9. Matcha Hokkaido Cheesecake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(Jika suatu saat nanti takdir memisahkan kita, siapkah kamu?)

Kale menatapku dengan pandangan bersalah yang tidak kuhiraukan karena kepalaku terus berdenyut kencang. "La."

"Stop it! Kepala gue sakit." Mencoba mengabaikan denyut nyeri, aku berdiri dan mencari cermin lalu langsung mengeluh.

Gara-gara terkena ujung meja, aku harus mendapat dua jahitan di sudut dahi. Untungnya luka ini bisa ditutupi poni. Kalau tidak, bagaimana aku bisa datang ke pertunjukan Caramel nanti?

Terdengar derit pintu dan wajah Ray tersembul. Dia tampak lebih merana dibanding Kale. Tadi, saat aku tersungkur dan tidak mampu berdiri, dia masih tertawa-tawa lalu langsung panik saat melihat darah membasahi wajahku. Akhirnya malam-malam kami ke dokter dan malah Ray yang menginap di rumahku.

"Sorry, honey. Gue yang salah."

Aku mendesah melihat dua manusia jangkung yang berdiri seperti kucing minta dikasih makan. Tadi waktu pulang, Caramel juga heboh. Seperti biasa dia bisa merasakan firasat bahwa terjadi sesuatu padaku. Namun setelah melihatku bisa berjalan dengan normal, kakakku itu langsung tidur. Hanya saja, sebelum tidur dia sempat mengamuk pada Kale dan Ray.

"La?"

"Iya iya gue maafin kalian berdua. Udah deh, kalian tidur aja sana. Gue pusing," kataku sambil berbaring.

Ray langsung melompat ke tepi tempat tidur dan menyelimutiku. Aku mengernyit, laki-laki itu tumben bersikap lembut. Mungkin dia merasa bersalah.

"Sorry, sunshine. Sleep tight." Hal terakhir yang kurasakan sebelum tenggelam ke alam mimpi adalah belaian tangan Ray.

Aku terbangun saat merasa tenggorokan kering dan merasakan beban di tangan kiri. Saat menengok, hampir saja jeritan keluar. Ada seonggok rambut di tanganku, lalu kusadari itu adalah Ray. Manusia itu tidur di pinggir tempat tidur, menindih tanganku.

Wajah yang biasanya iseng itu terlihat tenang. Bulu matanya panjang dengan alis tebal. Hidung mancung dan bibir penuh yang seksi. Aku mengerjapkan mata, mencoba mengusir pikiran aneh. Ini kan Ray, sahabatku selama bertahun-tahun.

Dia menggeliat lalu perlahan membuka mata dan jantungku berdegup kencang. "Illa ... are you okay?"

Oh, my! Suara seraknya kenapa jadi seksi begini? Aku menggelengkan kepala, mengenyahkan semua pikiran kotor. Lalu terdengar pertanyaan, "La, kenapa detak jantung lo semakin cepat?"

Segera saja prosesor di otak bekerja keras mencari alasan ssat melihat Ray memegang pergelangan tanganku tepat di nadi. "Oh, kayanya itu karena semalaman lo tindihin jadi sekarang darahnya ngalir. Eh, ngapain lo di sini?"

"Gue takut lo demam atau apa gitu." Sahabatku menguap dan merenggangkan tubuhnya. Terdengar gemeretak yang membuatku meringis. Dia pasti pegal bukan main.

Ketukan di pintu mengalihkan perhatianku. Mande masuk bersama dengan angin ribut berbentuk Caramel. Kembaranku itu sibuk mengecek kondisi sambil terus bicara. Katanya tadi malam dia bermimpi lukaku semakin parah. Aku tertawa mendengar ucapan konyol itu. Memang masih agak sakit, tapi setelah minum pereda nyeri, pasti akan berkurang.

Setelah memastikan kondisiku membaik, Ray turun untuk mandi dan sarapan. Caramel masih tinggal di kamarku untuk mengobrol.

"Kamu yakin nggak ada hubungan apa-apa sama Ray?" tanyanya menyelidik sementara aku hanya tertawa.

"Kamu harus tahu, Illa. Semalaman dia nggak bergerak untuk menjagamu. Kupikir itu tandanya dia mencintaimu," kata Caramel lagi yang membuatku tertawa.

"Ara, Ray itu takut sama komitmen."

"Takut sama komitmen bukan berarti dia nggak bisa mencintai Illa. Lagipula cinta itu bukan semata diucapkan tapi juga diungkapkan lewat perbuatan." Kalimat kembaranku sukses membungkam semua pikiran yang berseliweran.

"Ah, itu perasaan lo aja, Ra." Caramel mendengkus.

"Kalau gitu, gue boleh ya deketin dia?" Mataku membelalak kaget. Tidak sanggup berpikir atau bicara.

"Dia kan cakep, La. Walaupun setengah gila, tapi dia jujur dan pekerja keras. Aku suka cowok model gitu."

Percakapan ini mulai membuat kepalaku berdenyut-denyut lagi. Kupejamkan mata tepat saat Ray masuk tanpa aba-aba mencari ponselnya yang tertinggal. Dia melihatku memejamkan mata dan bertanya dengan nada khawatir, "Illa nggak apa-apa tuh, Ra? La? Kepala lo tambah sakit? Mau cek ke dokter dulu?"

"Gue nggak apa-apa. Udah lo berangkat kerja aja."

"Gue nggak kerja. Izin buat jagain lo. Pasti nanti lo juga tetep mau pergi ke acaranya Ara, kan?"

Baru kali ini Ray tidak masuk kerja selain sakit, saudara-saudara! Seperti Caramel bilang, laki-laki itu tipe pekerja keras yang lebih suka berada di kantor daripada rumah. Namun harus kuakui, adanya Ray membuat sakit teralihkan. Dia dan Mande mengobrol, bercanda dan masak berdua. Aku senang melihat dan mendengar interaksi mereka.

Menjelang siang, saat aku masih tidur-tiduran di sofa bermalas-malasan, terdengar dering bel. Ray beranjak sambil berseru pada Mande kalau dia saja yang membukakan pintu. Aku sendiri sedang malas bergerak, mengantuk setelah minum obat siang.

"Haiii, Kak Ray!" Nyaris terlonjak aku mendengar suara itu. Maple tertawa melihat Ray yang terkejut lalu melenggang dengan santai ke dalam rumah.

"Hai, Mande!" seru anak itu pada ibuku yang tertawa senang. Sudah lama sekali sejak terakhir kali adik kelasku itu main ke rumah.

Ray masih belum beranjak dari pintu. Dia sepertinya sedang berbicara dengan seseorang. Tanpa kuduga, Soka melangkah masuk bersama sahabatku yang berjalan dengan raut tidak terbaca. Maple mengenalkan kakaknya pada Mande lalu berjalan ke arahku.

"Kak Illa nggak apa-apa?" Aku tersenyum canggung pada anak itu.

"Hai, La." Soka menurunkan wajahnya dan menciumku di kedua pipi yang memerah karena kaget.

"Aku tadi meeting ke DNA, kata Mas Bas kamu terluka. Nggak apa-apa?" Nada suaranya yang lembut terdengar khawatir. Tangannya menyentuh lukaku perlahan. Kuanggukkan kepala, masih tidak mengerti kenapa dia mendadak bikin aku baper?

"Sedikit pusing. Tapi dikasih pain killer, kok." Dia tersenyum dan kakiku berubah lagi jadi jeli.

"Aku bawa oleh-oleh kesukaanmu." Masih tersenyum lebar, Soka menunjukkan paperbag berlogo Cheeze Bakehouse. Aku tertawa senang melihatnya. Apalagi saat membuka kotak yang berisi salah satu signature toko berupa Matcha Hokkaido Cheesecake. Begitu melihat kue itu, rasanya air liurku menitik, membayangkan pahit dan manis matcha dalam kelembutan Cheesecake.

Suasana rumah semakin ramai. Kulirik Ray yang duduk di sudut sambil memainkan ponselnya, tampak berpikir. Iseng kuambil ponsel dan mengirim pesan padanya.

[Vanilla]: Tumben diem. Abis minum obat ya, Bang?

[Rayferine]: Oh, masih inget gue?

[Vanilla]: Lo kenapa sih? Lagi PMS?

[Rayferine]: La ... gue kayanya nggak suka sama si keju.

[Vanilla]: Dih, jahat banget anak orang dikata-katain. Client tuh.

[Rayferine]: Lo suka ya sama dia?

[Vanilla]: Bisa gila, lo!

"Kamu ngapain, La?" tanya Soka.

"Lagi ngetik," jawabku sementara dia mengernyitkan dahi kebingungan.

Ray tiba-tiba berdiri lalu beranjak ke lantai dua. "Gue mau tidur dulu ya. Tadi malem begadang. Nanti bangunin dua jam sebelum waktunya jalan ya, La?"

Aku mengangguk sambil mengacungkan jempol padanya. Mande kembali ke dapur, mau mengecek kue yang barusan dipanggangnya ditemani Maple.

"Dia dekat banget ya sama keluarga kamu?"

"Iya. Ray udah dianggap anak sendiri sama Mande. Lumayan jadi Kale nggak perlu jadi bapak rumah tangga tunggal." Aku tertawa sambil makan cheesecake. Soka memandangku bingung.

"Ayahku udah meninggal sekitar lima tahun lalu. Waktu itu Kale baru lulus kuliah. Ray bantuin dia ngurus rumah segala macam."

"Sorry."

"No problem. Udah lama juga," kataku pelan sambil memainkan sendok.

Soka menanyai acaraku nanti malam. Ketika kukatakan ingin menonton pertunjukan Caramel, dia tertawa.

"Aku baru mau mengajakmu ke sana. Maple dapat tiket dari temannya. Dia sendiri malas, tapi kalau tahu kamu pergi, mungkin dia mau ikut. Jadi Caramel itu saudara kembarmu?" Kuanggukkan kepala, menunggu komentarnya kalau kami terlihat berbeda. Betapa leganya ketika kata-kata itu tidak terdengar.

Seperti yang Soka duga, Maple langsung mau datang saat mendengar aku juga datang. Dia sibuk menelepon dan tidak berapa lama, sebuah jasa pengiriman online datang. Rupanya dia menelepon orang di rumah supaya bisa mengirim baju dan perlengkapan lainnya.

Dua jam sebelum berangkat, aku naik ke lantai atas, berniat membangunkan Ray. Kupikir dia ada di kamar Kale, ternyata sedang meringkuk di atas ranjangku. Badannya yang panjang nyaris melampaui tempat tidur, membuatku terkikik geli.

"Ray, bangun." Kucolek pipinya. Dia hanya bergumam lalu mengganti posisi tidur.

"My dear Rayferine." Matanya membuka perlahan, menatapku dengan pandangan dalam dan aku kembali merasakan jantung yang berdegup kencang.

"Illa?" Suaranya serak. Aku buru-buru berdiri untuk menghilangkan rasa gugup yang mendadak datang lalu menyuruhnya untuk mandi. Dia berdiri sambil mengomel karena katanya aku tega sekali membangunkannya hanya untuk mandi. Sebagai hadiah, kuberikan cubitan di pinggang yang langsung membuatnya nurut masuk ke kamar mandi.

Maple membantuku berdandan. Dia menata rambutku agar lukanya semakin tidak terlihat. Untunglah ada dia! Aku nyaris tidak bisa membedakan mana blush on, mana eyeshadow. Tidak ada nama di kotak, seharusnya produsen make-up kasih tulisan besar-besar buat orang yang gagap dandan sepertiku. Ketika turun tangga, Ray sedang mengobrol dengan Soka dan bersandar di samping buffet. Senang juga melihat dua laki-laki tampan itu memandangku takjub.

"You look so awesome, my dear Illa." Ray menoleh kaget saat mendengar ucapan Soka. Dia menatap dengan pandangan aneh saat menyadari pipiku yang memerah.

"Illa selalu cantik pakai baju apa saja. Ya kan, Mande?" tanya Ray pada ibuku yang baru saja keluar dari kamarnya dan menganggukkan kepala berseri-seri menatapku.

"Mande terharu kamu pakai gaun, mau dandan. Cantik banget, La." Mata ibuku mulai berkaca-kaca terharu. Sebelum drama Tersanjung 13 dimulai, terdengar klakson mobil Kale. Tiba-tiba Ray menggandeng tanganku.

"Kita naik mobil Kale. Ketemu di sana ya Soka, Apel," katanya tanpa bisa dibantah dan langsung saja setengah menyeretku menuju mobil Kale.

"Illa, I don't like he looked at you like that," gerutunya masih dengan berjalan cepat seperti induk ayam yang sedang melindungi anaknya.

Aku tertawa mendengar gerutuannya. "Nanti kalau gue nikah, ya lo harus ikhlas dong, Ray." Dia terlihat sangat kaget mendengar ucapanku lalu terdiam. Mungkin tidak menduga kalimat itu akan keluar dari bibirku.

🍰🍰🍰

Malaaammm ...

Hemm Babang Soka udah mulai ngegas nih pedekatenya. Sampai dateng ke rumah bawa makanan kesukaan Vanilla.

Terus gimana ya Ray?

Yang pasti sih, kita masih terus menikmati cheesecake yaaaaa ... 😁😁


A lot of cheezy love,

Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro