a bride replacemet| EMPAT

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Saat Tuhan membuka jalan pada hati yang diam-diam mencinta, bolehkah ia merasa bahagia di saat bencana itu justru menimpanya?"

-Rania Shasilia Wijaya-

☘☘☘

Shasi berlari sembari melirik jam di pergelangan tangannya. Sebentar lagi, pikirnya. "Aku datang, Ka, tunggu Aku!"

Matanya berkaca-kaca dan ia hendak menangis, napasnya seakan dikejar oleh waktu bersamaan dengan air matanya yang meluruh. Ia sudah berjanji pada kakaknya bahwa di hari bahagia kakaknya ia akan menemani kakaknya. Namun ia justru terlambat datang. Bahkan ia hampir terancam tidak datang. Ini semua karena mamahnya, karena mama mengurungnya di gudang dan tak membiarkannya datang, ia hampir membuat kakaknya kecewa.

"Kakak, Shasi pasti datang, Ka! Shasi pasti datang!" Dia terus berlari, keluar dari komplek rumahnya dan memberhentikan sebuah taksi yang lewat di depannya. Taksi pun berhenti dan Shasi masuk ke dalam.

"Ke mana, Neng?" Sang sopir taksi bertanya. Shasi yang sedang cemas dan gelisah lantas saja langsung menyebutkan alamat yang ingin ditujunya dan setelahnya taksi pun melaju, membawanya ke tempat penting itu.

"Cepat sedikit, ya, Pak! Saya buru-buru!" Shasi mengatakan itu dengan raut gelisah yang tidak berkurang sedikit pun di wajahnya.

"Iya, Neng!" Si sopir taksi mengiyakan sembari terus melajukan stir kemudinya. Berpikir kalau penumpangnya mungkin sedang terburu-buru sehingga menambah kecepatan laju kemudinya.

Sambil menunggu dan berharap taksi ini akan cepat sampai, pikiran Shasi tampak tertuju pada kakaknya. Berselingan dengan mamahnya yang juga ikut masuk kedalam pikirannya.

"Si, kok Kakak gugup, Ya!"

Saat itu selepas pulang dari boutique dan sesudah fitting baju pernikah kakaknya mengatakan itu padanya, di dalam kamarnya dan Shasi sedang menemani Fiera merapihkan segala keperluan pernikahan.

Shasi yang sedang duduk di samping tempat tidur kakaknya menatap Fiera dengan pandangan heran."Gugup kenapa, Ka?" tanyanya sembari mendekat.

Fiera menggeleng. "Enggak tahu, Dek!" Fiera mengambil boneka beruang pink pemberian Revand lantas memeluknya. "Mungkin karena sebentar lagi Kakak mau menikah." Dia mengutarakan kegugupannya.

Saat itu Shasi hanya membalasnya dengan senyuman, walau hatinya merasa sakit, demi kakaknya ia juga harus bahagia. "Jangan gugup, santai saja. Ini biasa dialami oleh gadis-gadis menjelang pernikahan, Ka." Shasi menenangkan sembari mengusap lengan Fiera. "Kakak relaks saja."

Tapi tetap tidak membuat kakaknya tenang. Dia malah mengambil tangan Shasi dan menggenggamnya. "Kamu harus menemani kakak nanti biar kakak enggak gugup!" pinta Fiera dengan mimik wajah memelas. "Pokoknya saat ijab kabul nanti kamu harus selalu ada di samping Kakak, Si!" tambahnya lagi.

Shasi yang saat itu tak tahu kalau keinginan kakaknya tak mendapatkan penghalang, mengiyakan. "Aku pasti akan menemani Kakak!" janji Shasi saat itu. Tanpa tahu kalau satu hari sebelum hari H mama menahannya untuk tidak mengacaukan pernikahan kakaknya.

"Saya enggak mau besok kamu datang diacara pernikahan anak saya."

Shasi yang baru saja keluar dari kamar Fiera dikejutkan dengan suara mama yang tahu-tahu sudah berada di depannya. Mama tampak menatap tajam kepadanya. Seperti biasa, aura permusuhan lengkap dengan tatapan kebenciannya itu terpancar di matanya.

Shasi sudah biasa dipandang seperti itu. Tapi sebiasa apa pun dia, dia tetaplah seorang anak yang menginginkan kasih sayang dari perempuan di depannya. "T-api, Ma, Shasi sudah janji kalau Shasi akan menemani Kakak besok."

"Persetan dengan janji itu, saya tidak peduli. Yang saya mau besok kamu tidak datang atau saya akan buat kamu lebih menderita lagi!" Mama malah mengancamnya, tatapan itu semakin menajam.

Membuat Shasi tidak berani menatap mama. Dia menunduk, meremas kedua jemarinya. Memang hanya itu yang selalu dilakukannya setiap kali mama mengutarakan kebenciannya.

"Tapi Shasi harus datang, Ma. Shasi enggak mau buat kakak kecewa." Shasi memelas, setengah memohon.

"Turuti apa yang saya katakan atau saya akan memisahkan kamu dengan putri saya!" Mama yang tahu kelemahannya kembali memberikan ancaman. Kali ini dengan membawa-bawa Feira.

Mendengar itu napas Shasi sekan terhenti. Oksigen di seketirnya menipis dan jantungnya berdetak tidak stabil. "Jangan, Mah!" Shasi menggeleng, "Jangan pisahkan Shasi dengan Kakak." Shasi tidak tahu bagaimana hidupnya tanpa kakak. Seorang yang dengan tulus menyayanginya dan menerima dirinya, jelas ia tak bisa jika dipisahkan dengan Fiera.

Mama Sisi tertawa sinis penuh kemenangan. Menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya angkuh. Ia mulai berjalan mengitari Sisi seraya berbisik, "Kalau begitu ikutin apa yang saya katakan tadi jika kamu tidak ingin berpisah dari Feira!"

Shasi menarik napas sedalam-dalamnya. Tidak menjawab ancaman mamah dan malah berlalu begitu saja.

Esok harinya ketika Shasi sedang bersiap-siap untuk ikut kakaknya ke acara ijab kabul, ia dihentikan oleh mama yang berdiri di depan pintu kamarnya. "Mau apa kamu, rapih-rapih begitu?"

Shasi menundukkan kepala. "Shasi mau datang ke acara kakak, Ma." Dengan gugup ia menjawab, berharap mama melupakan larangannya dan mengizinkannya ikut dengan mereka.

Tapi yang diharapkan Shasi justru tak sama sekali berbuah manis. "Apa kamu bilang?" Mama mendekat, menarik tangan Shasi dan mencengramnya. "Kamu mau ikut ke sana?" Kemudian menariknya.

"Selama masih ada saya, jangan harap kamu bisa datang ke sana!"

"M-ama sakit!" Shasi meringis karena cengkraman itu, ia berusaha melepaskan diri, tapi mama justru semakin mengencangkan cengkramannya.

"Jangan pernah bilang kalau saya tidak pernah mengingatkanmu sebelumnya! Kamu yang meminta saya berbuat seperti ini, maka jangan salah kan saya kalau saya harus bersikap kasar terhadapmu." Mama menyeretnya, menjauhi kamar dan menariknya menuruni tangga dengan hati-hati. Tidak mau membuat keributan dan membangunkan Fiera.

Mama membawanya keluar melalui pintu depan untuk ke halaman samping rumah. Shasi yang tahu akan dibawa ke mana dirinya mulai meronta. "Ma, lepaskan Shasi, Ma. Lepaskan!"

"Masuk dan diam di situ sampai pernikahan anakku selesai." Mama mendorongnya ke dalam gudang.

"Jangan, Ma! jangan kurung Shasi di sini, Ma!" Shasi memohon, meraih kaki mama dan memeluknya. "Shasi enggak mau di sini, Ma. Enggak mau!" Shasi mulai menangis.

Mama malah menggerakan kakinya kuat-kuat, menepis tangan Shasi yang memeluknya. "Nikmati hidupmu di dalam gudang anak haram!" serunya, lekas menutup pintu itu dan menguncinya, membiarkan Shasi menangis dan meraung-raung.

"Ma! Mama! Buka pintunya, Ma! Buka! Jangan kurung Shasi di sini, Mah!" teriaknya ketakutan sembari menggedor pintu. Berharap mama membuka pintu itu. Namun hingga suaranya habis dan tangannya memerah mama tak kunjung membukakan pintu.

"Sepertinya macet total, Neng."

Shasi tersadar dari lamunannya saat mendengar suara sang sopir taksi.

Menatap ke jendela mobil Shasi memperhatikan kemacetan di luar sana. Menggigit buku jarinya perasaannya semakin gelisah. Beberapa menit lagi kakaknya akan melakukan ijab kabul tapi ia justru malah terjebak kemacetan di dalam taksi yang ia tumpangi.

"Kenapa bisa macet, ya, Pak?" tanyanya kepada sang sopir taksi sambil berkali-kali menatap jam di pergelanga  tangannya.

"Sepertinya sedang ada razia besar-besaran, Neng!" kata si sopir taksi setelah melihat keadaan sekitar dan menemukan beberapa polisi sedang melakukan razia dengan memberhentikan pengendara motor yang tidak menggunakan helm.

"Tempatnya sudah dekat, kan, Pak?" Shasi memastikan jarak tempat kakaknya ijab kabul tak begitu jauh dari tempatnya ini. Ia sudah tak bisa menunggu lagi atau ia akan terlambat.

"Iya, Neng, hanya tinggal beberapa meter lagi dari sini," jelas sang sopir taksi sambil menjalankan kemudinya sedikit demi sedikit, berusaha melawan kemacetannya.

"Kalau begitu saya turun di sini saja Pak!" Shasi membuka tas selempangnya, mengambil beberapa lembar uang untuk membayar taksi.

"Ini, Pak, Makasih ya, Pak," katanya lalu membuka pintu mobil.

Terik matahari yang membakar kulitnya tak lagi Shasi pedulikan. Ia tetap berlari menyusuri trotoar jalan raya dengan menggunakan sepatu hak tinggi juga gaun pemberian kakaknya. Setiap orang yang dilewatinya pasti akan memandang aneh padanya, tapi Shasi tidak ambil pusing. Pikirannya hanya satu, ia harus cepat sampai tepat waktu.

Sedikit lagi. Pikirnya. Shasi merasa lelah, napasnya sudah memburu, saling bersautan. Namun Shasi tidak ingin menyerah. "Ayo, Si, sedikit lagi!" Shasi menyemangati dirinya sendiri. Tinggal satu belokan lagi dan ia akan sampai.

Segala perjuangannya seakan membuahkan hasil saat di sisi jalan raya ia melihat keberadaan kakaknya yang berlari keluar dari masjid tempat acar di langsungkan.

"Kakak!" Shasi melambaikan tangannya, berharap kakaknya mampu mendengar suaranya. Di sebrang jalan, tepat di depan pagar masjid Fiera sedang celingukan, mencari-cari sesuatu. Dan Shasi tahu kalau kakaknya sedang mencari dirinya. Akhirnya dengan semangat yang muncul dalam dirinya karena melihat Fiera yang menunggunya Shasi berlari cepat.

"Kakak ... " teriak Shasi, dengan pandangan terus terpusat pada kakaknya ia hendak menyebrang jalan. Saat itu pandangannya bertemu dengan kakaknya.

"Shasi ... " teriak Fiera, melambaikan tangan. Senyum bahagia terukir di bibirnya saat melihat Shasi di seberang jalan. Adiknya yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga.

Namun secepat senyum itu terbit secepat itu pula senyum itu menghilang saat melihat sebuah mobil melaju kencang ke arah Shasi yang tak memperhatikan jalan.

Pandangan Fiera melebar, jantungnya mendadak terhenti saat rasa cemas itu datang, juga darahnya seakan tidak mengalir ketika rasa takut menguasainya.

"Shasi awas!!" Teriaknya sambil memberi isyarat dengan lambaian tangannya agar Shasi menyingkir, namun Shasi tak sama sekali mengerti dengan kode yang diberikan oleh Fiera.
Adiknya masih tersenyum dan melangkah di tengah jalan dengan tatapan tertuju ke arahnya.

"Kakak ... "

Tinnnnn!

Suara klakson panjang itu menyadarkan Shasil kalau bahaya ada di depan mata. Saat melihat mobil melaju cepat ke arahnya Shasi tersentak, jantungnya nyaris lepas dari tempatnya. Sekujur tubuhnya terasa mati rasa, sulit digerakan. "Arghhhhh ... " Shasi menutup mata. Pasrah kalau mobil itu menabraknya.

"Shasi ... "

Tanpa Shasi sadari Fiera telah berlari kencang ke arahnya lalu dalam sekejap Shasi tidak merasakan mobil menghantamnya selain tubuhnya di dorong ke sisi jalan. Sisi membuka mata dan menoleh cepat ke sekeliling, saat pandangannya melihat Fiera
melihat Fiera yang terpental jauh di depannya sekujur tubuh Shasi gemetar.

"K-akak." Ia histeris, jantungnya berhenti berdetak, sekujur tubuhnya terasa lemas melihat tubuh dengan kebaya putih itu sudah dilumuri oleh darah dari kepala mulut sampai hidung. Kebaya putih itu bahkan sudah kotor oleh darah.

"K-kakak!" Dengan tubuh mengigil ia tertatih mendekati tubuh Fiera yang sudah tergolek di tengah jalan.

Bersamaan dengan itu papa, mama dan pengantin pria berlari kearah Shasi yang sudah memangku kepala Fiera.

"K-akak." Tangan Shasi yang gemetar mengusap darah di pelipis Fiera. Di tengah melakukan itu air matanya mengalir. "K-enapa kakak mengorbankan diri kakak buat Shasi?"

"Kamu ... enggak ter... luka, kan, Dek?"
Tubuhnya sudah dipenuhi oleh darah, napasnya bahkan sudah terasa sesak tapi Fiera masih saja mengkhawatirkan adiknya.

Feira dengan suaranya yang terputus-putus mengarahkan tangannya yang berlumuran darah untuk menghapus air mata Shasi sembari menggelengkan lemah. "Kakak ... enggak apa-apa, Dek!" Darah semakin banyak keluar dari mulut Feira, tapi ia masih saja menenangkan Shasi yang menangis. "Ka-mu,  ja-ngan me-na-ngis."

Shasil menggelang. Bagaimana ia tidak menangis melihat keadaan kakaknya. "Kakak terluka!" Oksigen di paru-parunya berkurang. "Kakak terluka karena aku!"

Mama, papa dan Revand yang melihat kejadian saat Fiera mendorong Shasi diliputi oleh perasaan campur aduk. Revand dengan ketakutannya, mamanya dengan ketakutan bercampur kemarahannya, serta papa yang hanya diam, namun diam-diam merasa takut juga cemas melihat kondisi Fiera.

"Kakak harus bertahan, kakak enggak boleh kenapa-kenapa!" Air mata Shasi kian deras saat melihat kondisi Fiera semakin melemah. "Kak-" kalimatnya terpotong karena pengantin pria mengambil alih tubuh kakaknya.

Melihat calon istrinya dalam keadaan bersimbah darah, pria itu diliputi oleh rasa takut. "S-ayang ... " Revand mendekap tubuh Fiera dengan tubuh gemetar. "Bertahanlah, Sayang! Bertahanlah! Aku akan membawamu ke rumah sakit dan semuanya akan baik-baik saja," ucap Revand lirih sambil mengusap kepala Feira yang tak hentinya mengeluarkan darah.

Revand sedang ketakutan, tapi Fiera masih bisa-bisanya tersenyum seraya menggeleng. "Kamu kuat, kamu harus bertahan! Kita akan menikah!" katanya saat dilihatnya napas Fiera semakin pendek.

Fiera menarik napasnya yang terputus-putus, ia berusaha menggenggam tangan pria yang dicintainya. "A-ku, a-pa aku boleh me-minta se-su-atu?" tanyanya sambil mengatur napasnya.

Revand menggeleng, namun Fiera tetap melanjutkan. "Ku--mo-hon un-tuk yang ter-akhir ka-linya." Fiera memohon dan Revand yang tak punya pilihan akhirnya mengangguk.

Dengan sisa tenaganya Fiera berusaha meraih tangan adiknya yang menangis di samping Revand, lantas meletakan tangan itu di atas punggung tangan calon suaminya.

"Me-nikahlah dengan adik-ku! Biarkan dia menggantikan a-ku di da-lam ha-timu! Ci-ntai dan sa-yangi Sh-asi!" pinta Feira di sisa napas terakhirnya.

Revand menggeleng, menarik tangannya dari genggaman Feira.
"Enggak, Sayang! Enggak! Aku enggak bisa!" Revand menolak tegas. "Aku enggak bisa menikahi adikmu. Cuma kamu yang aku inginkan menjadi istriku! Cuma kamu, Sayang!"

"Sa-yang," Feira meremas tangan Revand, kali ini menatapnya penuh permohonan. "Lakukanlah jika kamu mencintai-ku!"

"Please, Say-ang! Ku-mohon ... "

Tangan Feira yang mengenggam tangan Revand terlepas, seiring dengan berakhirnya permintaannya itu Fiera menutup matanya dan menghembuskan napas terakhir. Disambut dengan suara histeris mama dan tangisan Shasi yang ditinggal oleh Fiera untuk selama-lamanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro