a bride replacement| TIGA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Adakah yang lebih menyakitkan dari melihat orang yang kamu sayangi, menikah dengan laki-laki yang kamu cintai."

-Raina Shasilia Wijaya-

☘☘☘

Shasi menatap kakaknya yang sedang mencoba kebaya pilihannya. Kebaya hitam yang panjangnya sampai menyentuh lantai membuat Fiera terlihat cantik.

"Bagaimana, Si. Bagus tidak?" tanyanya pada Shasi yang sedang menemani Fiera fitting baju pernikahan.

Shasi mencoba tersenyum, melihat kebahagiaan di wajah itu setidaknya dia harus ikut bahagia. "Bagus, Ka!" ujarnya.

Shasi merasa menjadi manusia munafik ketika mengatakan itu. Sekuat hati mencoba terlihat senang namun berbanding terbalik dengan hatinya yang berkhianat. Ada hati yang patah dibalik kebahagiaan Fiera yang ia sembunyikan bersamaan dengan sesak yang menghimpit dadanya. "Tuhan, maafkan aku!" Shasi merasa bersalah. Tak sepatutnya ia seperti ini.

Dengan kebaya itu Fiera memang cantik, tetapi melihat penampilan kakaknya menyadarkan Shasi pada satu hal, kalau hatinya tidak benar-benar bahagia melihat kakaknya akan menikah. "Maafkan aku, Ka Fiera."

Shasi mengalihkan pandanganbsaat matanya mulai berkaca-kaca. "Tidak apa-apa, aku akan bahagia dengan pernikahan kakak." Dia menghapus air matanya yang sudah menggantung di pelupuk mata. Merasa besalah kalau di dalam hatinya yang tersenyum tak ingin pernikahan itu terjadi.

"Kakak bahagia, Si. Sebentar lagi orang yang kakak cintai akan menjadi suami kakak," kata Fiera saat berbalik ia malah melihat punggung adiknya.

"Si ... " Fiera memanggilnya. Tak menyadari kalau adiknya sedang menahan sakit. "Kamu dengar kakak, Si?" Fiera mendekati Shasi menyentuh punggung adiknya.

Shasi menghapus air matanya sebelum berbalik. "Aku pun bahagia mengetahui sebentar lagi Kakak akan menikah!" Ia memaksakan senyumnya, tidak ingin Fiera mengetahui hatinya yang sebenarnya tengah menahan sakit.

Melihat air mata di kelopak mata Shasi Fiera tertegun, ia langsung merasa khawatir. "Kamu menangis, Si?" Fiera mengusap sudut mata adiknya. "Kamu menangis?" Ia mengulang pertanyaannya.

Wajah Fiera amat khawatir. Ia sedang bahagia tapi kenapa adiknya menangis. Apa yang membuat Shasi menangis? Apa ada sesuatu yang terjadi pada adiknya, yang tidak ia ketahui. "Apa yang terjadi, Sayang. Apa Mama mengatakan sesuatu lagi padamu? Apa Mama menyakitimu lagi?"

Lihatlah kakaknya begitu menyayanginya. Begitu mengkhawatirkannya dan membelanya dari Mama yang selalu menyakitinya. Sedangkan ia, apa yang ia lakukan? Ia malah membalas kepedulian itu dengan menyimpan perasaan pada pria yang dicintai kakaknya. "Aku jahat, maafkan aku, Ka. Tidak seharusnya aku seperti ini."

Ya, Shasi diam-diam mencintai pria yang dikenalkan Fiera malam itu. Orang yang sejak dulu ia cintai, bagimana jalan ceritanya hanya Shasi yang tahu. Karena saat dipertemukan dengan pria itu lagi saat itu rasanya jantung Shasi berdegup kencang, aliran darahnya berhenti mengalir kala mengetahui pria itu yang akan menjadi suami Fiera. Dia adalah sosok yang dulu pernah hadir di hidupnya. Meski keberadaanya tak pernah disadari oleh pria itu.

"Dek, kamu enggak apa-apa, kan, Dek?" Untuk yang kesekian kalianya pertanyaan Fiera menyadarkan Shasi dari lamunannya.

"Apa aku enggak boleh menangis?" tanya Shasi sambil tersenyum, mencoba menyembunyikan luka di hatinya. "Apa aku enggak boleh menangis karena bahagia?" Kedua tangannya membingkai wajah Fiera.

Fiera terdiam sambil memandang wajah adiknya dengan pandangan berkaca-kaca.

"Aku bahagia, Ka. Aku juga bahagia mengetahui sebentar lagi Kakak akan menikah dengan orang yang Kakak cintai," ujarnya. Matanya menatap lembut Fiera.

"Benarkah, Si?" Pandangan Fiera secerah embun di pagi hati. Mempercayai begitu saja pernyataan Shasi.

Kekhawatiran di wajah Fiera perlahan menghilang, terganti dengan senyum lega. Dia bahagia mengetahui tangis Shasil karena dirinya bukan karena Mama.

"Kakak menyayagimu, Si. Kakak beruntung mendapatkan Adik seperti kamu." Fiera memeluk Shasi dengan perasaan haru. Saat pertama kali Papa membawa Shasi ke rumah ia langsung menerima keberadaannya, merasa senang karena memiliki teman.

Shasi tersenyum mendengar pernyataan Fiera. Benarkah kakaknya beruntung memilikinya? Kalau kakaknya merasa beruntung lalu kenapa Papa tak merasa demikian. Kenapa ia selalu diabaikan oleh Papa? Tak pernah dilihat, tak pernah mendapatkan kasih sayang, apakah benar yang Fiera katakan? Kalau benar seharusnya Papa menerima keberadaannya.

"Aku juga menyayangi Kakak, Kakak harus bahagia!" Shasi membalas pernyataan Fiera.

Tak boleh ada yang menghalangi kebahagiaan kakaknya siapa pun itu. Tidak keadaan, tidak juga dirinya. Memangnya siapa ia? Sehingga berani menyimpan perasaan pada calon suami kakaknya. Ia hanya seorang yang tak terlihat sampai kapan pun. Apa yang dirasakannya tak sama sekali berarti, kebahagian Fiera yang lebih penting.

Merasakan ketulusan adiknya Fiera menangis. "Kakak menyayangimu, Si." ujarnya sambil menarik Shasi ke dalam pelukannya.

"Aku juga sayang Kakak, terima kasih sudah menerimaku. Terima kasih sudah menganggap keberadaanku," batin Shasi. Dia berusaha menghilangkan sakit di hatinya.

Biarlah ia menelan kepahitan ini demi orang yang telah menyayanginya selama ini. Demi kakaknya dan demi segala yang sudah dilakukan Fiera untuknya. Ia tak boleh jahat, tak boleh egois. Biarlah Fiera mendapatkan kebahagiaannya.

"Sayang ... "

Tubuh Shasi menegang, terpaku untuk beberapa saat mana kala mendengar suara pria yang beberapa hari ini memasuki pikirannya.

Mendengar suara itu Fiera melepas pelukan mereka lantas berbalik untuk melihat pria yang telah berdiri beberapa langkah dari mereka.

"Kamu telat!" kata Fiera dengan wajah cemberut seraya menyilangkan kedua tangan di depan dada.

Pria itu pun mendekat dan tersenyum. "Maaf, Sayang." Dia menarik Fiera ke dalam pelukannya. "Ada meeting penting yang enggak bisa aku tinggal. Maaf, ya!" ujar pria bernama Revand. Dia terlihat mengecup kening kakaknya. Tatapan itu memancarkan cinta yang besar.

Semua itu tak luput dari perhatian Shasi. "Memang seharusnya seperti ini." Dia mencoba mengukir senyum. Saat air mata kembali mengalir Shasil membalikan tubuh untuk membelakangi pasangan itu.

Tuhan, kenapa melihat kemesraan mereka hati Shasi malah sakit. Mati-matian Shasi bertahan untuk tidak merasa demikian, namun sangat sulit ketika air mata justru membuatnya tak bisa membohongi perasaannya.

"Apa meeting lebih penting dari pernikahan kita?"

Suara rajukan Fiera perlahan menghilang ditelan oleh jarak karena Shasi memutuskan untuk menjauh. Berlama-lama di sana hatinya hanya semakin terluka.

"Tuhan, aku juga ingin bahagia." Shasi pernah mengatakan itu pada Tuhan disetiap sujudnya. Jika di rumah ia tak pernah mendapatkan cinta dari orang tuanya. Bolehkah Shasi berharap kalau suatu saat nanti ia akan mendapatkannya dari seorang pria yang kelak akan mengisi hari-harinya.

"Aku juga ingin dicintai seperti Ka Fiera." Itulah harapan satu-satunya di hidup Shasi. Tapi dicintai oleh siapa? Pria yang diam-diam dicintainya saja tak mencintainya. Lelaki itu justru mencintai Fiera. Revan milik Fiera.

Kenapa hidup Fiera selalu beruntung?

Kenapa ia tidak?

Shasi mungkin pernah merasakan kebahagian itu. Saat ia menemukan secerca harapan di dalam hidupnya dengan menghadirkan cinta itu pada Revan. Tapi Tuhan justru kembali mempermainkan hidupnya. Perasaannya hanya mililnya sendiri, cintanya bertepuk sebelah tangan dan sekarang dia dipaksa untuk melupakan perasaannya.

"Takdir apa lagi, Tuhan." Shasi sebenarnya tak ingin mengeluh. Tapi sebagai wanita yang lemah tetap saja ia tak bisa menghindari keluhan itu.

***

Fiera menatap ke sekeliling masjid besar yang akan menjadi tempat ijab kabulnya. Berdiri gelisah dengan kebaya putihnya.

"Kamu di mana si, Dek? Kenapa belum datang?" Ia melirik jam di pergelangan tangannya, wajah itu menyiratkan kekhawatiran. Memikirkan Shasi yang tak kunjung terlihat.

Mama yang melihat kecemasan di wajah Fiera mendekat. "Kamu kenapa masih di sini, Revand sudah bersiap-siap mau ijab kabul," ujar Mama. Tapi Fiera tak sama sekali memandang Mama dan malah terus-terusan menatap pintu ke sekeliling masjid. Berharap Shasi muncul. Jika adiknya belum datang ia tidak akan ijab kabul.

"Kamu sudah janji akan menemani Kakak ijab kabul, tapi kenapa kamu tidak datang, Si?"

"Kamu memikirkan anak haram itu Fiera! Mama sudah bilang kalau anak tidak tahu diri itu tidak akan datang, dia pergi dari rumah dan tidak tahu ke mana." Mengerti kalau Fiera sedang memikirkan Shasi raut wajah Mama tampak tidak senang.

Fiera tidak menanggapi karena sedang cemas memikirkan Shasi.

"Sudah jangan memikirkan dia lebih baik kita ke dalam." Mama yang hendak menarik tangan Fiera namun Fiera tetap bertahan. Sedetik kemudian gadis itu justru menatap Mama dengan pandangan sedih, kecewa dan marah. Mengingat bagaimaja selama ini Mama begitu membenci Shasi.

"Ma ... " Netranya yang berkaca-kaca memandang Mama. "Apa salah, Shasi, Ma? Apa kesalahan Shasi sampai Mama membencinya?" Fiera sudah tidak bisa menahan diri lagi. Sudah sejak lama ia ingin mempertanyakan ini.

Mama tampak terdiam mendapati pertanyaan seperti itu. Kemarahan tampak terpancar di wajahnya.

"Mama selalu mengatakan Shasi anak haram. Mama selalu membencinya. Tapi pernah 'kah Shasi membenci Mama?"

Mama tidak mampu menjawab, lidahnya seakan kelu. Namun, sejurus kemudian Mama membalas tatapan Fiera dengan pandangan marah. "Kamu enggak tahu apa yang Mama rasakan selama ini, Fiera. Lebih baik kamu diam!" Pandangan Mama berubah tajam.

"Apa yang enggak Fiera tahu, Ma? Apa?" Air mata mengalir dari sudut matanya, Fiera membalas tatapan Mama dengan kemarahan yang sama.

Mama yang kesal karena Fiera terus-terusan membela Shasi, diliputi kemarahan. Dulu ibunya merebut suaminya, sekarang putri satu-satunya melawan dirinya dan lebih membela anak haram itu.

"Kamu enggak tahu gimana mamanya menghancurkan perasaan Mama. Perempuan itu merebut Papa dari Mama. Kamu enggak tahu gimana perasaan Mama ketika Papa diam-diam menikahi wanita itu dan menghasilkan anak tanpa sepengetahuan Mama," kata Mama dengan napas memburu saat mengingat rasa sakitnya.

Fiera yang mengerti dengan apa yang dirasakan Mama mendekati Mama, memeluk Mama untuk menguatkannya. "Fiera tahu, Ma. Fiera tahu Mama sakit hati pada Papa. Tapi tidak bisa 'kah Mama tidak menyalahkan Shasi. Dia adikku, Ma. Dia tidak bersalah." Napas Fiera juga memburu. Tapi ia harus menyelesaikan ini, ia harus menyadarkan Mama kalau kebenciannya terhadap Shasi kesalahan.

Sembari memeluk Mama dan bersama-sama menangis ia mencoha memberikan pengertian pada Mama. "Apa Shasi pernah meminta untuk dilahirkan dalam keadaan seperti ini, Ma? Apa dia bisa memilih dengan siapa dia dilahirkan? Enggak, kan, Ma? Enggak!" Fiera mengeratkan dekapannya. Dapat ia rasakan tubuh Mama bergetar, seakan mencerna segala perkataannya.

"Dia enggak salah, Ma. Adikku enggak salah," katanya memberi penegaskan. "Sayangi Shasi, Ma, sayangi adikku. Selama ini dia diam-diam menangis. Selama ini dia menyayangi Mama. Berharap Mama mau menyayanginya," pinta Fiera dengan pengharapan yang besar. Berharap Mama mau mengikuti permintaannya.

Tapi Mama rupanya tak sama sekali tersentuh dengan kalimat yang dilontarkan Fiera. Didukung oleh keegoisannya dan rasa bencinya pada masa lalu suami dan ibu kandung Shasi Mama mendorong Fiera pelan, melepaskan pelukan mereka. "Enggak, Fiera. Enggak! Sampai kapan pun Mama enggak bisa menerima anak haram itu dalam hidup Mama."

"Mama egois! Yang Mama pikirkan hanya perasaan Mama tanpa memikirkan perasaan Shasi." Fiera mundur perlahan sambil memandang Mama dengan raut penuh kekecewaan. Mama yang disayanginya ternyata tidak lebih dari seorang yang egois dan pendendam.

"Fiera mau ke mana kamu, Nak? Jangan pergi! Kamu akan menikah." Mama memperingati saat dilihatnya Fiera menjauhinya. Dan teriakan Mama didengar oleh Revand dan suaminya yang tak tahu menahu tentang keributan ibu dan anak itu.

Tapi Fiera justru tak peduli dengan peringatan Mama, ia tidak akan pernah menjalani ijab kabul itu sebelum adiknya datang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro