26. Cheesecake with Sour Cream Topping

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(Hidupku tanpamu mungkin saja terasa hambar, namun melihatmu bersamanya membuat segalanya terasa masam)

Sejak tadi Kale mondar-mandir di ruang rawatku sambil menggumam tidak jelas. Aku mendongak untuk ketiga kalinya ketika sekali lagi kakakku yang jangkung itu kembali menggumam. Sungguh, tingkahnya membuat kepalaku semakin sakit.

"Kale, kenapa sih lo? Kepala gue sakit nih lihat lo mondar-mandir," keluhku. Ini sudah hari kelima di rawat dan tidak ada tanda-tanda perbaikan walaupun aku sudah berubah menjadi bayi. Tidur, makan, ke kamar mandi, tidur lagi, berbaring seharian, sungguh membosankan. Namun yang lebih parah adalah mual dan sakit kepala masih sering datang.

Mendengar keluhanku, Kale langsung berhenti dan mendatangiku. Dia meminta maaf dengan suara lirih lalu mengusap kepalaku. Usapannya membuat sakit kepalaku sedikit berkurang, jadi kuminta dia untuk terus mengusap sampai aku tertidur.

"Kenapa sih lo kaya orang bingung, Kale? Mikirin biaya rumah sakit, ya? Tenang Kale, kantor gue masih cover, kok." kataku separuh mengantuk. Sungguh dahsyat kekuatan tangan Kale. Setelah ini aku berniat mengangkatnya menjadi tukang usap kepala di rumah sampai dia menikah.

"Bukan apa-apa, La." Ucapannya membuatku curiga. Pasti ada yang dia sembunyikan. Namun berhubung kepalaku berdenyut-denyut, kuabaikan perasaan itu.

"Ray apa kabar, Kale?" Pertanyaanku membuat jemari Kale kaku di udara untuk sejenak. Hanya beberapa detik, lalu dia kembali mengusap.

"Baik, La."

"Gue kangen sama dia. Kayanya nggak apa-apa dia pacaran sama Caramel, asal masih ada di samping gue." Setetes air mata mengalir dari mataku yang terpejam. Rasanya jemari Kale kembali membeku mendengar ucapanku.

Sungguh, rasanya sangat menyiksa tidak bertemu dengan manusia iseng satu itu. Aku rindu senyum, suara bahkan sikap posesif dan cheezy-nya. Bertahun-tahun seluruh hariku ditemani dengan Ray, lalu kini mendadak sepi dari sosoknya. Aku kehilangan lalu mulai putus asa.

"Sebesar itu rasa sayang lo ke dia?" Kale bertanya lirih.

"Sebesar itu sampai nggak ada yang sadar."

Aku tertidur setelah menggumamkan kata-kata itu. Usapan Kale benar-benar menghipnotis. Samar-samar tercium aroma mint yang segar dalam mimpi yang membuat senyumku mengembang tanpa sadar.

Ketika terbangun, Kale sudah tidak ada. Sebagai gantinya ada Soka yang duduk di kursi sambil memandangi layar ponselnya. Dia menoleh saat menyadari pergerakanku lalu tersenyum. Seperti biasa senyum hangatnya bisa mempercepat pemanasan global.

"Hai." Aku tersenyum membalas sapaannya.

"Udah lama di sini?" tanyaku sambil berusaha untuk duduk.

"Lumayan. Sejak kamu ngigau-ngigau manggil Ray. Aku heran dia itu punya hutang apa sama kamu sampai lagi sakit gini masih nyariin dia." Aku tertegun mendengar ucapannya.

"Aku ngigau?" Soka mengangguk.

"Aku agak sakit hati, sih. Udah ditolak, pas jenguk eh kamu malah ngigau nyebut nama orang itu." Sekarang senyum di wajah Soka terlihat pahit, membuatku merasa tidak enak.

Aku memang menolak Soka tidak lama setelah dia menyatakan cinta. Bagaimana bisa aku menerima cintanya pada saat hatiku sedang memikirkan orang lain? Meskipun mungkin orang itu tidak memikirkanku sekarang.

Satu hal yang kusukai dari Soka adalah sikapnya yang tetap tidak berubah meskipun aku menolaknya. Dia meminta Maple menemaniku kemarin lalu sekarang datang untuk menjenguk. Ada rasa tidak enak di hatiku saat melihat ketulusannya. Ketika kutanyakan tentang hal itu pada Soka, dia hanya tertawa dan berkata kalau penolakanku tidak akan pernah membuat kami menjauh. Dia justru tetap mau berteman. Ucapannya saat itu hanya memperbesar rasa bersalahku.

"Maaf. Aku nggak bermaksud menyakiti hatimu. Lagipula kamu kan sudah tahu kalau Ray sekarang sama Caramel." Terlihat dahi berkerut di wajah tampan Soka.

"Itu ... agak membuatku bingung, Illa. Bagaimana mungkin Ray bisa bersama Caramel kalau dia menyukaimu?" tanya Soka.

Aku menggeleng sambil tertawa tidak percaya. Sejenak laki-laki di hadapanku itu terdiam. Dia lalu membicarakan hal-hal lain yang lebih ringan. Tentang resep kue terbarunya dan bagaimana tokonya berkembang pesat setelah iklan yang kami kerjakan mulai tayang.

Ada rasa kebanggaan tersendiri saat mendengar kalau pekerjaanku bisa membantu seseorang mengembangkan usahanya. Sepanjang percakapan dengan Soka, senyumku lebih banyak keluar.

"Kamu jelas lebih cocok tersenyum dibanding bersedih, Illa." Soka berdiri ketika jam berkunjung selesai. Tangannya yang besar mengusap kepalaku. Aroma woody menguar dari tubuhnya.

"Cepat sembuh, ya. Jangan pikirkan hal-hal yang tidak berguna. Setelah sembuh dan kamu bisa makan enak lagi, aku traktir kamu di Cheeze Bakehouse." Setelah lambaian tangan ceria dari Soka yang menghilang di balik pintu, kusenderkan tubuh perlahan lalu mengambil baki makan malam yang disediakan untukku.

Begitu menyuapkan bubur, rasanya aku mau menangis. Ini penyakit paling tidak enak yang pernah kurasakan. Bayangkan, aku tidak bisa makan makanan lain selain bubur! Di saat seperti ini, membayangkan Baklava Cheesecake yang tadi diceritakan Soka, membuat air liurku hampir menetes.

Susah payah kutelan bubur dengan bantuan air mineral. Mungkin akan lebih baik kalau perawat membawakan sedotan sekalian, jadi aku tidak perlu mencecap makanan kental itu terlalu lama. Baru saja kuletakkan sendok dan garpu, pintu kamar terbuka lagi.

Biasanya Kale akan datang jam segini lalu dia akan duduk di pojokan sambil main game, sesekali mengecek kondisiku lalu tertidur karena lelah. Aku mendongak, berharap menemukan saudara jangkungku tapi malah bertemu dengan bola mata cokelat yang menatap dengan pandangan bersalah.

"Hai, La." Suara Ray terdengar gugup. Dia lalu masuk diikuti oleh Caramel.

Hal terakhir yang ingin kulihat adalah mereka berdua. Rasanya seperti harus menghabiskan seloyang Cheesecake with Sour Cream Topping sendirian. Sia-sia saja Soka berusaha mengembalikan mood-ku karena saat ini yang ingin kulakukan adalah menangis. Daripada air mata jatuh sia-sia, aku berdiam diri.

Kata orang bijak, diam adalah emas. Kataku diam berarti menahan emosi untuk tidak menangis dan marah pada dua orang yang baru saja masuk. Caramel meletakkan buah-buahan segar, yang sudah pasti tidak bisa kumakan kecuali dibuat menjadi jus, lalu duduk dengan santai seolah tidak bersalah. Kupalingkan wajah menatap layar televisi yang padam karena tidak pernah menyala kalau tidak ada Kale.

"Gimana kondisi lo, La?" Sungguh, aku rindu mendengar suara laki-laki yang biasanya menjahiliku ini. Susah payah kuredam perasaan kecewa dan sedih hanya dengan mendengar suaranya saja.

"Sudah lebih baik," ucapku lirih.

"Muka kamu masih pucat, La. Mande bilang, trombositmu juga turun drastis. Kenapa kamu bisa nge-drop kaya gini, La?"

Aku ingin menjawab pertanyaan Caremel dengan telunjuk mengarah pada mereka tapi lalu akhirnya mendesah. Seharusnya aku memang tidak abai pada tubuh sendiri. Ray dan Caramel boleh jadi mencetuskan perasaan sakit hati dan sedih padaku, namun tidak seharusnya aku larut.

Kutatap mata Caramel yang sangat mirip denganku, berusaha menyelami isi hatinya. Kale bilang, kemungkinan saudara kembarku itu juga mengalami hal yang sama denganku. Hubungan love and hate yang sangat menyiksa kami berdua tanpa disadari. Tapi tidak kutemukan tanda-tanda rasa bersalah pada wajahnya.

"Seharusnya kalian bisa menebak, Ara. Gue sakit hati sama kalian. Jadi, bisakah kalian keluar dari kamar ini dan jangan pernah datang lagi selama gue sakit?"

Mata Caramel lansung berkaca-kaca. Dia membuatku menjadi penjahat sekarang. Ray menepuk-nepuk bahu saudaraku dan rasa benci itu muncul lagi.

"Sorry kalau kami mengganggu. Maaf untuk semuanya, Illa." Aku mengangguk kaku mendengar ucapan mantan sahabatku itu. Mereka berdiri lalu bersiap untuk keluar. Aku pura-pura tidak melihat bagaimana Ray menggandeng Caramel.

"Soka tidak menungguimu?" Sebelum keluar, kembaranku menoleh lalu menanyakan hal yang membuat kening berkerut.

"Untuk apa dia menungguiku?"

"Bukankah dia pacarmu?" Kali ini aku langsung tertawa. Bayangan menjadikan Soka pacar membuatku ingin tertawa.

"Dia tidak bisa menjadi pacar karena sudah kutolak berminggu-minggu lalu." Caramel menatapku bingung.

"Tapi dia tadi ke sini, kan?" Kusipitkan mata, bagaimana dia bisa tahu Soka tadi ke sini? Apakah sekarang Caramel merangkap pekerjaan menjadi cenayang?

"Soka menjengukku just as a friend. Hubungan pertemanan kami tidak akan berubah hanya karena penolakanku. Setidaknya itulah yang dikatakannya padaku. Hei, kenapa kalian berdua memelototiku?"

🍰🍰🍰

Aku sedikit kagum sama Vanilla.

Pengendalian dirinya kuat banget ya. Kalau aku sih bakal ngambek berminggu-minggu. 😢😢

Jangan lupa tinggal 4 part + epilog loh. Jadi tetap stay tune ya. Aku akan update lagi nanti minggu pagi. 😁😁

See ya!

with a lot of cheezy love,

Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro