18. Lemon Souffle Cheesecake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(Ingatanku dipenuhi olehmu. Hanya kamu!)

Aku ingat ketika pertama kali bertemu Ray. Saat itu usiaku baru 13 tahun dan sedang berdiri di depan gerbang sekolah dengan hati ciut. Kale, kakakku yang juga bersekolah di sana, hari itu tidak masuk. Sebenarnya saat itu adalah pertama kalinya aku datang ke sekolah tanpa Caramel.

Sekolah akan dimulai 10 menit lagi dan jika aku tidak segera masuk, sudah dipastikan akan terlambat mengikuti orientasi. Aku menoleh ketika mendengar ada orang yang menyapaku dan melihat laki-laki dengan rambut cokelat gelap dengan mata jahil sedang tersenyum.

"Adiknya Kale, ya? Hai! Gue Rayferine, sahabat Kale. Panggil saja Ray. Kale nitipin lo sama gue gara-gara sakit. Lo takut?" Aku mengangguk malu-malu.

"Jangan takut! Ada gue. Adiknya Kale berarti ...." Kalimat itu tidak selesai ketika dia melirik jam tangan dan langsung menyeretku masuk ke dalam sekolah.

Itu adalah pertama kalinya tangan Ray menyentuh kulitku. Ketika itu aku ingat rasanya adrenalin seolah mengalir deras. Dia membawaku berlari menyusuri lorong sekolah yang sudah mulai sepi lalu berhenti di depan sebuah kelas.

"Halo!" Ray berjalan masuk ke dalam kelas.

"Maaf anak yang ini terlambat. Tadi dia nyasar," katanya lagi sambil mendorong ranselku untuk maju dan bertemu dengan kakak kelas.

"Jangan takut. Kamu belum terlambat, cepat cari tempat duduk," ujar kakak kelas yang sedang memegang catatan absensi. Aku mengangguk dan berusaha secepat mungkin berjalan menuju bangku yang masih kosong sementara Ray melambaikan tangannya lalu berlalu pergi.

Ray datang menemuiku saat jam istirahat. Dia membawa sandwich dan sekotak susu lalu memberikannya padaku sambil tersenyum. Dia bertanya apakah aku sudah memiliki teman dan sebagainya. Sungguh! Aku jadi seperti memiliki tiga orang kakak.

Perhatian Ray tidak berhenti sampai di situ. Dia juga mengantarkanku pulang. Katanya dia sudah beberapa kali main ke rumahku namun saat itu aku dan Caramel sedang les untuk persiapan ujian akhir.

Bagiku, yang jarang keluar dari bayang-bayang Caramel, bertemu Ray di hari pertama masuk sekolah adalah sebuah keberuntungan. Senyum riangnya itu mampu menenangkan hatiku yang seringkali terlalu takut mencoba hal baru.

Aku mulai beradaptasi di sekolah, memiliki teman-teman baru namun tidak ada yang seakrab Ray. Manusia iseng itu seolah punya radar dan tahu di mana saja aku berada. Dia bisa tiba-tiba muncul di kantin saat aku sedang memesan bakso, atau tiba-tiba lewat di gedung olahraga saat aku sedang bermain basket. Ray ada di mana-mana. Tentu saja tindakannya itu memancing gosip di sana-sini, namun dia bilang abaikan saja gosip.

Suatu ketika aku sedang dipanggil ke ruang guru. Ternyata guru Bahasa Indonesia yang memanggil, memberitahu tentang pengumuman lomba membuat komik dari Departemen Pendidikan. Sekolah ini memang terbiasa untuk memperhatikan bakat dan minat murid-murid sejak dini. Melihat nilai dan tulisanku yang cukup baik, beliau memintaku untuk ikut bersama dengan anak yang pintar menggambar.

Wajahku pasti memerah karena malu. Ini pertama kalinya ada yang menghargaiku tanpa embel-embel Caramel, si sempurna. Aku berjalan dengan wajah berseri menuju kelas. Terdengar suara ramai di sana. Belum sempat kaki melangkah, terdengar seseorang menyebutkan namaku.

Teringat pengalaman buruk di SD ketika mendengar orang membicarakan hal buruk tentangku, secara reflek aku berdiri di balik pintu yang separuh tertutup. Tubuhku gemetar hebat dan tidak mampu bergerak.

Di saat itulah Ray datang. Awalnya dia heran melihatku berdiri terpaku di depan pintu, lalu saat menyadari tubuhku gemetar, dia langsung menarik tanganku menuju klinik sekolah. Dokter klinik yang berjaga menanyakan apa yang terjadi namun aku tidak bisa mendengar apa yang dijawab oleh Ray. Aku hanya melihat dokter itu mengangguk lalu keluar dari ruangan untuk mengambil sesuatu.

Aku duduk di sofa klinik, masih memandang lutut yang gemetar. Ray menghela napas dan meletakkan tangannya di kepalaku. Tangan laki-laki yang biasanya iseng itu, mengelus kepalaku lembut. Perlahan aku mulai tenang. Ketika mengangkat wajah, bisa kulihat Ray menatap.

Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun mimik wajahnya seolah berkata kalau aku bisa bercerita kapan saja. Hari itu aku menceritakan semua hal yang terjadi dan tentang traumaku.

"Lo bisa percaya sama gue, La. Kita bisa melewati ini semua." Melalui Ray, aku juga baru tahu kalau dokter klinik juga memiliki akses ke sebuah klinik psikolog. Aku melalui bulan-bulan penuh perjuangan untuk bisa bersikap normal ketika melihat orang berkerumun atau memikirkan hal-hal negatif bahwa teman-teman membenciku.

Ray ada di saat tersulit, membantu di waktu terpuruk dan di atas segala hal, dia adalah sahabat terbaik yang pernah kupunya. Kami semakin dekat ketika terlibat proyek lomba membuat komik. Ternyata itulah yang dibicarkan oleh teman-teman sekelasku. Mereka sedang membicarakan siapa yang pandai menulis.

Selama proyek itu, aku sering datang ke rumah Ray bersama Kale. Rumah besar itu kosong kalau siang. Asisten rumah tangga keluarga Ray hanya datang tiga kali dalam seminggu. Pada akhirnya dia malah lebih suka datang ke rumahku, lebih ramai katanya. Aku tahu pasti dia kesepian di rumah besar itu.

Mande suka sekali mendapat anak baru yang hobi makan karena dia suka masak. Ray sangat menyayangi Mande, begitu juga sebaliknya sampai-sampai aku sering iri. Selama sore dan malam-malam penuh perjuangan untuk membuat komik, Mande selalu jadi pemadam kelaparan kami.

Perjuangan kami di lomba membuat komik edukasi itu berbuah manis dengan piala dan sertifikat juara dikirimkan ke sekolah kami. Mande bangga bukan main, katanya dia punya anak-anak yang bisa dibanggakan. Ya, Mande semakin menganggap Ray adalah anaknya.

Sejak itu, aku dan Ray semakin tidak terpisahkan. Persahabatan kami berlangsung dengan manis tanpa banyak tuntutan. Memang banyak yang menggosipkan, namun Ray selalu memastikan siapa yang menyakitiku akan berakhir mengenaskan jadi kehidupan sekolah berlangsung dengan lancar.

Setelah Kale dan Ray lulus pun mereka masih sering datang ke sekolah hanya untuk mengecekku. Dua tahun tanpa mereka rasanya sangat lama. Aku mengikuti jejak Kale untuk bersekolah di SMA dan kampus yang sama meskipun berbeda jurusan.

Ray menyembuhkan luka dan memenuhinya dengan semua kenangan menyenangkan. Wajahnya yang selalu tersenyum, raut jahilnya yang menyebalkan, semua mengisi setiap jengkal ingatanku. Dia seperti Lemon Souffle Cheesecake yang asam namun masih terasa manis, lembut dan menyegarkan. Aku menyayanginya sepenuh hati dan jiwa.

Sekarang, dia berdiri di hadapanku. Tubuhnya tentu saja bertambah nyaris 25 sentimeter daripada saat SMP, namun senyumannya tidak pernah berubah. Dia melihatku dan Caramel keluar bersamaan, senyumannya pun semakin lebar.

"Jadi, gue rasa Vanilla udah lebih terbuka, ya?" tanyanya pada Caramel yang mengangguk.

"Aku masih marah sama kamu. Bertahun-tahun kita bertemu dan kamu nggak pernah cerita tentang keadaan Vanilla." Senyum langsung lenyap dari bibir Ray saat mendengar nada mengecam Caramel.

"Gue menghargai Vanilla, Ara. Dia akan bercerita ketika sudah siap. Meskipun itu butuh waktu bertahun-tahun. Maaf."

Caramel hanya memandang dengan tajam lalu beranjak pergi meninggalkanku dengan manusia jangkung yang sekarang berdiri salah tingkah. Dia mengamati baju yang kukenakan lalu mengangguk dengan senang.

"Gue nggak suka orang-orang lihat bahu lo. Rasanya mau gue colok itu mata cowok-cowok." Aku tertawa keras. Ini adalah Ray yang kukenal. Dia memang seperti itu sejak kecil.

"Lagian siapa juga yang mau pake lama-lama. Bisa-bisa gue masuk angin."

"Masuk angin itu nggak ada, La. Adanya enter the wind." Mataku mengerjap teringat lelucon yang kulontarkan pada Mande saat sakit dulu.

Betapa lucunya hidup! Sepertinya otakku dan Ray berada di satu frekuensi. Dia menatap dengan bingung dan semua itu membuatnya semakin lucu. Perutku sampai sakit karena kebanyakan tertawa.

"Duh, Ray! I think we are connected. Gue pernah ngomong kaya gitu sama Mande. Hasilnya kepala gue nyaris benjol." Dia ikut tertawa lalu menggandengku dengan santai.

"Gue kangen lihat lo ketawa, gandeng-gandeng cuma yang lebih parah lagi, gue bahkan kangen omelan lo." Ray tersenyum lembut saat bicara dan aku berhenti melangkah mendengar ucapannya. Bukan karena kaget, melainkan karena aku juga merasakan hal yang sama. Tiba-tiba saja aku tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya pada laki-laki dengan rambut cokelat gelap ini.

🍰🍰🍰

Malam ...

Masih menikmati cheesecake? Yumm ... Ayas hari ini makan Strawberry Cheesecake, Blueberry Cheesecake dan Mix-fruit Cheesecake. Asyik, kan?

Jadi berasa Vanilla hahahaa. 😆😆

Selamat menikmati cerita ini

With a lot of cheezy love,

Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro