10. Peanut Butter Cheesecake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(Sepertinya aku tidak bisa jauh darimu)

Mataku menyusuri kegelapan dengan bias cahaya lampu menyinari, membentuk taman indah yang tidak terjangkau. Jemariku menyentuh kaca yang dingin dan membuat pola-pola abstrak. Sambil menghela napas sekali lagi, aku memeluk kaki dan terus memandang ke luar jendela.

"La? Mau cokelat hangat?" Aku menoleh dan menatap Ray yang berdiri di ambang pintu dengan dua buah mug.

"Boleh," sahutku pelan dan Ray masuk ke dalam kamarku. Kamar tamu lebih tepatnya, karena aku sedang menumpang di apartemen Ray dalam batas waktu yang tidak ditentukan. Kale nyaris frustasi ketika mendengar sahabatku memberitahunya, tapi dia mengerti dan akan datang ke sini setelah kondisi rumah memungkinkan.

"Lo akan baik-baik aja, La." Itu pernyataan, bukan pertanyaan. Seolah-olah Ray mengumumkan bahwa apa pun yang terjadi aku akan baik-baik saja. Suatu kondisi yang entah bagaimana membuat perasaanku tidak menentu. Ingatannya melayang pada kejadian tadi.

🍰

Selama bertahun-tahun berteman dengan Ray, dia jarang sekali marah atau bertahan diam lebih dari dua jam. Dia suka sekali menjahili dan menggodaku. Hanya satu tempat yang membuatnya serius, saat di kantor. Harus kuakui, Ray sangat profesional. Meskipun tidak pernah memarahi secara langsung, dia pernah menegur jika ada pekerjaanku yang salah atau kurang maksimal.

Maka, ketika dia terdiam selama perjalanan atau pertunjukan, itu adalah hal yang baru dalam hubungan kami. Ketika rehat pergantian babak, kucolek tangan laki-laki itu. Dia hanya melirik, melihat Soka yang duduk dengan nyaman di sampingku lalu mendengkus.

"Kenapa sih lo?" bisikku.

"Nggak kenapa-kenapa."

"Lo aneh, Ray." Sambil mengerutkan kening, aku melihatnya membuang muka.

Di sampingku, Soka mengajakku bicara. Dia bertanya tentang cerita dalam pertunjukan. Untuk sesaat, aku melupakan masalah Ray dan bercerita dengan nada pelan pada Soka. Selesai pertunjukan, aku membawa bunga dan menyerahkannya pada Caramel yang berseri-seri menerimanya.

"Kamu cantik banget, Illa," ucap kembaranku berseri-seri.

Sesudah pertunjukan, Caramel mengajak kami semua makan malam termasuk Soka dan Maple. Mereka berdua tadinya sungkan dan ingin langsung pulang, namun Caramel memaksa. Kami menunggu kembaranku yang sedang mengganti pakaian tarinya.

Aku terpana saat melihatnya keluar dari ruang ganti. Bukan karena dia terlihat cantik dengan rambut wave indah dan make-up natural, tapi dia memakai baju yang sama denganku. Awalnya aku tidak ingin membuat keributan, namun saat kami melangkah menuju tempat makan, banyak orang yang memperhatikan kami.

Sedari kecil aku selalu tidak suka pada perhatian orang lain karena itu aku selalu mencoba berbagai cara agar Mande tidak memakaikan baju yang sama pada kami. Pernah pada satu waktu saat kami masih kecil, aku dan Caramel terpaksa memakai baju sama. Di mall, banyak orang yang memegang pipiku dan sedikit mencubit, membuatku gemetar ketakutan. Aku benci dipegang-pegang orang lain. Seseorang bahkan pernah mengelus punggung dan membuatku menjerit lalu menangis seketika.

Maka ketika kami keluar dan menuju tempat makan, ingatan buruk kembali datang. Apalagi ketika melihat orang-orang menoleh dan memperhatikan. Tanpa sadar kakiku gemetaran. Ray meraih tanganku untuk menenangkan.

"It's okay, Illa. Ada gue, tenang aja."

Aku nyaris menangis ketika memasuki restoran dan separuh pengunjung memperhatikanku, juga Caramel. "I hate this."

"Duduk di sampingku, La." Caramel menepuk tempat duduk di sampingnya. Aku terpaksa duduk dengan wajah kaku.

"Lo sengaja ya, Ra? Pakai baju samaan? Lo tahu kan kalau gue nggak suka kaya gini?" desisku pada Caramel yang langsung membulatkan matanya. Belum sempat dia bicara, aku sudah berdiri, mengucapkan kalau tidak enak badan dan akan pulang duluan.

Ray seakan sudah tahu apa yang akan terjadi, karena seingatku dia langsung berdiri dan menggandengku keluar. Dia menelepon Kale, menjelaskan secara singkat apa yang terjadi lalu membawaku ke apartemennya karena aku menolak pulang.

Jadi, di sinilah aku berada. Menatap lampu-lampu dari kamar tamu apartemen Ray. Laki-laki itu ikut duduk di sampingku, menghirup cokelat dari mugnya sendiri. Kami berdua tenggelam dalam keheningan. Namun entah kenapa, kehadirannya membuatku nyaman.

"I ruin everything. Ara will be mad," keluhku pelan.

Ray mengacak rambutku lalu tangannya melingkar di bahu. "No, sweetie pie. Lo cuma trauma dan itu bikin lo ketakutan. Ara pasti ngerti."

Aku tidak yakin dengan ini, kembaranku itu tidak tahu apa-apa yang kurasakan. Seperti biasa hanya Ray yang tahu. Kuperhatikan sahabatku yang masih memandang ke luar jendela. Tatapan matanya juga membawa luka. Kami berbagi kepedihan bersama, entah bagaimana hidupku tanpanya.

"Kenapa lo liat-liat gue? Ganteng, ya?" Ray menaikkan sebelah alis matanya menggodaku.

"You wish!" seruku sambil tertawa-tawa.

Tiba-tiba tangannya menyentuh lukaku dan mengusapnya. Sepertinya dia masih merasa bersalah. Tatapan matanya jatuh padaku dan sebelum sadar, dahi kami sudah saling menempel.

"Gue nggak tahu harus gimana kalau lo jauh, La." Ucapannya membuatku tertegun lalu tertawa kecil sambil menjauhkan diri darinya.

"Kenapa ketawa?"

"Karena gue juga mikir hal yang sama Ray. Lo itu kaya Peanut Butter Cheesecake. Enak deh pokoknya" Dia tersenyum kecil, menjitak dahi dan mengacak rambutku.

"Mikirin makan mulu! Habiskan cokelatnya, sikat gigi lalu tidur." Sambil berdecak, kuturuti ucapannya. Ray bisa sebawel Kale kalau sudah bertitah.

Dia datang ke kamarku lagi untuk mengecek kondisiku, memperbaiki selimut lalu menanyakan apakah lukaku masih terasa nyeri atau tidak. Aku tertawa melihat sikapnya yang berlebihan ini.

"Gue baik-baik aja, Ray."

"Hati lo baik-baik aja, La?" Pertanyaan ini membuatku kembali teringat kejadian sebelumnya. Ray menghela napas. Dia mengelus puncak kepalaku.

"Caramel itu sayang sama lo, Vanilla. Semua sayang sama lo. Nggak apa-apa lo di sini sehari, dua hari tapi abis gitu lo harus pulang. Kasihan Mande, dia pasti khawatir walaupun tahu kalau ada gue lo pasti aman. Kecuali ...."

"Kecuali apa?" Ray belum pernah sekalipun menceramahiku sepanjang ini.

"Kecuali lo emang mau tinggal bareng gue."

"Eh kutukupret, lo ngarep aja dari tadi. Gue kan tadi izin dua malam. Jadi lusa baru gue pulang ke rumah."

Ray kembali tersenyum lalu berdiri dan mematikan lampu. Pintu hampir menutup saat aku tiba-tiba teringat. "Ray, thanks for everything. You're the best buddy I've ever had."

"I am. Night, Princess. Jangan lupa nggak ada yang gratis ya?"

Crap! Kantukku langsung hilang begitu mendengar ucapan terakhirnya. Maksudnya itu apa? Belum sempat aku bertanya, dia sudah menutup pintu dan bersenandung menuju kamarnya sendiri.

Mataku terbuka dalam kegelapan. Maksud si Ray itu apa sih? Apa dia mau mencoba aku menjadi tukang masaknya untuk bayar sewa kamar dua malam? Tapi kan kemampuan masakku minus 100 alias setiap masak gagal total. Penasaran, aku turun dari tempat tidur dan membuka kamar. Penerangan di apartemen sudah dimatikan sebagian. Aku berjingkat-jingkat menuju kamar sahabatku dan langsung membukanya tanpa mengetuk. Lalu seketika itu menjerit.

"Oh My God! Vanilla!" Teriakan Ray masih kalah dengan jeritan shock-ku.

🍰🍰🍰

Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Apa Vanilla kejatuhan cicak lagi?

Besok yaaaa lanjutannya.

A lot of cheezy love,

Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro