15. Mint-Chip Cheesecake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(Dirimu membekukan segalanya. Dalam aroma mint yang menguar, dalam kelembutan yang terpancar)

Udara laut yang membuat rambutku lengket di tengkuk, bercampur dengan aroma bahan bakar. Aku benci naik perahu yang terombang-ambing sampai membuat perut mual meskipun ini berbentuk speedboat yang artinya perahu memiliki kecepatan tinggi. Mas Bas memberikanku permen jahe untuk mengurangi mual namun sepertinya tidak ada efek apa pun.

"Kamu kenapa?" tanya Soka.

"Mabuk laut," sahutku lesu. Tiba-tiba seseorang memberikan sebotol air mineral dan obat anti mabuk. Aku mendongak dan menatap Cori yang masih mengulurkan tangannya.

"Buat kamu." Aku masih menatap perempuan berambut pendek itu dengan heran. Bagaimana bisa Cori yang jarang bicara denganku bisa tahu?

Pandanganku beralih pada sosok yang duduk di bagian depan dan sibuk memperhatikan ombak. Rasanya tidak mungkin Ray yang memberikannya, dia sama sekali tidak bicara padaku sejak kami berkumpul di kantor sebelum berangkat.

Setelah beberapa hari yang lalu kumatikan panggilan teleponnya, Ray sama sekali tidak bicara kalau tidak perlu. Dia benar-benar berubah menjadi orang yang sangat dingin. Aku menyipitkan mata ketika melihat Caramel yang duduk di samping Ray. Mereka berbicara dengan nada rendah lalu tertawa. Rasanya aku mau melempar kembaranku ke laut!

"Tunggu! Kenapa juga aku menginginkan hal itu?"

"Kamu masih mual, La? Sebentar lagi kita sampai." Ucapan Soka membuatku bahagia. Harusnya aku berterima kasih pada Ray karena memikirkannya membuatku bisa melupakan mual.

Sepuluh menit kemudian perahu benar-benar sampai di sebuah dermaga yang berwarna kemerahan. Kami sedang berada di Pulau Putri, bagian Utara dari Kepulauan Seribu. Pulau ini sangat indah dan Soka memilihnya karena memiliki fasilitas glass bottom boat dan undersea tunnel aquarium. Rencananya kami akan syuting di tunnel kalau pencahayaan boat kurang.

Sebenarnya aku tidak berkepentingan ikut, namun Soka memaksaku ikut karena dia tahu aku membantu membuat skenario untuk syuting kali ini. Ada 15 orang yang berangkat termasuk para kru. Aku membantu mereka menurunkan peralatan lalu mulai menuruni kapal.

Angin bertiup cukup kencang saat aku melangkahkan kaki ke arah dermaga. Sialnya, angin itu membuat jarak antara perahu dan dermaga. Kakiku yang sudah bersiap melangkah, tidak bisa menemukan pijakan dan aku terjatuh begitu saja ke laut.

Air tidak terlalu dalam, hanya setinggi pinggangku namun kaki dan punggungku cukup sakit karena terjatuh tiba-tiba apalagi aku jatuh tidak sendiri. Tunggu! Aku terjatuh sama siapa? Aku langsung menoleh dan menatap Soka yang sedang meringis.

"Kamu nggak apa-apa, La?" tanyanya khawatir.

"Kamu ngapain juga ikutan aku jatuh?"

"Tadi aku mau narik kamu biar nggak jatuh eh malah kebawa. Kamu berat sih, La," tawanya menggoda.

"Terusss ketawa sampai puas." Aku berdiri dan mengulurkan tangan pada laki-laki yang sekarang malah mengernyitkan dahi. Dia menekan tangan kanan, seolah ada yang sakit di sana.

"Tangan kamu kenapa?" Belum sempat Soka menjawab, Mas Bas sudah ada di dekat kami. Atasanku itu masuk ke dalam laut dengan pakaian lengkap. Dia menarikku dan Soka sambil bertanya apakah kami terluka.

Mas Bas memang seorang creative director, namun dia juga memegang sertifikasi resmi untuk CPR dan segala hal yang berhubungan dengan P3K. Dia memeriksa tangan Soka yang memar sekilas lalu berkata akan merawat tangan itu supaya memarnya cepat hilang.

Ray berdiri di bibir pantai saat kami bertiga datang. Tanpa banyak kata, dia menarikku pergi, meninggalkan yang lain. Dia membawaku ke cottage yang sudah di sewa, menurunkan tas dan memeriksa tanganku.

"Diam sebentar! Tangan lo luka." Itu adalah kalimat terpanjangnya selama beberapa minggu terakhir. Aku sendiri tidak sadar kalau tanganku terluka, perhatian Mas Bas tadi memang langsung tertuju pada Soka.

"Thanks, Ray," kataku setelah dia selesai membersihkan luka. Mata kami bertemu dan aku tidak bisa membaca apa yang ada dalam pikirannya ketika tiba-tiba wajahnya begitu dekat.

Selama tahun-tahun panjang persahabatan kami, aku tahu Ray memiliki wajah yang cukup rupawan. Namun di antara tahun-tahun itu, tidak pernah jantungku berdetak sekeras ini sampai aku takut smartwatch di pergelangan tangan akan membunyikan alarm serangan jantung karena detak yang terlalu cepat.

Sebelum aku sadar, Ray sudah menciumku lembut. Bibirnya beraroma mint yang segar. Hidungnya menggesek pipiku perlahan. Ciuman kami terasa lama, seakan semua ini pantas ditunggu. Segalanya memudar begitu saja. Hanya ada Ray, bibirku dan bibirnya, saling mendecap kerinduan.

"I really missed you, Illa." Suaranya yang serak sangat menggoda, membuat kupu-kupu dalam perutku berterbangan dengan liar. Dia kembali menciumku, seolah takut waktu akan mencuri dan menjauhkan kami kembali. Rasanya seperti mencicipi Mint Chip Cheesecake, segar dan manis.

Suara orang bercakap-cakap menyadarkan kami. Ray mengecup dahiku lalu berkata, "Jangan dekat-dekat dia. Gue nggak suka!"

Aku tertawa, merasa aneh dengan hubungan kami. Ray menciumku dan aku tidak merasa itu sebuah masalah besar? Pasti aku sudah gila! Sebelum yang lain datang, laki-laki itu sudah pergi. Aku tercenung sesaat, "Apa yang sebenarnya sedang terjadi padaku?"

Hari itu, tim produksi mengecek peralatan dan tempat untuk syuting sementara aku bersama Mas Bas mengurus administrasi. Soka sedang berbincang dengan Caramel dan entah kenapa itu membuatku lega.

Setelah urusan administrasi selesai, aku minta izin pada Mas Bas untuk pergi ke bibir pantai dan menunggu sunset. Beberapa artikel perjalanan ke pulau ini menyebutkan bahwa sunset terbaik bisa dinikmati secara gratis dengan sebuah cruise. Sayangnya layanan itu hanya tersedia di akhir pekan, jadi aku harus puas dengan memandang sunset dari bibir pantai.

"Menikmati suasana?" Aku tersenyum mendengar suara yang sudah akrab di telinga itu.

Ray mengenakan celana pendek dengan shirt berwarna putih. Kacamata hitam masih bertengger di hidungnya. Rambutnya berantakan tertiup angin.

Sejenak kami terdiam menatap laut. Pulau ini cukup sepi di hari-hari biasa, itu sebabnya kami memilih syuting di waktu ini supaya tidak mengganggu wisatawan lain di akhir pekan. Aku memang tidak terlalu suka perjalanan dengan speedboat namun bukan berarti membenci laut. Sebaliknya aku sangat menyukai suasana di sini.

"Vanilla ...."

Aku menoleh dan menatap mata berwarna cokelat yang sudah bebas dari kacamata hitam. Ray terlihat ragu-ragu lalu dia duduk di hamparan pasir. Matahari hampir saja tenggelam. Pancaran sinarnya yang berwarna merah keemasan sampai ke tempat kami.

"Gue minta maaf udah mengacaukan hubungan kita. Gue kangen banget sama lo. Jangan lagi-lagi kita kaya gini. Berminggu-minggu perang dingin itu sangat menyiksa. Tapi kayanya gue bakal gila kalau nggak berbuat apa-apa. Rasanya gue mau banting-banting barang kalau orang itu deket-deket lo." Aku tertawa melihat rautnya yang terlihat kesal

"Jadi apa hubungan kita sekarang?" tanyaku pelan.

"Gue tahu lo masih trauma sama hubungan Ray. Tapi ...." Dia menggenggam tanganku erat.

"Bisakah kita menjalaninya pelan-pelan, La? Maksudnya gue juga bingung dan rasa takut itu masih ada. Tadinya gue nggak mau kaya gini. Tapi bayangan dia ngedeketin lo terus bikin gue kesal."

Aku menghela napas. Sudah kuduga kalau akhirnya begini. Matahari perlahan tenggelam dan temaram mulai datang. Aku berdiri dan mengibaskan celana yang dipenuhi pasir lalu kembali menoleh.

"Mungkin, kita memang harus menjauh sejenak, Ray. Supaya lo bisa berpikir jernih gimana sama hubungan kita ke depannya. I know you so well, Rayferine. Gue nggak akan menghilang tapi kita harus mundur selangkah dan berpikir." Mata cokelatanya menatap tidak berkedip. Aku tidak bisa memastikan bagaimana suasana hati Ray di pencahayaan yang kurang seperti ini.

"Kita akan bersikap seperti biasanya, tidak terikat dan tidak ada kewajiban apa pun. Got it?" Ray masih terdiam.

"Kalau udah yakin sama perasaan lo sendiri, lo boleh datang kapan saja." Aku tersenyum dan menepuk bahu Ray lalu meninggalkannya sendiri di bibir pantai.

Ini bukanlah tindakan paling bijak yang kulakukan apalagi setelah berminggu-minggu aku mencoba menjauh darinya. Ciuman itu mengacaukan segalanya dan aku tidak bisa memaksa Ray untuk berubah atau menyembuhkan traumanya dalam sekejap. Mungkin pada akhirnya kami akan tahu jauh di dalam lubuk hati, apa yang paling kami inginkan. Hanya saja, itu bukan sekarang.

🍰🍰🍰

Ada yang suka part ini?

Nggak usah ditanyalah ya. Aku tahu gimana kalian. Hahaha  😆😆

Happy reading (for now). See ya tomorrow night.

with a lot of cheezy love,

Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro