17. Blueberry Cheesecake Macarons

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(Blueberry Cheesecake Macarons seperti hubungan kita yang rumit, penuh kesalahpahaman lalu berakhir manis)

Aku paling tidak suka dibandingkan. Caramel memang lebih tirus daripadaku. Itu yang membuat banyak orang sering meledekku. Mungkin ucapan itu mereka maksudkan sebagai gurauan namun hatiku tetap saja sakit.

"Maaf, Illa." Ray mengejarku yang sudah meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia memegang pergelangan tanganku yang langsung terasa membara.

"Maaf. Gue nggak maksud untuk ...." Kusentakkan tangannya.

"Gue capek! Bye, Ray."

Setengah berlari, aku memasuki cottage, berharap Ray tidak mengejar. Aku tidak percaya Ray melakukan itu, setelah semua tahun panjang persahabatan kami, seharusnya dia tahu. Baru saja pintu tertutup, seseorang membukanya.

"Ray, I told you ...." Sosok yang baru masuk itu menaikkan satu alis.

Caramel melihatku seolah-olah menimbang setiap ucapan yang akan keluar dari mulutnya. Dia berdiri bersidekap sementara aku hanya mematung.

"Kamu kenapa sih, La?" tanya kembaranku masih bertahan dengan posisinya.

"Kenapa gimana?"

"Nggak usah pura-pura nggak tahu. Kamu tahu sendiri apa yang paling aneh dari kamu? Berlari meninggalkan acara makan malam hanya karena kita pakai baju yang sama. Marah sama Ray hanya karena kamu merasa lebih tembam? Please deh, La. Remeh banget sih kamu."

Amarah yang selama bertahun-tahun tertahan, meluap begitu saja mendengar ucapan Caramel. Rasanya seolah mataku berkabut oleh emosi saat melompat berdiri dan menghadapi saudaraku yang perfect ini.

"Tahu apa lo tentang remeh? Bukan lo yang dibully sampai harus pergi ke psikolog, kan? Bukan lo yang jatuh dan ditertawakan! Bukan lo yang diomongin sama orang-orang! Ditertawakan! Dibandingkan! Tahu apa lo tentang perasaan gue?" Air mata mulai menitik di pipiku.

"Aku nggak tahu apa-apa! Kamu nggak pernah cerita sama aku!"

"Karena lo nggak peduli!"

"Aku peduli! Kamu yang nggak peduli apakah aku tahu tentangmu atau tidak. Kamu yang menarik diri dari aku! Apa kamu pernah berusaha untuk cerita gimana perasaanmu? Kamu yang membuat segalanya susah! Padahal aku sudah berusaha menjadi kakak yang baik."

Aku terhenyak lagi ke dalam kursi mendengarkan cerita Caramel. Kakakku itu menatap dengan pandangan lelah dan berkaca-kaca. "Aku sayang kamu, Vanilla. Kamu kembaranku. Kita berbagi napas di dalam kandungan tapi kenapa sekarang kamu bahkan untuk berbagi cerita, tidak mau?"

"Lo sempurna, Ara! Sejak kecil Lo sempurna. Cantik, pintar bergaul, ramah, supel dan luwes. Gue juga ingin bisa menari! Bisa berakting! Tapi nggak bisa!"

Semua ingatan kembali berkelebat. Ketika pertama kali ditertawakan saat terjatuh di atas panggung, saat dibicarakan oleh teman-teman Sekolah Dasar dan gelombang rasa sakit itu memicu ketakutanku. Raut wajah Caramel berubah, amarahnya tergantikan dengan ekspresi kesakitan.

"Kenapa kamu nggak bilang, Illa? Selama ini aku mengira kamu sengaja menjaga jarak denganmu." Aku tidak sanggup menjawab pertanyaannya.

"Kamu tahu, La? Aku iri denganmu. Kamu orang yang baik, yang selalu mementingkan orang lain di atas kepentinganmu sendiri. Kamu punya sahabat yang baik, Kale juga sangat peduli padamu. Terkadang, aku lelah. Semua orang rasanya menuntutku sempurna, padahal aku tidak seperti itu," kata Caramel lagi sambil menghenyakkan badannya di atas sofa.

"Jadi lo iri sama gue dan gue iri sama lo, gimana kalau kita tukeran posisi kaya di buku-buku itu?" tanyaku asal. Di sampingku, Caramel memutar bola mata dengan malas.

"Nggak bisa. Langsung ketahuan. kamu lebih tembam."

"Sial!" umpatku reflek namun anehnya tidak ada rasa sakit hati ketika mendengar ucapan Caramel.

Aku mendesah lelah. Mungkin ini juga kesalahanku yang tidak pernah cukup keberanian untuk bercerita padanya. Ada banyak hal yang kusembunyikan darinya karena merasa malu dengan diri sendiri.

"Gue dibully waktu SD. Anak-anak lain sering ngomongin gue di belakang. Katanya gue bego, gendut dan segala macam hal menyakitkan lainnya. Ternyata itu membawa trauma. Ray tahu tentang itu waktu SMP. Dia mergokin gue yang sembunyi di balik tembok sambil gemetar ketakutan. Kale tahu, tapi dia nggak pernah kira kalau trauma itu masih ada sampai sekarang." Aku bicara panjang lebar, khawatir jika momen ini lewat dan tidak akan bisa bicara lagi pada Caramel.

Caramel menghela napas, satu tangannya terulur dan mengenggam jemariku. Dia hanya diam namun rasanya aku ingin menangis. Rasanya seperti dia melindungiku tanpa kata. Satu isakan keluar, disusul yang lain. Bahuku berguncang menahan tangis.

"Jangan ditahan, Illa. Menangislah." Kembaranku itu melepas ikat kepala berwarna putih yang masih dikenakannya lalu berjongkok di hadapanku. Dia memelukku dengan hangat.

"Maafkan aku tidak ada di sampingmu saat itu semua terjadi," katanya pelan.

"Maafin gue kalau nggak pernah cerita. Gue nggak sanggup." Dia mengelus punggungku lembut.

Setelah tangisanku reda, Caramel berdiri dan berjalan ke arah lemari es. Dia mengeluarkan bucket es krim lalu mengambil sendok. "Ini bukan cheesecake kesukaan kamu, sih. Cuma waktu kecil kamu suka banget es krim ini."

Aku tertawa mengingat betapa sederhana bahagianya anak-anak. Cukup es krim dan dunia terasa lebih indah. Rasanya aku ingin kembali ke masa-masa itu. Saat tidak ada prasangka dan pikiran rumit.

Lucu sekali kami ini! Berminggu-minggu kami perang dingin, tidak berbicara satu sama lain. Kemudian beberapa menit yang lalu kami bertengkar hebat sampai rasanya darahku naik ke ubun-ubun. Sekarang kami malah berbagi es krim sambil mengobrol dengan santai.

"Tapi hubungan kamu sama Ray itu jadinya gimana?" tanya Caramel di antara suapan es krim.

Sejenak aku tergoda untuk menjawab tentang hubunganku yang aneh dengan Ray pada Caramel. Namun dengan banyak pertimbangan, kuputuskan untuk bercerita nanti-nanti saja.

"Nanti gue cerita kalau sudah jelas," kataku akhirnya. Caramel tertawa mendengarnya lalu terdiam.

"Pertama kali kita bertengkar hebat." Suaranya lirih.

"Pertama kali gue jujur."

"Aku masih iri sama kamu, Illa. By the way, Soka sepertinya suka sama kamu. Matanya bersinar-sinar kalau cerita tentang kamu. Kalau Ray nggak jelas, mendingan kamu sama Soka, deh." Kucubit pipi kembaranku itu.

"Nggak usah iri. Jangan mikir macam-macam tentang Soka."

Kami tertawa bersamaan. Aku rasa, kejujuran itu sangat penting dalam semua hubungan. Meskipun itu menyakitkan dan mungkin bisa melukai yang lain. Seperti aku yang akhirnya jujur menceritakan semua hal yang telah terjadi selama tahun-tahun penuh trauma itu. Seperti Caramel yang akhirnya jujur kalau dia diam-diam iri padaku. Kami banyak bicara dari hati ke hati malam itu. Aku merasa menemukan sosok diriku yang hilang. Caramel ada untuk melengkapiku. Dia saudari kembarku dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

"Aku senang kita akhirnya jujur, La." Caramel mengusap air mata ketika ceritaku tentang bagaimana takutnya aku disentuh oleh orang asing, juga betapa tidak nyamannya menjadi pusat perhatian.

"Gue juga." Pandanganku menerawang ke arah langit-langit kamar.

Hubunganku dengan Caramel membaik, namun bagaimana dengan Ray? Di satu sisi dia mencintaiku, di sisi lain dia juga takut dengan komitmen. Lalu bagaimana denganku? Apakah aku juga mencintainya atau sekedar terbiasa dengan kehadirannya?

"Kamu mikirin Ray?" tanya Caramel.

Aku menoleh dan tersenyum. Jangan pernah meremehkan koneksi pikiran saudara kembar. "Bisa jadi," sahutku tidak jelas.

"Sudah sore. Yuk kita siap-siap. Kamu syuting scene terakhir, kan?" tanyaku sambil berdiri untuk mengalihkan pembicaraan. Kakak perempuanku hanya menghela napas dan mengangguk.

"Hei, Illa! Aku udah bisa loh bikin Blueberry Cheesecake Macarons. Cuma waktu itu kamu lagi marah, jadi aku kasih semua ke teman-temanku." Caramel tiba-tiba bicara, mengangkat tubuhnya sambil menunjukkan foto hasil kreasinya. Waktu kecil aku ingin sekali bisa membuat kue itu karena warnanya yang cantik, sekarang dia bisa-bisanya pamer. Aku mencibir, sepertinya itu sangat lezat dan dia tidak menyisakan satu pun untukku.

Caramel tertawa melihat reaksiku. Dia berjanji akan membuatkan lagi camilan lezat itu. Katanya blueberry yang asam dengan macarons yang manis, rasanya sempurna. Kupikir-pikir, hubungan persaudaraan kami seperti itu. Kami bisa bertengkar, salah paham lalu kemudian memperbaikinya dengan bicara dari hati ke hati.

Saudariku itu membuang bucket es krim yang sudah kosong lalu bersiap-siap. Aku memakai sunscreen yang lebih rendah dibanding tadi siang lalu membawa topi lebar. Meskipun sudah sore, sinar matahari masih menyengat. Aku tidak mau mengambil resiko kulit terbakar.

Begitu pintu cottage terbuka, aku bisa melihat Ray sedang berdiri memperhatikan laut. Dia menoleh dan tersenyum cerah. Dadaku kembali berdebar kencang hanya karena melihatnya? Ini pasti suatu kesalahan!


🍰🍰🍰

Satu-satu ya.
Berat loh rasanya harus jujur. Apalagi kalau hubungan kita love & hate kaya Vanilla dan Caramel. Aku cukup bangga akhirnya Illa berani jujur. Capek kan hidup berdampingan terus kita simpan rasa iri yang begitu besar?

Eniwei, macarons ini warnanya cantik ya. Sayang aku kalau makan macarons bisa merinding saking manisnya ahahaha   😂😂😆

Happy reading all, jangan lupa ngemil malam ini.

With a lot of cheezy love,

Ayas



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro