28. Salted Caramel Cheesecake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(Cinta dan benci memang hanya dipisahkan oleh garis tipis yang bisa rapuh kapan saja)

Sewaktu kecil, aku seringkali mengagumi kakak perempuanku saat menari. Dia begitu langsing, gemulai dan semua gerakannya seirama dengan lagu. Caramel juga ramah, sering tersenyum dan menyenangkan jika diajak bicara.

Berbanding terbalik denganku yang seringkali gugup saat harus membuka percakapan, Caramel lebih mudah mendapatkan teman. Masa-masa di sekolah dasar bersamanya merupakan yang terberat bagiku. Orang-orang sering membandingkan kami, lalu berakhir dengan menertawakanku.

Aku sering merasa iri pada Caramel sampai kemarahanku meluap ketika dia berkata kalau aku beruntung. Tidakkah dia menyimak ceritaku saat di Pulau Putri? Tidakkah dia bisa menduga bagaimana rasa sakitku karena ditertawakan?

"Apa maksud lo?" tanyaku dengan bingung.

"Kamu punya segalanya! Kale dan Mande lebih sering dengerin cerita kamu. Ray juga selalu ada di samping kamu! Tapi kamu malah ngebuang semua demi hal lain."

"Gue nggak pernah ngebuang semua demi hal lain." Ucapan bernada heran itu keluar begitu saja.

"Kamu nggak tahu seberapa besarnya keinginanku untuk dilihat oleh Ray? Kamu nggak peduli sama aku, sibuk dengan dunia sendiri. Oh ya, dunia yang menyenangkan. Kamu mendapatkan semua yang aku inginkan." Napasku tersentak kaget mendengar nada suara penuh permusuhan dari Caramel.

Tiba-tiba saja semua menjadi jelas. Tidak hanya aku, Caramel pun tersiksa dengan hubungan cinta dan benci yang mengakar kuat di antara kami. Kilasan-kilasan masa lalu menyeruak begitu saja dalam ingatan.

Ketika aku menangis setelah terjatuh di panggung fashion show dan Mande menghibur. Saat Kale lebih memilih mengantar jemput karena aku lebih sering tersasar. Juga ketika Ray mengucapkan bahwa hatinya dipenuhi olehku.

Aku melihat mata Caramel dan tahu dia merasakan semua yang kurasakan selama ini. Aku iri padanya dan dia iri padaku. Rasa itu begitu kuat sampai mengalahkan akal sehat. Mataku terbelalak menatap Caramel yang masih melihat dengan pandangan berapi-api.

"Aku benci kamu, Vanilla! Apa pun akan kulakukan sampai kamu hancur!" Ucapan penuh kebencian itu seperti kutukan.

Belum sempat membalas ucapannya, tiba-tiba saja Mande masuk. Bagian depan celananya basah tersiram air. Sepertinya ibuku terburu-buru masuk saat mendengar keributan.

"Apa yang kamu katakan, Caramel? Kenapa kamu tega berkata seperti itu pada Vanilla?" Mande bertanya dengan nada murka yang langsung membuatku waspada.

"Mande selalu membela Vanilla. Hanya dia anak kesayangan di keluarga ini!" jeritan Caramel membuatku kaget.

"Mande tidak pernah membela siapa-siapa. Jaga ucapanmu, Caramel. Tenangkan dirimu. Duduk di sana! Mande ganti celana dulu lalu kita akan bicara baik-baik. Kamu juga Vanilla!" Aku terlompat kaget saat Mande juga menatapku marah.

Caramel masih gemetar menahan emosi saat melangkah ke ruang duduk. Tangan besar Ray berada di pundak saudaraku itu untuk menenangkannya. Meskipun enggan karena ada dua orang yang sering memancing emosi belakangan ini, namun aku tidak kuasa menolak perintah Mande. Bisa dibayangkan bagaimana murkanya dia saat menemukanku tidak ada di ruang duduk.

Mande keluar lima menit kemudian, dia meminta Ray untuk meninggalkan kami. Katanya ini adalah urusan keluarga. Mantan sahabatku itu mengangguk lalu menyalami Mande dan keluar tanpa kata-kata. Tepat ketika suara motor Ray menghilang dari pendengaran, Mande menatap kami dengan tajam.

"Bisa jelaskan ada apa dengan kalian?"

Kakakku langsung mendengkus dan membuang muka. Sepertinya dia muak sekali dengan hubungan kami. Aku pun mengangkat bahu tidak peduli.

"Kalian berdua ingat apa kata ayah sebelum meninggal? Keluarga harus saling jujur dan menjaga. Kalau kalian begini, apa yang harus dijaga?" Kali ini nada suara Mande terdengar lirih dan saat menatapnya aku melihat mata Mande berkaca-kaca.

Demi apa pun di dunia, hal yang paling tidak kuinginkan adalah melihat Mande menangis. Ibuku ini memang galak, tetapi hatinya seindah berlian. Hatiku terasa diremas saat melihatnya menitikkan air mata.

"Ada apa dengan kalian? Jujurlah, meskipun itu menyakitkan," kata Mande lagi.

"Vanilla benci Caramel, Mande," kataku pelan dan menarik napas. Kalau kejujuran yang Mande minta, aku akan berikan meskipun sangat berat mengungkapkannya.

"Vanilla benci Caramel karena dia sempurna. Caramel cantik, cerdas, pintar bicara dan supel. Di sampingnya aku bagaikan itik buruk rupa yang salah tempat. Aku ingin seperti Caramel, tapi nggak bisa. Dia terlalu sempurna." Aku menunduk, menyembunyikan tangis yang hampir pecah.

"Waktu SD teman-teman bilang kalau aku idiot dan hanya memiliki sisa-sisa otak. Orang-orang juga suka mengomentari dan membandingkan jika aku menolak dipegang karena mereka gemas saat kecil. Aku semakin takut sama keramaian dan akhirnya harus ke psikolog untuk mengurai rasa takut dan trauma saat SD." Satu isakan lirih keluar dari bibirku.

Ini adalah masa-masa kelam yang menyakitkan. Orang lain mungkin mengira kalau itu adalah hal sepele, namun bagiku itu hal yang mengerikan. Bagaimana perasaanmu ketika hidup dalam ketakutan karena dibicarakan orang lain? Menduga-duga bahwa mereka membicarakanmu di belakang dengan kata-kata menyakitkan?

"Ray membantuku. Dia mendampingi sejak awal saat aku rutin ke psikolog sekolah. Aku nggak mau kasih tahu Mande biar nggak kepikiran."

Hening yang menyakitkan itu datang. Aku bahkan tidak berani memandang Caramel. Terlalu takut kalau ternyata dia akan mengeluarkan kata-kata menyakitkan.

"Aku juga benci Vanilla. Dia punya sahabat yang baik seperti Ray, teman-teman yang menyenangkan. Semua yang berhubungan dengan Vanilla sangat menyenangkan. Aku nggak pernah punya sahabat yang begitu awetnya seperti Ray dan Maple." Aku mendongak dan melihat air mata mengalir di pipi Caramel.

"Tadinya aku mau merusak hubungan Ray dan Vanilla dengan bilang kalau dia sudah pacaran sama Soka. Aku juga bilang ke dia kalau pacaran dengan Ray. Aku berharap bisa mendapatkan perhatian Ray."

"Jadi kamu mau bilang ini semua karena satu cowok, Caramel?" Mata Mande bersinar penuh amarah pada kakakku.

"Aku cuma kepingin punya sahabat Mande!" Sebelum Mande meledak dalam amarah karena ucapan Caramel, aku langsung menyambar tangan perempuan yang melahirkanku itu. Sebuah pemahaman muncul dalam kepalaku.

"Illa rasa, inilah kejujuran yang sebenarnya Mande. Bahwa Illa iri pada Ara. Bahwa Ara hanya ingin memiliki seorang sahabat sejati." Aku menghela napas.

"Bagaimana caranya supaya kami bisa kembali normal, Mande?" isakku. Mande menarikku dalam pelukannya, begitu juga Caramel.

"Kalian berdua lahir di hari yang sama. Caramel lebih tua lima menit, memang. Meskipun kembar, tidak akan pernah ada manusia yang benar-benar sama. Kalian manusia, bukan kloningan. Kalian punya perasaan dan kesukaan yang berbeda. Itu sangat normal, Vanilla. Jangan pernah bilang kalian nggak normal." Aku terisak dalam pelukan Mande. Betapa hati ini terasa sangat ringan saat mendengar ucapannya.

"Kalian berdua adalah berkah dari Tuhan untuk Mande dan Ayah. Kalian memang memiliki sifat bertolak belakang, tapi itu bukan kesalahan. Itu adalah cara Tuhan membuat kalian saling melengkapi." Sekarang giliran Caramel yang terisak.

"Sahabat. Siapa yang tidak menginginkan sahabat? Mande adalah ibu dan juga sahabat kalian. Illa beruntung karena menemukan sahabat sejati, tapi Ara juga harus berusaha. Kamu tinggal membuka mata dan hati, Ara. Sahabat sejati ada bukan hanya saat senang, tapi juga sedih. Tidakkah ada orang seperti itu dalam hidupmu, Ara? Mande yakin ada. Hanya saja kamu belum terbuka mata dan hatinya."

"Benci dan cinta adalah hubungan dengan pembatas berupa garis tipis. Percayalah, cinta di antara kalian berdua lebih besar daripada benci. Mande masih ingat waktu Illa berteriak kesakitan ketika Ara sakit di Bandung. Juga ketika Illa terluka di kepala dan Ara langsung merasakan nyerinya. Itu adalah bukti kalau kasih sayang di antara kalian sangatlah besar. Jangan terus melihat masa lalu, Illa. Majulah ke depan. Ara sangat menyayangi dan membutuhkanmu sebagai saudara, juga sahabat."

Dalam pelukan Mande, kulirik saudara kembarku yang balas melihat. "Jelaskan kesalahpahaman antara hubunganmu dengan Ray, Ara. Sekali ini saja Mande membuat permintaan. Selesaikan masalah kalian baik-baik."

Tanpa kuduga, tiba-tiba saja Caramel beranjak dan memelukku erat. Dia menangis terisak-isak sambil membisikkan ucapan permintaan maaf. Kami meleleh seperti Salted Caramel Cheesecake saat Mande memelukku dan Caramel dengan perasaan sayang. Seperti kata Mande, kejujuran mungkin menyakitkan. Namun yang kuketahui adalah kejujuran juga bisa melegakan.

Pintu depan mendadak terbuka dan Kale melangkah masuk. Dia menatap kami yang masih berpelukan dengan pandangan bertanya. "Apa kalian sedang main peluk-pelukan seperti Teletubbies?"

🍰🍰🍰

Sebenarnya hubungan antara Caramel dan Vanilla seperti hubungan saudara yang seringkali bertengkar lalu berbaikan kembali. Hanya saja, trauma membuat mereka jadi saling menutup diri.

Enjoy this cake.

With a lot of cheezy love,

Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro