Bab 46

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sorot kamera tak henti-hentinya menangkap wajah Aria yang baru saja memenuhi panggilan pihak kepolisian Tuscany terkait kasus tangki bocor. Walau belum ada keterangan resmi dirinya sebagai tersangka, namun orang-orang yang menyorot berita panas tersebut menuding bahwa keserakahan keluarga Rogmana yang membuat Aria buta hati. Padahal, sebagai rekan bisnis selama belasan tahun lalu tidak semestinya mereka menghancurkan kepercayaan keluarga Luciano. Alhasil, sebutan manusia tak tahu diri sampai wanita rubah pun terdengar di telinga Aria manakala melewati kerumunan wartawan.

Tidak berhenti di sana saja, peristiwa penculikan yang terjadi pada Anna di Brisbane pun turut menyeret nama Aria sebagai dalang. Para pengejar berita tak henti-hentinya menodong berbagai pertanyaan karena dilanda rasa ingin tahu atas motif gadis tersebut sampai hati menyekap orang lain.

"Bagaimana tanggapan Anda dengan isu yang melibatkan penyekapan di Australia, Ms. Rogmana?"

"Apa benar Anda menyuruh orang-orang tersebut untuk melakukan tindak kejahatan?"

"Bagaimana kelanjutan hubungan Anda bersama Mr. Luciano, Ms. Rogmana?"

Merasa geram, Aria merebut kamera salah seorang pengejar berita sambil melayangkan sumpah serapah. Tapi, dia tetap bungkam tuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu karena tahu setiap kata yang keluar dari bibir bakal digoreng oleh masyarakat. Sementara Anna yang jelas-jelas merebut Jake darinya hanya dianggap korban tanpa melihat sesuatu sebesar meteor kalau dia salah.

Bukannya menyerah, pengejar berita itu makin berapi-api menyudutkan Aria seolah-olah sikap kasarnya menunjukkan jawaban yang kentara atas penculikan Anna di Brisbane. Beberapa pria yang mengawali Aria pun menghalang-halangi desakan-desakan wartawan sembari melindungi sang majikan hingga masuk ke dalam mobil.

"Kami akan menyusul, Nona!" seru salah satu pengawalnya membiarkan Aria pergi mendahului.

Tak menyahut, Aria langsung masuk ke Rolls-Royce hitam mengilap di bawah pendar matahari yang tak seberapa menyengat kemudian melayangkan jari tengah karena jengah berbarengan kilatan blitz yang mungkin mengabadikan ekspresi wajah murkanya. Tak perlu berlama-lama bersinggungan dengan pengejar berita murahan tersebut, Aria menyuruh sang sopir segera menekan pedal secepat mungkin seraya menyandarkan punggung dan melipat kedua tangan.  

Seperti terjebak dalam lubang yang digalinya sendiri untuk mencelakai Anna, kini Aria harus mempertanggung jawabkan segala perbuatan. Tidak! Dia menggeleng kerasa pada diri sendiri, berkilah kalau semua itu dia lakukan demi melindungi harga diri juga kekasihnya dari seorang wanita asing yang seenaknya menyelinap dan merebut Jake. 

"Aku tidak salah," gumam Aria masih berusaha mengelak ribuan dosa yang telah dilakukannya. Sorot mata cokelat menawan gadis itu tampak resah meski bibirnya masih menggerutu lantas beralih ke kaca mobil dan bertemu tatap dengan sopir pribadinya. "Aku benar kan? Aku tidak salah mempertahankan kekasihku dengan cara itu! Semua wanita akan melakukan hal yang sama!"

"Aku tidak bisa mengatakan apa yang Anda lakukan adalah benar, Nona," ujar si sopir melempar tatapan iba kepada sang majikan. Sudah bertahun-tahun lamanya dia mengabdi kepada keluarga Rogmana dan baru kali ini mereka seolah-olah gelap mata untuk mendapatkan sesuatu yang tidak semestinya dimiliki secara berlebihan. Bahkan sampai menyabotase tangki, membuat kekacauan, dan berlagak bak pahlawan sebelum segalanya berbalik menyerang mereka.

"Ck!" 

Aria mendecak kesal. Jemarinya kini memijit kening yang berkedut-kedut memikirkan bagaimana cara keluar dari masalah ini. Sementara itu segala bukti yang didapatkan Fabio juga Ezio benar-benar makin memojokkannya sebagai pelaku utama. Dia menarik napas panjang berusaha melonggarkan dada yang terasa begitu sesak ketika semua orang yang dulu memujanya berbalik arah. Tapi, sebesar apa pun Aria mengisi setiap sisi rongga dadanya dengan oksigen, akan selalu ada sisi menyakitkan yang tidak bisa hilang dan makin menusuk-nusuk sanubari. Perlahan-lahan korneanya memerah menahan desakan air mata yang nyaris meleleh sampai pedih.

"Jika Jake sedari awal tidak menyukaiku, kenapa dia memberi harapan seolah-olah cintanya begitu besar padaku?" gumam Aria terdengar pilu.

Bibir berpulas lipstik merah menyala itu gemetaran tak kuasa membendung kesedihan karena tudingan juga hinaan publik. Dia memukul-mukul dadanya yang terasa sakit bagai ditusuk puluhan bilah pisau tajam yang baru diasah. Semua lembar kenangan bersama Jake hanyalah semu di mata Aria. Tidak ada sedikit pun cinta yang dipersembahkan Jake kepadanya. Tidak ada pelukan hangat yang benar-benar menjadi sandaran Aria untuk mencurahkan rindu. 

Semua palsu. Semua hanyalah ilusi yang sempat mengaburkan kewarasan Aria sampai di titik dia buta hati untuk mencelakakan Anna. Sebuah kenyataan pahit memaksa dirinya sadar bahwa lelaki itu hanyalah boneka yang dijalankan Fabio sebelum berani merangkak keluar dan menemukan belahan jiwanya di Bali.

Kristal bening yang bergumul di pelupuk mata akhirnya meleleh tanpa bisa dihalangi lebih lama. Sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk senyum kecut bahwa inilah akhir kisah yang dipilihkan semesta untuk Aria. Dia bertanya-tanya dalam hati, apa yang kurang darinya sampai Jake enggan memberi secuil perasaan. Tak hanya itu saja, Jake juga menikmati tubuhnya, memberi ciuman penuh gairah sebelum kobaran hasrat tersebut padam karena kehadiran orang ketiga.

Sebelah tangannya meraba sebuah kalung bermata berlian emerald sebagai hadiah ulang tahun ke-29 dari Jake. Air mata Aria makin bercucuran saat serbuan kenangan-kenangan itu menyakitinya tanpa henti. Menyiksa batin Aria bahwa apa yang dijalani sebatas delusi yang tidak mungkin jadi nyata. Dia terisak, merasakan tekanan batin tak berujung manakala jemarinya bergerak ke tulang selangka di mana ada inisal nama dirinya dan Jake dibalut setangkai Mawar merah sebagai lambang ketulusan cintanya.

Aria tertawa sumbang menyadari bahwa Mawar memiliki duri yang menyakiti siapapun yang hendak menyentuhnya. Sekarang dia tahu bahwa hati Jake memang tak terjamah sekali pun Aria mendesak untuk masuk di sana. Dia paham. Betul-betul paham.

Sekuat apa pun membuatnya bertahan hanya aku yang tersakiti di sini. Orang-orang melihatku kejam, padahal yang lebih jahat itu Jake. Dia mempermainkan perasaanku tanpa melihat dampaknya.

###

Dua orang berjaket kulit terdiri pria dan wanita bertubuh bongsor mengenalkan diri mereka sebagai penyidik datang untuk berkunjung ke ruang rawat inap Anna dan meminta beberapa keterangan terkait insiden mengenaskan itu. Anna memberikan pernyataan sesuai apa yang sebenarnya terjadi walau dalam hati tak ingin mengungkit kembali. Ada gelenyar ketakutan menjalari dirinya manakala tangan nakal Chloe meraba-raba diri Anna seperti wanita penghibur pria.

Jake memejamkan mata dan mengetatkan rahang sekadar menahan diri untuk tidak menerjang Chloe lagi yang kini mendekam sebagai tahanan kota. Sial sungguh sial, geram Jake tak terima. Namun, saat ini bukan kemarahan yang patut ditunjukkan kepada semua orang melainkan dukungan emosional bagi Anna sebagai korban penindasan mereka. Dia menepuk-nepuk pundak kiri Anna seakan-akan menyiratkan bahwa Jake akan selalu berada di sisinya dan menerima apa pun keadaan gadis itu.

"Untungnya saja mereka tidak memperkosaku," ujar Anna terdengar gemetaran. Dia memilin ujung selimut seraya menundukkan kepala lalu berkata, "meski ... " ada jeda panjang yang terbentang membuat wanita berambut pirang di depan Anna melenggut pelan.

"Kami paham Ms. Asmita," ucap wanita yang mengenakan tanda pengenal Lara Brown. "Untuk hasil pemeriksaan visum sudah kami terima, hanya memastikan saja keterangan dari Anda langsung tentang kronologi penculikan itu."

"Aku tahu. Hari yang sial," tutur Anna terasa getir. Dia mendongak bertemu tatap dengan sorot abu-abu Jake yang menggelap. "Maafkan aku, Jake."

"Nggak ada yang perlu dimaafkan," kata Jake mengeratkan genggamannya di tangan Anna. "Kamu nggak salah."

"Baik, semua yang kami perlukan sudah ada dan tinggal mengolah kasus ini sebelum dibawa ke persidangan," ujar si pria bermata biru terang. Dia beranjak dari kursi diikuti si wanita lalu saling berjabat tangan dan mendoakan agar Anna segera pulih dari luka dan cedera.

"Thanks!" Anna menyunggingkan seulas senyum tipis.

Selepas mereka pergi, Jake duduk berhadapan dengan Anna lalu menangkup wajah gadis itu dan memberi sebuah kecupan lembut di bibir. "Kamu benar-benar kuat, Anna. Aku harap mereka dihukum setimpal."

"Semoga saja," tukas Anna penuh harap. "Aku ingin keluar, Jake. Perbincangan tadi sedikit membuatku tegang, aku butuh udara segar. Bisa bantu ambil kursi roda?"

"Tentu." Jake berjalan tuk mengambil kursi roda yang terletak di sudut kamar.

Perlahan-lahan Jake membantu Anna berpindah dari kasur ke kursi roda. Gadis itu sedikit merintih karena kaki kanannya masih nyeri akibat jahitan luka cukup banyak. Jake terkekeh tapi dibalas gigitan di bahu hingga mengaduh kesakitan.

"Aku anggap gigitanmu penuh cinta," tutur Jake lalu mengambil selimut dan menaruhnya di paha Anna. "Meski sakit."

"Makanya jangan ngetawain aku," ketus Anna kesal.

"Iya-iya maaf," ucap Jake mendorong kursi roda keluar kamar dan melontarkan senyum simpul kepada beberapa perawat yang sedang bertugas di nurse station. "Kamu mau beli makan apa? Mungkin camilan?"

"Belum lapar," jawab Anna kala menyusuri lorong rumah sakit dan berpapasan dengan pengunjung, pasien yang duduk-duduk sembari mendorong tiang infus untuk melepas rasa bosan, atau petugas medis yang sekadar melintas.

Akhirnya Anna bisa menghirup udara yang lebih sejuk alami dibanding pendingin ruangan. Setidaknya itu yang dirasakan selama berhari-hari berbaring di atas ranjang seperti manusia tak berdaya. Dia membatin kalau menjadi orang sakit benar-benar tidak menyenangkan.

Jake mendorong kursi roda menuju ke taman belakang rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari kamar rawat inap sang kekasih. Kemudian dia mengunci rem agar roda tidak bergoyang-hoyang lantas mendudukkan diri di atas kursi kayu. Sejauh mata memandang, taman ini benar-benar terasa nyaman untuk dijadikan tempat melepas penat, apalagi cuaca juga mendukung karena hujan tak lagi mengguyur seperti beberapa waktu lalu.

Di hadapan mereka, ada kolam melingkar dengan pancuran air berhias patung perempuan bersayap. Di sana beberapa orang dewasa juga anak-anak mengenakan pakaian rumah sakit menunjuk kolam berisi ikan hias. Daun-daun di atas pohon saling bergesekkan ketika tertiup angin dan sesekali mereka rontok ke rerumputan. Selain itu, bunga-bunga warna-warni juga menari-nari mengikuti udara yang membelai seperti menyambut kedatangan Anna penuh gembira.

Gadis itu tersenyum lebar lantas mengangkat sebelah tangannya yang masih tertancap selang infus meresapi hangatnya binar mentari menyentuh kulit. Sehangat pelukan Jake, batin Anna tersipu malu.

"Kayak nggak lama ketemu matahari," goda Jake menyilangkan kaki dan menopang dagu dengan sebelah tangan. Sorot matanya mengabadikan setiap detik ekspresi kecantikan Anna yang tidak akan bosan tuk dipandang.

"Bener," ujar Anna seraya menyengguk mantap. "Kangen surfing."

"Nggak kangen aku?" Jake menelengkan kepala sambil menahan senyum jahil.

"Nggak," goda Anna menjulurkan lidah. "Kangen Oslo."

"Ah, iya, dia kangen banget sama kamu," ucap Jake melengkungkan bibir seolah-olah menyalurkan isi hati anjing kesayangannya. 

"Bukannya kamu?" terka Anna memicingkan mata seraya menahan tawa. "Postingan di Instagram kamu ngebuktiin semuanya loh!"

"Eh?" Jake terperanjat kaget lalu tergelak mengetahui kalau foto yang diunggah ternyata menarik perhatian Anna. Detik berikutnya gadis itu salah tingkah sendiri membuat Jake makin terbahak-bahak kegirangan. "Tapi sekarang sudah terobati kok." Jake menyisir rambut Anna yang berkibar diterpa angin.

"Jake?" panggil Anna kini terdengar serius.

"Ya, Bella?"  

"Aku memikirkan Aria," ucap Anna tampak sendu.

"Kenapa?" tanya Jake penasaran hingga kerutan di keningnya timbul. "Kurasa dia bakal baik-baik saja mengingat betapa egoisnya dia sama kamu."

"Jake." Anna menatap lurus iris abu-abu kekasihnya yang bersinar di bawah sinar matahari. "Sejauh yang kulihat dia masih mencintaimu," lanjutnya pelan.

"Itu obsesi, Anna," elak Jake tak suka. "Cinta nggak memaksa seperti itu. Dia juga membantu ayahnya merusak tangki wine kami. Jadi kenapa kamu meragukan kejahatannya?"

"Apa kamu bakal memaafkannya kalau dia datang?" tanya Anna.

"Aku nggak tahu, nggak berani jawab juga." Jake menoleh ke arah pancuran di depannya ketika seorang anak perempuan dengan ikatan rambut tinggi tengah membaca buku didampingi pria tua. "Yang jelas, aku nggak bisa lupa dia yang bikin Nonna sekarat, membuatku melukaimu, dan nyaris kehilanganmu. Butuh waktu lama untuk memaafkan orang seperti mereka. Tolong jangan paksa aku."

"Siapa yang maksa sih," cibir Anna mencolek puncak hidung Jake. "Orang tanya doang juga."

"Hei." Kini Jake yang terdengar serius sembari berpindah posisi di hadapan Anna. Dia berjongkok memegang kedua tangan kekasihnya lalu berbisik, "Aku mencintaimu."

"Sudah tahu, Jake," balas Anna senang kalau perasaan Jake masihlah sama. 

"Aku sayang kamu," lanjut Jake membuat rona merah tercetak jelas di pipi Anna.

"Itu juga sudah tahu." Anna terkikik geli dan menggigit bibir bawahnya karena malu.

"Aku kangen kamu," sambung Jake lalu mencium punggung tangan pujaan hati penuh kasih sayang.

"Katanya udah nggak kangen lagi," ledek Anna.

"Mau jadi istriku?" tawar Jake tiba-tiba.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro