7. Apple Cinnamon Cheesecake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(Ada saatnya kita memberi jeda sejenak pada tubuh, agar bisa beristirahat)

Hari minggu pagi, aroma roti yang baru matang memenuhi rumahku. Caramel bernyanyi-nyanyi sambil pemanasan sebelum berangkat ke latihan ekstranya menjelang pertunjukan. Kale sedang mencuci mobil dan aku terkapar di tempat tidur karena demam.

"Mande udah bilang, kamu itu jangan tidur mangap. Jadinya masuk angin, kan?" Mande masuk membawa bubur. Kukernyitkan dahi dengan aromanya lalu merasa mual.

"Masuk angin nggak ada di istilah kedokteran, Mande. Aku ini kena enter the wind."

"Halah. Sakit-sakit masih nyoba garing kamu, La. Makan buburnya terus minum obat dan tidur." Sabda Mande adalah perintah absolut. Lebih baik menurutinya atau dikutuk jadi batu.

Aku meringis saat mencoba menelan bubur dengan mulut pahit lalu minum obat. Kata orang, saat sakit tidur adalah obat terbaik. Namun, aku merasakan hal yang berbeda. Ada lorong gelap yang menungguku lengah. Menerkam dan menelan semua kekuatanku tanpa sisa.

"Aku kan udah bilang, Vanilla itu nggak ada apa-apanya sama Caramel. Muka aja yang sama, tapi otaknya beda." Suara tawa terdengar dari kumpulan anak-anak berseragam putih merah yang sedang mengobrol di depan toilet.

"Kemarin dia jatuh waktu jalan ke depan kelas. Terus dapat nilai merah pas ujian. Kok bisa ya, kembar tapi beda banget."

"Aku bertaruh, dia itu bisa lulus ujian pasti dibantu sama Caramel."

"Mungkin semua kepintaran dan kecantikan udah diambil sama Caramel, jadi dia dapat bego dan cerobohnya. Udah mana lebih gendut, kan?"

Aku meringkuk di dalam kamar mandi, menahan napas dan air mata. Usiaku baru sembilan tahun, hidup dalam bayang-bayang Caramel yang sempurna dengan kepintaran, senyum lembut dan kecantikannya. Ucapan jahat itu tidak sengaja kudengar ketika berada di toilet. Aku memang tidak sehebat, secantik dan sempurna seperti Caramel. Namun aku masih memiliki hati. Dadaku sesak dan air mata mengalir deras.

"Illa ...." Sayup terdengar suara memanggilku. Ada kehangatan dalam suara itu yang membuatku nyaman.

"Illa ... Vanilla." Suara itu kembali terdengar. Lembut dan membujuk. Sesuatu yang sejuk menyentuh dahiku.

Saat membuka mata, kulihat Ray tersenyum lega. Tangannya sedang memeras handuk kecil untuk mengompres dahiku dengan air hangat. "Lo tidur sambil nangis-nangis, pumpkin. Sampai gue takut."

"Ngapain lo di sini?" Suaraku serak dan aneh.

"Sorry. Gara-gara gue, lo jadi sakit kaya gini." Dia mengusap handuk kecil hangat di dahiku. "Ke dokter ya, La?"

"Nggak usah. Begini aja." Kupejamkan mata, mencoba menghilangkan bayang-bayang mimpi buruk.

"Lo mimpi itu lagi ya, La? Sampai sesenggukan tadi." Kali ini Ray mengusap rambutku. Tidak peduli aku menyembunyikan semua dari keluargaku, hanya satu yang tidak dapat kulakukan. Membohongi laki-laki ini. Satu isakan kecil lolos.

Ray memelukku hangat, mencoba menenangkan. "Kalau masih mau nangis, nangis aja." Lalu aku pun luruh, menumpahkan semua rasa sesak yang menekan dada.

Aku ingat pertama kali bercerita tentang kejadian traumatis itu adalah saat Ray memergokiku gemetar di balik tembok saat orang-orang berkerumun dan bicara sembunyi-sembunyi. Padahal mereka bukan membicarakanku. Ray sampai harus membawaku ke ruang kesehatan karena aku tidak bisa diajak bicara, hanya terus gemetar. Aku sering merasa cukup kuat namun ternyata trauma itu menghantui setiap langkahku.

Bagiku, Ray bukan hanya sekedar teman Kale. Dia adalah orang yang membantuku melewati trauma dan mengurangi rasa sakit karena membenci sekaligus menyayangi Caramel. Ray pula yang menemukan bakatku. Ketika itu sedang ada lomba membuat komik yang diadakan Kementrian Pendidikan. Kami bekerja sama, dia menggambar dan aku yang membuat konsep serta ceritanya. Duet kami menghasilkan piala juara pertama.

Itulah kali pertama, aku merasa hidup dan lepas dari bayang-bayang Caramel. Bersama Ray, aku melalui masa-masa sekolah yang menyenangkan. Siapa pun yang menggangguku akan berhadapan dengan laki-laki itu. Kami bersekolah di tempat yang sama, Kuliah di kampus yang sama dan nasib mempertemukan kami di perusahaan yang sama.

"You're safe now. Beautiful, smart, funny and we all love you, Illa." Tangan besar Ray menepuk-nepuk punggungku.

"Yes, I'm blessed. Ini semua gara-gara demam, jadi kebawa-bawa mimpi," gumamku sambil menjauhkan diri dari Ray dan menghapus air mata.

"Rumah kosong?" tanyaku saat menyadari senyap di rumah ini.

"Iya. Kale antar Mande pergi belanja, Ara belum pulang dari latihan dan gue terpaksa harus babysit cewek cengeng yang nangis-nangis sambil demam."

"Sial, lo. Kalau nggak ikhlas, bilang!"

"Duh, gimana ya? Nanti nggak dapat jatah rendang Mande, jadi gue ikhlas kok, La." Tawa Ray menular dan aku ikut tertawa lalu langsung batuk-batuk.

"By the way, tadi Soka nelepon, gue angkat soalnya berisik terus bilang lo lagi sakit. Dia kirim salam." Kuanggukkan kepala yang langsung kuhentikan karena sakitnya seperti membelah tengkorak.

"Gue jadi pingin Apple Cinnamon Cheesecake, Ray. Bikinin, dong!" Dia tergelak-gelak mendengar ocehanku dan lebih memilih menyuruh untuk tidur lagi daripada menanggapi permintaanku. Dia menggenggam tanganku dan mengelusnya perlahan, menimbulkan perasaan nyaman. Akhirnya aku tertidur dan kali ini tidak ada mimpi buruk yang kualami.

Suara tawa terdengar ketika aku terbangun. Sepertinya suhu tubuhku sudah turun. Rasa sakit yang menekan kepala sudah hilang saat aku berusaha duduk. Namun saat aku mencoba bicara, tidak ada suara yang keluar.

Saat menuruni tangga, terdengar suara kembaranku dan Ray yang sedang mengobrol dan menemukan mereka duduk di kursi meja makan dengan dua cangkir teh mengepul. Ray melihatku dan langsung melonjak berdiri.

"Ngapain lo turun dari tempat tidur?" Kutunjuk dispenser air minum.

"Lo kenapa, La? Mendadak nggak bisa ngomong?"

"Tenggorokan gue sakit banget." Suaraku pecah dan berdecit seperti compact disc yang diseret.

"Oh my! Jangan ngomong dulu, La." Kutatap laki-laki yang hari ini memakai softlens cokelat itu dengan sebal. Tadi dia yang memintaku untuk bicara, sekarang menyuruh diam.

Caramel segera membuatkan teh jahe panas. Dia menyuruhku duduk di sofa ruang keluarga dan membawa potongan Apple Cinnamon Cheesecake. Ini Caramel berubah jadi cenayang atau Ray yang membelinya. Aku melirik sahabatku yang sedang tersenyum lebar, berarti ini dibeli olehnya.

"Kalau kamu masih sakit, kamu nggak usah datang ke pertunjukan, La," kata Caramel saat aku menyeruput teh lalu mulai memakan kue yang terasa aneh di mulutku. Aku mendesah menyadari derita saat sakit, semua terasa pahit. Rugi dong udah dibeliin kue lezat namun tidak bisa menikmatinya.

Kugelengkan kepala. Mana bisa kulewati kesempatan menontonnya menari. Apalagi Caramel mendapat peran utama. Odette-Odile merupakan tokoh protagonis dan antagonis yang sangat bertolak belakang sifatnya. Hanya Balerina dengan tingkat kemahiran tinggi yang bisa menari dengan mimik dan penghayatan bertolak belakang itu. Bagaimana bisa kulewati kesempatan menontonnya?

"Makanya, Ra. Kasih gue tiket ekstra dong. Biar bisa jagain Illa sama Mande. Ya?" Caramel memutar bola matanya.

"Fine! Lo dapat tiket ekstra. Pastikan Vanilla nggak kerja keras dua hari ini, oke? Jangan telat juga. Pertunjukan mulai jam tujuh tepat. Aku tahu kalian suka meeting sampai malam. Sehat-sehat yaaa kembaranku sayang." Caramel memelukku erat lalu meninggalkanku dan Ray.

Aku mencari film. Berhubung ini hari minggu dan besok harus kerja, jadi kuputuskan untuk menonton film lama Divergent sambil menyeruput teh jaheku. Ray naik ke lantai dua, mengambil selimut lalu merengkuh dan menyandarkan kepalaku di bahunya.

"Sehat-sehat, La."

"Padahal kemarin yang mukanya kaya mau sakit itu lo. Kenapa malah gue yang demam?" Ray tertawa mendengar ocehanku.

"La ...."

"Hemm ...."

Aku menunggu laki-laki di sampingku melanjutkan ucapannya. Namun dia hanya terdiam lama dan menghela napas. "Bukan apa-apa."

"Susah punya temen galau mulu." Ray tertawa mendengar ucapanku.

"Udah lo diem aja ya. Suara lo bikin gue ngilu."

Kami berdiam diri, menonton film namun pikiran dan hatiku tidak ada di Four dan Tris. Pikiranku justru ada pada Ray yang duduk tenang di sampingku. Kupejamkan mata, mendengar detak jantung teratur yang menenangkan dan kembali tertidur.

🍰🍰🍰

Salamat malam semua ...

Bagaimana kisah Vanilla dan Rayferine sejauh ini? Bagian mana yang paling kamu suka? Tinggalkan di comment yaaaa. 😘😘😘

Salam sayang penuh cheezy love,

Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro