8. Decadent Dark Chocolate Cheesecake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(Kita semua memiliki masa lalu, pahit ataupun manis. Tugas kita adalah berjalan maju dengan pilihan membawa yang manis atau menanggalkan kepahitan)

Soka mendatangiku di ruang kerja sebelum meeting dimulai. Seperti biasa dia tampak tampan meskipun hanya memakai jeans, polo shirt dan sepatu boot. Aku sedang menutup laptop saat dia datang.

"Kamu sakit, La?" tanyanya langsung.

"Iya. Tapi udah mendingan." Suaraku masih serak dan tidak bisa bicara panjang, Sesekali aku terbatuk.

"Ray di rumah kamu kemarin?" Kuanggukkan kepala lalu memakai masker.

"Babysit me. Semua pada pergi dan aku demam jadi dia bantu jagain." Dia menatapku tajam tapi tidak berkata apa-apa hanya meletakkan tangannya di dahi. Mendadak kakiku seperti jeli. Kenapa sih nih orang datang-datang bikin baper?

"Nanti siang makan bareng ya, La? Kemarin kan kamu langsung pergi gitu aja." Wajahku merona, merasa malu karena waktu itu langsung pergi tanpa basa-basi. Kuanggukkan kepala, anggap saja ini sebagai permintaan maaf.

Ray mengernyitkan dahi ketika aku masuk bersama Soka. Dia sedang bicara dengan Mas Bas, creative director kami untuk penjelasan tentang konsep iklan yang dibutuhkan. Soka duduk di sampingku kemudian meeting dimulai.

Harus kuakui Ray memiliki banyak kelebihan selain mencoret-coret sketsa dan design. Dia presentasi konsep-konsep yang sudah kami buat dan Soka mengangguk dengan puas. Setelah meeting selesai, kami sudah mendapat kesepakatan bentuk iklan sampai jadwal syuting yang langsung diinformasikan ke bagian production house.

"Mau kemana, La?" tanya Ray sambil menutup laptop saat melihatku dan Soka berdiri.

"Gue mau ajak Illa makan. Lo mau ikut?"

Ray menggelengkan kepalanya. "Gue ada lunch meeting sama production house. Jaga Illa baik-baik, ya? Jangan lupa minum obat, baby." Tangan besar Ray mengelus rambutku lalu dia beranjak keluar.

Soka tertawa kecil lalu berkata, "Aku masih suka heran ngeliat kalian. Orang lain itu bisa dapat persepsi kalau kalian itu pacaran, loh."

"Yah, orang-orang memang lebih suka bicara apa yang mereka lihat. Membuat persepsi tanpa bertanya lebih lanjut." Aku tertawa dan mengikuti langkah Soka menuju restoran yang ada di lantai bawah kantor DNA.

Soka teman yang menyenangkan. Dia memiliki selera musik dan buku yang sama denganku. Selama satu jam kami membicarakan komik sampai film Indonesia yang sedang booming. Lebih tepatnya dia yang banyak bicara dan aku haya mengangguk-angguk karena tenggorokanku masih sakit. Pukul satu, Soka berdiri dan mengantarku sampai ke gate menuju lift.

"I'll call you later, La," ucapnya sebelum tersenyum dan melambaikan tangan.

Aku tersenyum sampai pipi terasa sakit. Sepertinya hari ini tidak ada satu hal pun yang membuatku sedih. Ada Pepper di dalam lift yang kunaiki. Perempuan itu tidak tersenyum, suatu hal yang sangat jarang terjadi. Saat kusapa dia juga tidak menyahut atau tersenyum.

"Cewek serakah!" ketus gadis itu saat melewatiku menuju meja kerjanya setelah kami sampai di lantai kantor.

"Apa maksud lo?"

"Sebentar sama Ray, sebentar sama client baru. Dasar ganjen. Emangnya kami nggak tahu lo nempel-nempel sama Ray buat apa? Itu kan cuma ...."

"Pepper Amanda! I warn you!" Suara menggelegar itu terdengar.

"Lo itu cuma sampah!" jerit Pepper lalu membalikkan badan dan pergi dengan wajah merah. Aku tersentak kaget dan melangkah mundur dengan wajah pias.

"La? Lo nggak apa-apa?" Ray menatapku khawatir.

Aku hanya menggeleng dan melangkah menuju ruang kerja lalu duduk dengan tangan gemetar. Selama satu tahun bekerja di DNA, tidak pernah satu kali pun aku bermasalah dengan rekan kerja. Ray masih menatap dengan khawatir tapi dia tidak bicara apa-apa. Ini ruang kerja dengan enam orang di dalamnya. Dia pasti tidak mau menambah bebanku.

Kubuka laptop dan mencoba bekerja. Mungkin bekerja bisa mengalihkan pikiranku. Orang bilang, tidak baik terlalu senang karena kesedihan bisa datang kapan saja. Itu cara alam menjaga keseimbangan. Tadi aku senang sekali bisa bersama Soka dan sekarang rasanya aku hancur hanya dengan ucapan Pepper.

Pukul enam, Ray berdiri di samping mejaku. "Time to go home."

"Gue pulang sendiri aja, Ray."

"La?"

"Gue butuh waktu buat mikir, Ray."

"I know. Dan gue nggak mau kehilangan kesempatan buat tahu gimana caranya lo balas Pepper." Mata Ray bersinar-sinar geli. Aku mendesah, anak gila ini pasti mikir yang aneh-aneh, deh.

Caramel sedang berdiri di teras saat Honda Rebel yang dikendarai Ray berhenti. Kutatap kembaranku yang berdiri bersidekap. Sweater putih besarnya membuat Caramel tampak bagaikan burung hantu salju.

"What happen to you? Aku ngerasa gelisah dari tadi. Terus inget kamu lagi sakit. Kamu nggak apa-apa, La?"

Sejenak aku bengong sebelum menyadari apa maksud kakakku ini. Terkadang ada semacam insting anak kembar yang sulit diungkapkan atau dibuktikan. Beberapa kali kami berdua saling merasakan sesuatu hal baik buruk maupun gembira.

Contohnya ketika Caramel terkena demam typhus, aku terlebih dulu mendapat serangan sakit kepala yang muncul setiap sepuluh menit sekali. Waktu itu kakak kembarku sedang berada Bandung setelah pertunjukan balet. Aku menelepon teman Caramel, meminta orang itu untuk mengecek kamar kakakku. Untunglah itu kulakukan. Malam itu juga Caramel masuk rumah sakit karena demam tingginya.

Ketika menatap Caramel yang masih menungguku bicara dengan wajah cemas, mendadak hatiku mencair. Aku memeluknya dan berbisik sejauh suara serakku mampu kalau tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Ray tersenyum menatap kami lalu ikut melangkah masuk. Mande keluar dari dapur membawa gelas-gelas berisi jahe panas.

"Mande, Ray nggak usah."

"Minum! Udara lagi dingin. Kamu tinggal sendiri. Bisa gawat kalau sampai sakit." Seperti kataku, sabda Mande adalah perintah absolut yang tidak terbantahkan.

Aku tertawa karena tahu Ray tidak suka minuman pedas sekalipun itu sehat. Dia cemberut dan mengacak-acak rambutku dengan sebal karena ditertawakan. Cemberutnya tidak bertahan lama begitu melihat masakan Mande. Matanya berbinar-binar saat melihat ayam pop istimewa buatan Mande. Bahkan aku yang tidak terbiasa makan malam pun tidak tahan godaan itu.

Seusai makan malam, sementara Kale dan Ray mengobrol dengan Mande, Caramel memberi kode untuk mengikutinya ke kamar. Seperti pemiliknya, kamar Caramel dipenuhi nuansa putih dan pink pucat yang elegan. Dia mengambil sesuatu dari lemari baju lalu memberikannya padaku.

"Kemarin aku lihat baju ini dan sepertinya cocok buat kamu, La."

Kukeluarkan sebuah gaun terusan berwarna abu-abu muda yang indah. Renda di bagian pinggangnya terlihat bagus. Aku mencoba gaun itu dan senang melihatnya pas di tubuh.

"Makasih, Ara!" Kupeluk kakak kembarku dengan sayang.

"Besok dipakai ya, La? Jangan telat." Kuanggukkan kepala, kembali memeluknya dengan sayang lalu keluar dari kamarnya.

Saat turun dari tangga, kulihat Ray berdiri bersandar di buffet kayu ruang tamu. Dia memainkan ponselnya dengan raut wajah tidak terbaca. Satu tangannya dimasukkan ke dalam saku jeans. Dari atas sosoknya seperti kesepian. Lalu dia mendongak dan tersenyum menatapku.

"La, nyokap mau ketemu," katanya begitu aku tiba di kaki tangga. Dia menunjukkan pesan bahwa ibunya menunggu di sebuah café yang ternyata tidak jauh dari rumahku.

Aku mengambil jaket dan dia menatap dengan heran. "Ayo! Gue temenin. Kalau lo terus lari, nggak akan nyelesein masalah."

Denting bel yang dipasang di pintu masuk café terdengar ketika kami masuk. Di sudut café terlihat seorang perempuan paruh baya yang sedang duduk dengan wajah pucat. Ray mendapat manik kehijauan dari ibunya yang masih memiliki darah Eropa. Selama ini aku tidak pernah melihat foto ibunya dan melihat sosok itu secara langsung membuatku teringat dengan malaikat.

Rambut ibu Ray berwarna cokelat kepirangan dengan bola mata hijau dan hidung mancung. Dia sungguh cantik sekaligus tampak rapuh. Senyumnya mirip sekali dengan Ray. Berkebalikan dengan perempuan itu, Ray di sampingku berdiri dengan kaku. Kugenggam jemarinya untuk mengalirkan kekuatan sebelum melangkah ke arah ibunya.

Wanita itu tersenyum dan kami duduk berhadapan dengan canggung. Dia bertanya apakah kami ingin memesan sesuatu. Sesungguhnya Decadent Dark Chocolate Cheesecake yang dipesan ibu Ray sangat menggugah selera. Namun Ray pasti marah kalau aku memesan makanan.

"Ray, Mama sungguh minta maaf." Suara itu begitu lirih.

"Maaf tidak akan mengembalikan waktu," ucap sahabatku dingin dan pahit.

"Mama masih muda waktu itu. Pernikahan kami tidak bahagia karena Mama tidak mencintai ayahmu. Namun, Mama memang salah, tidak seharusnya meninggalkanmu yang masih kecil."

Ray hanya mendengkus lalu mengalihkan pandang ke luar. Dia tiba-tiba berdiri dan beranjak pergi. Ditinggal berdua saja tentu membuatku canggung. Kuhela napas lalu berkata, "Ray mengalami trauma. Dia tidak percaya dengan cinta."

Ucapanku membuat ibu Ray tertegun. Sebulir air mata mengalir dan menganak sungai. "Tapi sesungguhnya dia juga merindukan tante. Itu sebabnya dia mau datang," lanjutku dengan lembut.

Hanya ada isak tangis setelahnya. Aku berdiri dan mengusap tangan ibu Ray yang menua. "Suatu hari nanti, akan ada masanya tante bisa bicara dengan Ray tanpa ada amarah atau penyesalan."

"Tolong jaga, Ray." Kalimat itu sarat dengan emosi. Derita, cinta, penyesalan dan harapan seolah berbaur menjadi satu. Tenggorokanku yang masih nyeri, semakin bertambah sakit. Pahitnya terasa melebihi cheesecake yang dipesan ibu Ray itu.

"Nama saya Vanilla, tante. Pasti saya akan menjaga Ray. Kami sudah bersahabat lebih dari sepuluh tahun." Perempuan itu mengusap air mata dan menatap teh yang dipesannya.

"Terima kasih," bisiknya lirih. Aku berdiri dan mengambil tangan itu untuk menciumnya.

"Kudoakan Ray bisa membuka hatinya kembali." Hanya itu yang kuucapkan sebelum berpaling dan menyusul sahabatku.

Ray terlihat kacau, dia berdiri di samping motornya dengan wajah menderita. Sambil menghela napas, aku membuat keputusan. "Ayo pulang. Ke apartemen lo aja. Nanti gue naik taksi online buat pulang. Nggak ada bantah-bantahan."

Sesampai di apartemen, Ray langsung menghenyakkan badannya di sofa sementara aku ke dapur untuk membuat teh hangat. Dia mendongak saat kuangsurkan cangkir teh yang masih mengepulkan uap.

"Thanks, La." Dia tersenyum, menyesap sedikit tehnya lalu meletakkan cangkir di meja.

"Seharusnya tadi gue nggak usah datang. Seharusnya gue terus menganggapnya udah nggak ada." Tiba-tiba aku teringat bagaimana putus asanya ibu Ray tadi.

"Ray ... gue rasa, mungkin seharusnya lo kasih kesempatan kedua buat nyokap lo. Dia terlihat malu dan menyesal. Gue rasa lo harus jujur, Ray. Lo sebenarnya kangen kan sama nyokap?" Dia terdiam sambil mengusap rambut.

"Gue cuma takut kecewa lagi, La."

"Lo bakal lebih nyesel kalau sekarang nggak nyoba buat maafin nyokap lo. Lo pikir darimana dia dapat alamat apartemen ini? Dapat nomor ponsel lo? Bokap lo pasti udah berhubungan lagi sama nyokap."

Sekarang Ray menatapku dengan kaget. Dia juga pasti baru sadar. "Kenapa sih lo ngomongnya gitu terus, La?"

"Gue cuma nggak mau lo nyesel kehilangan orang yang berarti dalam hidup. Nggak bisa lagi melihat orang yang telah membuat lo ada di dunia ini." Mataku berkaca-kaca saat teringat ketika ayahku meninggalkan kami.

Aku kaget saat Ray tiba-tiba memeluk erat. "Sorry, pumpkin. Gue ngingetin kenangan buruk ya?"

"Gue cuma nggak mau lo nyesel, Ray."

"Don't cry, baby. Iya, nanti gue nyoba untuk bicara lagi." Dia mengurai pelukan lalu mengacak rambutku.

"Nginep sini aja, La."

"Ya, gila! Bisa dihajar Mande nanti gue. Udah deh, gue pulang aja."

"Sekali ini aja, La. Gue cuma nggak mau sendiri." Seharusnya aku terenyuh dengan puppy eyesnya. Namun apa daya, aku malah ingin tertawa.

Tepat saat itu Kale menelepon. Kujelaskan secara singkat kondiri Ray. Dari skala satu sampai sepuluh, tingkat kekacauan hatinya ada di angka delapan. Kale langsung memutuskan untuk menemani Ray. Dia akan membawa barang-barangku jadi besok aku bisa langsung berangkat kerja dari sini.

"Kale nanti ke sini."

"Thanks again, La. Gue nggak tahu gimana hidup gue tanpa lo." Aku tertawa dan mengusap kepala Ray. Dia tersenyum sedikit lalu berdiri untuk membersihkan badan.

Sambil menunggu Ray, aku mengambil remote televisi dan menonton drama korea Extraordinary You di TVN. Tepat saat Haru akan mencium Dan Oh, ada sesuatu jatuh tepat di meja. Kulirik sesuatu yang jatuh itu lalu menjerit. Aku geli sekali dengan cicak gara-gara pernah kejatuhan di paha.

Terdengar bantingan pintu lalu suara langkah kaki. "Kenapa, La?"

Aku sudah tidak sanggup bicara, hanya menunjuk dengan jemari gemetar ke arah meja. Ray tertawa dan mengambil cicak seakan-akan hewan itu hanya jelly yang jatuh. Aku baru saja bernapas lega, saat melihat laki-laki yang masih tertawa itu.

"Rayyy ... pakai baju, dong. Gilaaa! Mata gue ternoda." Mendengar ucapanku, Ray semakin keras tertawa apalagi saat melihatku menutup mata tapi dengan jari-jari terbuka. Kutelan saliva saat melihatnya hanya mengenakan celana training untuk tidur. Aku tahu Ray senang sekali berolahraga dan badannya sangat keras seperti kayu. Dia ke gym secara teratur dan rutin bermain basket. Namun tidak pernah terbayangkan tubuhnya begini indah. Dia bahkan punya V-line yang legendaris itu.

"Kenapa, La? Malu ya?" Dia menggodaku dengan berjalan mendekat.

"No way! Jauh-jauh, hus-hus!" Ray melompat ke sofa dan mulai menggelitikku. Gerakannya membuatku reflek menendang dan dia jatuh tepat di atas badanku dengan wajah sangat dekat. Bahkan aku bisa merasakan hangat napasnya.

Tanpa bisa dicegah, tanganku bergerak otomatis untuk membelai wajah tampan tanpa softlens yang masih terpaku. Tanganku menggosok dagu yang ditumbuhi bulu halus itu dan kurasakan jantungku berdegup kencang.

"La ...." Ibu jarinya mengusap sudut bibirku, membuat debaran jantungku semakin tidak terkendali.

"What the hell are you doing?" Ray melonjak saat mendengar teriakan Kale. Gerakan tiba-tibanya membuatku terguling dan jatuh dengan kepala membentur ujung meja.

🍰🍰🍰

Selamat malam

Maafkan part 8 baru di posting hari ini. Sebagai rasa bersalah, part ini panjangnya mencapai 2000 kata yak. Hahaha.

Sejujurnya nulis cerita ini tuh cobaannya banyak. Bukan! Bukan riset dunia kerja di periklanan tapi riset cheesecakenya. Bikin starving yang manis-manis. Apalagi pas sekarang lagi wfh gini, kan? Jadi makin starving. 😂😂

Eniwei, kalian semua baik-baik saja, kan? Semoga semua sehat yaaa.

A lot of cheezy love,

Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro