25. Cinnamon Roll Cheesecake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(Kalau saja aku bisa menjauh dari rasa sakit ini. Sebentar saja)

Kale meneleponku puluhan kali sampai akhirnya dia menyerah dan mengirimkan pesan menanyakan aku sedang dimana. Kubalas pesan itu dengan ucapan kalau aku baik-baik saja dan sedang lembur untuk menyelesaikan pekerjaan. Setidaknya itu bisa membungkamnya untuk sementara.

Rasanya aku seperti orang bodoh yang takut untuk pulang. Menjelang jam 12 malam, aku menyeret kaki ke arah rumah, seharusnya Ray sudah pulang karena dia sedang sakit. Aku sangat mengantuk dan mataku sudah separuh tertutup ketika membuka pintu rumah.

Mande berdiri di hadapanku seperti banteng terluka dan manatap tajam. "Jam berapa ini, Vanilla?"

"Hampir jam 12, Mande," sahutku lelah.

"Jangan terlalu banyak bekerja. Istirahatlah. Besok Mande akan minta Kale untuk mengantar dan menjemputmu supaya tidak terlalu malam." Aku hanya bisa mengangguk mendengar ucapan Mande.

Di depan pintu kamar, Caramel menghadangku. Dia sudah siap untuk tidur. Mengabaikannya, aku membuka pintu. Namun sebelum pintu tertutup, dia masih sempat menaburkan garam di lukaku.

"Illa, aku jadian sama Ray. Kamu tahu bagaimana perasaanku padanya, kan?"

Kubanting pintu sebelum kalimatnya selesai. Rasanya aku ingin menghilang saja. Bagaimana bisa Caramel mengatakan hal itu. Bukankah saat di pulau aku sudah mengungkapkan perasaanku. Kenapa semuanya sangat kacau sekarang?

Berapa kali pun mencoba berpikir, tidak bisa kutemukan di mana letak kesalahanku. Aku menangis pelan dan lama sampai segalanya memudar. Ketika bangun, tenggorokan dan kepalaku sakit. Kupaksakan bangkit dan bersiap-siap.

Kale bertanya apa yang terjadi padaku, tapi aku tidak sanggup bercerita. Kalau keluar satu kata dari mulutku, pasti air mata akan mengucur deras. Jadi sepanjang perjalanan aku hanya berdiam diri.

Sepanjang bekerja di DNA, baru kali inilah aku nyaris membisu sepanjang hari. Hanya menjawab ketika ditanya. Aku melewati jam makan siang dengan meeting kemudian menemui bagian produksi, berusaha sebisa mungkin jauh dari Ray.

Laki-laki itu sepertinya beberapa kali mengamatiku. Namun sekuat tenaga aku berusaha tidak meliriknya. Begitu banyak hal menyakitkan yang terjadi dalam beberapa hari ini. Sore hari, aku merasakan AC terlalu dingin. Kuminta seseorang untuk menaikkan suhu tapi itu belum cukup. Rasanya aku malah jadi menggigil.

"Illa? Mukamu merah sekali. Kamu sakit?" Aku mendongak, berusaha fokus untuk melihat siapa yang ada di depanku.

"Nggak. Aku nggak sakit," gumamku tidak jelas. Sepertinya yang ada di hadapanku adalah Mas Bas.

"La, mendingan kamu pulang, deh. Istirahat, ya? Semua tugas udah beres, kan?" Aku mengangguk dan berterima kasih. Sepertinya pulang masih lebih baik daripada kedinginan di sini.

Baru saja aku berdiri, ketika kurasakan nyeri di bagian perut. Rasanya mual sekali kemudian segalanya terasa berputar. Masih terdengar teriakan yang memanggil namaku ketika kegelapan merengut secara paksa.

Aroma rumah sakit menguar ketika mataku perlahan membuka. Ada selang infus yang menancap di tangan kiriku. Menahan denyut nyeri di kepala, kupalingkan wajah, berharap melihat seseorang yang kukenal di sini. Ruangan ini kosong.

Terdengar pintu dibuka dan Mande masuk. Wajahnya terlihat khawatir sekali. Dia menatapku dan tersenyum. "Kenapa kamu melewatkan makan pagi dan siang, Illa? Ususmu juga luka, kemungkinan karena kafein."

"Maaf, Mande. Aku udah bikin Mande cemas," kataku lirih. Perempuan yang kusayangi itu mengelus rambut tanpa berkata-kata.

"Dugaan dokter kamu terkena demam typhoid, tapi hasil tes darahnya belum keluar. Sekarang, kamu istirahat dulu ya, La." Sabda Yang Mulia Mande adalah mutlak. Jadi aku memilih untuk memejamkan mata walaupun tidak ingin tidur.

Kembali terdengar pintu dibuka dan seseorang masuk ke dalam. Aku malas untuk bertemu dengan penjenguk yang biasanya akan bertanya-tanya kenapa bisa sakit, kronologis sakit dan lain sebagainya. Jadi, aku tetap memejamkan mata berpura-pura tidur.

"Maaf ya, Ray jadi merepotkan kamu. Padahal kamu sudah ada janji dengan orang lain." Untunglah aku memejamkan mata, jadi tidak perlu melihat wajah Ray.

"Nggak apa-apa, Mande. Ara yang ke sana. Nanti Ray nyusul." Hening sejenak. Kurasa Mande mengangguk lalu duduk di kursi yang disediakan di kamar rawat itu.

"Dokter bilang Illa sakit apa, Mande?"

"Kamu tahu sendiri kenapa Illa sakit, Ray. Sudahlah. Lebih baik kamu pergi ke acaramu. Ara pasti sudah menunggu di sana."

Ray menggumamkan sesuatu yang tidak bisa ditangkap. Setelahnya aku mendengar pintu dibuka lalu ditutup.

"Vanilla, Mande tahu kamu belum tidur. Dia sudah pergi." Aku membuka mata dan menatap bola mata ibuku yang bersinar sedih.

"Mande tahu?" tanyaku dengan nada suara bergetar.

"Apa yang Mande tidak tahu dari anak-anak Mande." Mendengar ucapannya, aku tidak tahan lagi. Dalam pelukan hangat Mande, aku menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Semua penderitaanku rasanya keluar begitu saja. Mande menepuk-nepuk punggunggku untuk menenangkan. Kemudian aku tertidur lama dan panjang. Lelah batin dan badan.

Aku positif terkena typhus dan harus dirawat selama tujuh hari. Kale yang paling sering menemaniku saat malam. Rumah sakit dengan bau khasnya membuatku enggan berlama-lama di sana, tetapi tubuh yang tidak bisa diajak kerjasama ini membuatku teronggok berhari-hari, tidak mampu melawan sakit.

Ini hari ketiga dan aku yang terbaring bosan sedang memperhatikan Maple bersenandung sambil mengupas apel, untuk dirinya sendiri tentu saja. Dokter tidak memperbolehkanku untuk makan yang kasar. Rasanya seperti kembali menjadi bayi lagi. Kutatap gadis yang sedang santainya memasukkan apel ke dalam mulut.

"Enak ya, Pel?" tanyaku pelan. Dia mengangguk tanpa rasa bersalah.

"Kak Illa makan bubur aja. Sama jus yang dikasih perawat, tuh." Aku menoleh melihat gelas jus semangka lalu menggeleng. Setiap hari jus itu dikirim dari dapur rumah sakit. Awalnya aku senang karena jus segar itu lebih kaya rasa dibanding bubur plain. Sayangnya setelah tiga hari berturut-turut aku merasa sangat bosan.

Ponselku disita oleh Kale, katanya aku tidak boleh banyak pikiran. Bujukan untuk membawakanku buku juga ditolak mentah-mentah. Tugasku hanya satu, tidur yang banyak supaya badan lekas sembuh. Seperti ada hal lain saja yang bisa kulakukan dengan badan lemas seperti ini.

Untunglah Maple diperbolehkan datang weekend ini. Adanya orang yang menemani walaupun tidak bicara banyak, membuatku sedikit nyaman ketimbang harus berbaring diam-diam seorang diri.

Kale yang sangat berterima kasih pada Maple karena bisa menggantikan tugasnya sejenak, langsung pulang untuk hibernasi. Aku memperhatikan interaksi antara kakak sulung dengan adik kelasku itu. Pipi Maple merona ketika Kale menggodanya.

"Sejak kapan suka sama Kale, Pel?" Pertanyaanku membuatnya tersedak.

Sementara dia minum air sambil mengomel, cengiranku melebar. Lucu sekali dia ini, membuatku ingin menggodanya lagi.

"Kale lagi nggak punya pacar tuh, Pel. Nggak mau coba deketin?" Senyumku sambil melirik gadis yang salah tingkah di hadapanku.

"Kak Illaaaaa! Kenapa sih suka banget godain Maple? Harusnya kakak godain Kak Soka aja biar nggak sakit kaya gini. Seenggaknya Kak Soka bisa bahagiain Kakak." Keningku berkerut mendengar ucapan Maple. Kenapa jadi ke Soka, sih?

"Apel, ini bukan tentang Kakak. Kakak lagi pusing mikiran hubungan. Mendingan mikirin Kale sama kamu. Jadi, sejak kapan kamu suka Kale?"

Rona merah menyebar di pipi Maple yang membuatnya terlihat cantik. Oh, jadi jatuh cinta bisa bikin perempuan cantik, ya? Aku tersenyum melihatnya. Sungguh suatu hiburan ketika akhirnya Maple bercerita panjang lebar bagaimana dan sejak kapan dia jatuh cinta pada kakakku.

Suara Maple perlahan menghilang dari pendengaranku. Aku kembali jatuh dalam tidur panjang tanpa mimpi yang melelahkan. Bergelung seperti Cinnamon Roll Cheesecake, berusaha menyembuhkan hati dan tubuh.

🍰🍰🍰

Haii ...

Maafkan aku yang baru update sekarang.

Selamat menikmati Cinnamon Roll Cheesecake yaaa.

with a lot of cheezy love.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro