23. Basque Burnt Cheesecake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(Ketika satu kesalahan, menghanguskan semua harapan. Lenyap. Musnah. Pupus sebelum waktunya)

Ray memperhatikanku dengan tajam. Gara-gara mulut ini, aku jadi terjebak dalam suasana yang tidak enak. Rasanya seperti ketahuan selingkuh, padahal aku dan dia tidak ada ikatan apa-apa kecuali persahabatan.

"Cih, bersembunyi dalam kedok persahabatan." Batinku terus bicara seorang diri.

"Jadi kalian kemarin itu jadian?" tanya Ray masih dengan tatapan ala Scott Summers alias Cyclops. Sepertinya sebentar lagi dia akan menyemburkan api dari matanya. Aku jadi ingin sedikit mengisenginya.

"Gimana ya, Ray? Gue sih agak gimana gitu sama Soka. Dia baik, pinter, oh ... ganteng juga. Apa gue terima, ya?"

Mata itu memicing tidak suka lalu tiba-tiba berkata, "Ya udah kalau itu mau lo."

"Loh? Kok jadi nggak sesuai rencana?"

Aku masih membelalak dengan heran ketika Ray berdiri lalu mengambil barang-barangnya, bersiap untuk pulang. Tadi setelah dia mencuri dengan pembicaraanku dengan Cori, Ray langsung mengajakku bicara. Tentu saja Cori dengan senang hati meninggalkanku berdua dengan manusia yang belakangan ini sulit ditebak. Tapi ternyata semuanya malah jadi berantakan.

"Lo nggak pulang? Atau nunggu dijemput pacar lo?" Laki-laki itu lewat depan pantry sebelum pulang. Ketika aku hanya mengangkat bahu, dia pun melangkah pergi.

Setelah beberapa menit shock, aku bergegas mengambil tas dan pulang. Lantai ini sudah hampir kosong dan hal terakhir yang akan aku lakukan adalah seorang diri di kantor. Denting lift dan pantulan diri pintunya, menyadarkan kalau Ray benar-benar meninggalkanku sendiri. Ini baru pertama kalinya terjadi dan aku seperti menelan sebongkah batu dengan susah payah.

Rasanya seperti Basque Burnt Cheesecake yang sengaja dipanggang dengan suhu tinggi untuk menciptakan efek terbakar. Hanya saja di kasusku, ada hati yang terbakar hangus. Hatiku. Satu kesalahan dan semua hilang.

Memutuskan pulang dengan MRT, aku berjalan dengan lunglai ke arah pintu masuk bawah tanah yang paling dekat dengan kantor. Sepanjang perjalanan aku sibuk melamun dan seperti kejadian di pagi hari, aku melewati stasiun tempat seharusnya turun.

Pikiranku terlalu penuh untuk memikirkan reaksi Ray yang sangat aneh. Biasanya dia akan tertawa lalu balas mengerjaiku. Perasaan bersalah menggelayutiku dan aku harus bersusah payah untuk tidak menangis.

Tadi aku juga mencoba mengirim pesan pada Ray namun tidak ada balasan. Ini semua membuatku frustasi dan kesal pada diri sendiri. Setelah beberapa saat mencoba menghubunginya tanpa hasil, aku pun menyerah dan memilih fokus untuk pulang ke rumah. Kalau tidak, bisa-bisa aku hanya mengitari Jakarta saja.

Aku sampai di rumah satu jam lebih lama daripada biasanya dengan tubuh dan otak luar biasa lelah. Kale yang menunggu di ruang keluarga melotot saat melihatku berjalan seperti zombie.

"Kenapa lo, La?" tanyanya heran.

"Menurut lo, kenapa? Gue capek tiga kali lipat!" keluhku sambil menyeret kaki menuju ibuku yang sudah berbaring di singgasana tempat tidur. Setelah menyapa Mande dan membersihkan diri, aku menyelusup ke dalam selimut di tempat tidur. Sudah waktunya untuk tidur dan melupakan semua keanehan hari ini.

Suara Alan Walker dan Sabrina Carpenter terdengar melantunkan lagu On My Way di ponselku. Menghela napas kasar karena sudah baru saja tertidur, aku mengangkat telepon itu. Hanya satu yang bisa menghubungiku nyaris tengah malam.

"Illa ... gue di depan rumah lo."

Aku membelalakkan mata dengan heran. Ada tiga hal kemungkinan yang membuat Ray datang malam-malam. Pertama dia sakit, kedua ada masalah, ketiga dia mau memarahiku secara langsung.

Saat membuka pintu, aku mendongak menatap laki-laki jangkung. Bola mata aslinya terlihat begitu sedih. Dia seperti anak kucing yang kehujanan dan ditinggalkan di pinggir jalan.

"Lo kenapa, Ray?"

"Jangan ...." Suaranya lirih dan pandangannya turun ke bawah.

"Jangan apa? Masuk dulu deh, Ray. Nggak enak kalau dilihat tetangga." Kubuka pintu lebih lebar.

Begitu Ray masuk, dia langsung memelukku erat. Kepala yang diletakkan di bahuku itu diam tidak bergerak selama beberapa menit. Aroma mint yang menguar membuatku gila.

"Ray?" bisikku pelan.

Laki-laki itu melepaskan pelukannya. Kupikir akhirnya dia tenang, namun rupanya salah. Tiba-tiba saja dia merengkuh pinggang, menariknya mendekat lalu menciumku yang hanya terpaku. Ray seolah melepaskan rasa frustasi dengan bibirnya.

"Jangan ... jangan terima, La," bisiknya pelan. Dahi kami masih saling menempel dan napasku tersengal-sengal.

"Terima apa sih?"

"Terima si Keju lah," gumam Ray kembali menarikku mendekat.

"Oh." Dia memelukku lagi dengan erat sampai rasanya detak jantung kami bersimbiosis menjadi drumband saking kencangnya.

"Tadi gue nyaris gila waktu ... waktu ngomong itu. Gue nggak suka lo dekat-dekat sama Soka. Gue nggak suka lihat dia ada di samping lo. Gue nggak mau lo ketawa sama dia. Tapi gue bahkan nggak ngerti kenapa bisa kaya gitu."

"Ray ...." Dia menoleh. Bola mata indahnya membuatku terbuai. Kuelus rahangnya lembut, menggelitik dagu dengan janggut tipis.

"Do you love me?" Akhirnya kalimat itu lolos juga dari bibirku. Dia tersenyum ragu lalu memangkas jarak di antara kami.

"Always, pumpkin. I love you more than you know." Aku menahan napas ketika dia kembali menyatukan dahi kami.

"Maaf kalau membuat lo bingung, pumpkin. Gue cuma takut kalau hubungan kita berubah lalu jika kita berpisah, maka kita akan menjadi sepasang manusia yang asing satu sama lain. Tapi lo sama dia bikin darah gue mendidih. Vanilla, I think I've drowned too far in you."

Aku masih terdiam, terlalu takjub dengan semua yang dikatakannya. Ray mengambil seberkas rambut pendekku dan menyelipkannya di balik telinga.

"Apa lo masih nunggu gue? Mungkin ... mungkin ini saatnya gue bisa belajar berkomitmen lagi." Aku mendorong Ray menjauh, menatapnya tidak percaya. Manusia ini hampir tujuh tahun tidak percaya dengan cinta. Dia mendorong siapa saja yang berusaha mendekati.

"Unbelievable, huh?" Ray mengusap rambutnya lagi. Sekarang rambut berantakan itu terlihat sangat seksi. Wajahku rasanya memerah saat mengalihkan pandangan.

Jarum jam mendekati angka dua belas. Kupejamkan mata perlahan, mencoba mengurai jerat perasaan yang mengikat kami berdua. Ray selalu ada saat aku butuh. Dia senang menggoda, menyemangati dan mengusiliku. Bersamanya, tidak ada hari yang membosankan. Ketika dia tidak ada, rasanya ada bagian dari diriku yang hilang.

Beberapa minggu belakangan yang sangat aneh dalam hubungan kami, aku banyak berpikir. Bagiku, Ray adalah sahabat terbaik yang pernah kupunya. Aku menghindarinya mungkin karena takut jika apa yang kurasakan terlihat begitu jelas sedangkan dia tidak mau melangkah keluar dari zona sahabat. Aku tidak jujur pada diri sendiri karena takut kalau apa yang kurasakan akan membawa kehancuran pada hubungan persahabatan ini.

Ini terasa bagaikan mimpi. Sepertinya tidak mungkin Ray berubah hanya dalam waktu beberapa jam. Ya, ini pastilah mimpi yang indah. Aku tersenyum, kalau ini mimpi, biarkan saja aku tetap ada di dalamnya agar terus merasakan kehangatan dari seorang Rayferine Sage. Meluapkan perasaanku yang menggaungkan cinta.

TIba-tiba terdengar suara berdebam lalu kepalaku pusing sekali. Penglihatan yang memburam membuat segalanya berputar. Kuulurkan tangan mencari Ray, hanya kosong yang terasa sebelum semuanya memudar dalam kegelapan. 

🍰🍰🍰

Siang ...

Ada berita nih, selama bulan puasa, Ayas akan usahakan update pagi atau siang, ya.

Selamat menikmati

with a lot of cheezy love

Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro