya saja kondisi seperti ini tidak memungkinkan untuk bertemu orang tua Jake. Dia tidak mau datang dan dilihat sebagai gadis yang meminta belas kasihan. 

"Aku ingin membawa gadis yang benar-benar kucintai. Aku nggak mau berpura-pura lagi," tambah Jake begitu meyakinkan sampai memunculkan jutaan kupu-kupu di perut Anna.

"Kaki dan bahuku masih kayak gini, Jake. Aku nggak mau mereka melihatku kayak anak hilang," ucap Anna tak bermaksud menolak ajakan Jake. 

Bukannya membalas, Jake terkekeh membuat bibir Anna mengerucut kesal. Dia memukul dada bidang lelaki itu tapi ditahan dan malah diberi serbuan kecupan di punggung tangannya.

"Aku bisa gendong kamu, tenang aja," canda Jake menyiratkan sesuatu penuh arti. "Ada tempat yang pengen banget aku tunjukkin ke kamu."

"Apa itu?" tanya Anna penasaran.

"Rahasia negara."

"Jake!" seru Anna makin kesal.


(Wajahnya Ezio si cakepp)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro