29. Carrot Cheesecake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(Akan ada hari di mana kita bisa duduk berdampingan tanpa memendam iri)

Akhir pekan penuh emosi yang dikacaukan oleh Kale dengan pertanyaan kekanakannya, sudah selesai. Setelah makan malam, Caramel naik ke kamarku dan bercerita semua hal tanpa kecuali. Aku merasa menemukan sahabat baru.

"Kurasa ... kita harus lebih sering menghabiskan waktu bersama. Tapi kali ini, harus lo yang lebih banyak bercerita, Ara." Dia tersenyum cerah dan mengangguk.

"Waktu di pulau itu, kayanya gue fokus ke diri sendiri. Maaf ya, Ra," gumamku dengan jemari mempermainkan selimut.

"Iya. Aku juga nggak jujur waktu itu."

Aku mencari-cari foto yang sudah dicetak Cori lalu memberikannya pada Caramel. Dia tersenyum dan berkata kalau aku cocok menjadi model juga. Sambil tertawa kukatakan kalau itu terakhir kalinya aku mau bergaya di depan orang banyak.

"Maaf ya, Illa. Gara-gara aku, kamu sampai sakit. Aku takut banget sampai nggak berani jenguk kamu berhari-hari. Apalagi terus kamu tambah parah setelah kami datang." Caramel menatapku dengan pandangan bersalah saat dia akan keluar kamar. Aku memeluknya sekali lagi, mengatakan kalau yang sudah berlalu biarkan berlalu.

"Kalau lo benci sama gue, bilang aja terus terang, Ra. Sekarang hubungan love and hate kita akan lebih terbuka." Dia tertawa menanggapi gurauanku lalu keluar dari kamar.

Senin pagi ini semuanya berjalan seperti sediakala. Kale akan mengantarku dan Caramel ke tempat kerja kami masing-masing. Saudara kembarku turun dari mobil sambil memberi kode dengan ponselnya. Merasa bingung, aku membuka satu pesan darinya lalu langsung tersenyum.

Have a nice day, my dear Illa.

Pesan Caramel memang singkat tapi rasanya sudah lama sekali kami tidak seperti ini setelah masa-masa penuh emosi. Sekarang, masalahku hanya tinggal satu orang. Kale sempat menanyakan apakah aku perlu bantuannya untuk bicara dengan orang itu hari ini, yang kujawab dengan gelengan.

"Anytime you need my help, call me ya Illa." Saudaraku itu mencondongkan tubuhnya dan mencium pipiku sekilas.

Kucek ponsel sekali lagi sebelum turun. Semalam, setelah Kale memberikan ponselku, hal pertama yang kulakukan adalah mengeceknya. Tidak seperti dugaanku sebelumnya, tidak ada hal-hal aneh di sosial media tentang Caramel dan Ray.

Aku tersenyum saat memasuki lobi DNA. Rindu sekali bekerja setelah hampir dua minggu terkapar. Sampai sekarang pun aku masih sering lemas kalau terlalu lama berdiri dan belum bisa makan yang keras. Namun setidaknya aku ada kegiatan dibanding harus terus berbaring seperti bayi di rumah.

"Welcome, Vanilla. Ya ampun, lama banget kamu nggak masuk, ya?" Aku tertawa mendengar sambutan Mas Bas. Creative Director-ku ini sempat menjenguk dua kali di rumah sakit bersama dengan oleh-oleh berupa ucapan cepat masuk lagi.

Aku agak bersalah harus sakit saat pekerjaan sedang menumpuk banyak. Untungnya ada beberapa anak magang yang datang dan bisa membantu. Mas Bas memanggilku ke ruangannya dan menjelaskan beberapa pekerjaan yang sebelumnya dikerjakan penggantiku.

Penjelasan Mas Bas ternyata menghabiskan waktu cukup lama dan saat aku keluar dari ruangannya, jam makan siang sudah tiba. Cori melewati ruanganku dan berhenti sebentar. Kami mengobrol dan berakhir dengan ajakan makan siang.

"Sorry, Cori. Gue dibawain bekal. Mungkin next time setelah badai yang mengguncang pencernaan gue selesai, ya?" Dia tertawa mendengar analogiku lalu melambaikan tangan dan beranjak menuju kantin.

Mande membuatkan bekal berupa nasi tim. Jadi aku tidak perlu makan di kantin. Kata Mande, sehabis typhus aku harus lebih menjaga pola makan dan kebersihannya. Kuambil kotak bekalku dan beranjak menuju pantry.

Aku meringis saat melihat menu makanan yang dibawakan Mande. Nasi tim dengan daging ayam cincang. Untunglah, tadi aku berniat membuang bekal kalau Mande membawakanku bubur. Cukup sudah penderitaanku dengan bubur. Mungkin selama satu tahun ke depan aku tidak akan sanggup memakan bubur.

Kupanaskan bekal di microwave. Sambil menunggu, aku mengecek ponsel. Ada beberapa pesan dari Mande beserta instruksi agar aku memakan bekal sampai habis. Soka juga mengirim pesan. Dia bilang akan mengirim Carrot Cheesecake untuk merayakan kembalinya kesehatanku. Tentu saja kubalas dengan ucapan terima kasih. Laki-laki itu masih saja bersikap baik padaku, tidak seperti yang satu lagi.

Rasanya nikmat juga makan siang dengan tenang di pantry yang sepi. Semua terasa sangat nyaman sampai perempuan itu masuk. Pepper, temanku yang menjadi fans berat Ray, masuk sambil membawa biji kopi. Dia mengerutkan dahi saat melihatku namun mengangkat bahu dan melangkah ke coffee maker. Sementara itu, aku beranjak untuk mencuci kotak bekal. Hal yang paling kubenci adalah membawa kotak bekal kotor ke rumah.

"Sorry, Pepps, lo bisa minggir dikit? Gue mau nyuci kotak bekal." Dia mendengkus lalu sedikit menyingkir.

"Gue kira lo udah nggak punya nyali buat datang ke kantor ini." Ucapan itu pelan tetapi membangkitkan rasa ingin tahu.

"Kenapa harus nggak punya nyali?" tanyaku heran.

"Semua orang tahu lo marahan sama Ray terus cari perhatian ke client lo itu, siapa namanya? Soka? Terus mereka sempat berdebat di sini sehari setelah lo masuk rumah sakit. Ray dipanggil big boss dan entah dapat hukuman apa. Makanya gue pikir lo nggak bakal berani masuk setelah bikin sahabat lo sendiri dalam masalah."

Aku tercengang mendengar ucapan Pepper. Tidak pernah ada dalam pikiranku kalau Soka dan Ray akan berdebat di DNA. Kututup mata dan menyandarkan tubuh ke tempat cuci piring, tiba-tiba merasa gamang.

"Lo tuh suka ngerasa kecakepan ya? Mentang-mentang Ray selalu ada di samping lo. Padahal tahu nggak? Dia itu yang ngotot minta Mas Bas masukin lo ke sini. Padahal kemampuan lo itu nggak seberapa. Buktinya sebelum proofing, lo pasti minta pendapat gue." Pepper menyibak rambut panjangnya dengan gaya sementara aku hanya terdiam memandangnya.

"Jadi, lo itu masuk dengan koneksi. Catat! Koneksi. Huh! Menyebalkan. Puluhan orang yang melamar masuk ke sini dan lo yang diterima? Kalau bukan Ray palingan lo juga masih nyari kerjaan di luar sana."

Aku menimbang-nimbang ucapan apa yang harus diucapkan pada orang seperti Pepper. Manusia yang berbuat baik ketika merasa dia diuntungkan dan langsung berbalik memusuhi ketika dia tidak bisa mengambil keuntungan lagi.

Mungkin Pepper baik padaku sebelumnya untuk mendapat perhatian dari Ray bahwa dia memiliki jiwa penolong dan ringan tangan pada yang lain. Kemudian sekarang dia berani berkata seperti itu karena tahu tidak akan ada orang yang menolongku saat ini.

"Lo tahu, Pepps? Mungkin saja Ray membantu karena tahu potensiku. Aku meminta pendapatmu sebagai bagian dari proses kerja tim. Tanpa masukan dari lo, gue juga bisa aja langsung ke Mas Bas atau atasan lo. Tapi nanti lo gabut dong. Dude, orang branding bukan cuma lo seorang." Kataku santai sambil mencuci tangan dan mengeringkannya.

"Heh! Jangan besar kepala ya, lo." Aku berbalik mendengar ucapannya.

"Sorry! Rasanya ukuran kepala gue masih normal." Ingin rasanya tertawa melihat wajah merah padam Pepper yang tidak menyangka kalau aku masih membalas ucapannya.

"Damn you, Vanilla!" Aku berjaga-jaga kalau perempuan berambut panjang ini berani main fisik.

"Goodbye, Pepps. Jangan lampiasin amarah lo di kantor, ya. Bisa kacau nanti DNA." Cepat-cepat aku berjalan melewatinya.

Saat baru saja mau menarik pintu pantry tiba-tiba saja Pepper menarik rambutku. Reflek, aku menjerit kaget. Perempuan ini benar-benar gila! Dia mau dipanggil big boss apa gara-gara ulahnya. Sebelum aku bisa melepaskan diri, pintu terdorong membuka.

Aku masih mengernyit kesakitkan ketika terdengar suara ribut. Ray maju dan mencengkram pergelangan tangan Pepper sampai rambutku terlepas dari cengkramannya. Kuusap kepala dengan mata berkaca-kaca. Sepertinya Pepper dendam sekali sampai nyaris membuatku botak.

"Gue udah pernah peringatin lo buat nggak ganggu Vanilla, Pepper!" suara Ray penuh ancaman.

"Lo kan udah nggak ada hubungan lagi sama dia, Ray. Inget! Dia lebih milih ke pelukan client yang ganteng itu daripada sama lo." Pipi sebelah kanan Ray berkedut, bahkan aku bisa merasakan aura kemarahan menguar dari tubuh tinggi besar itu.

"Diam! Lo nggak tahu apa-apa. Asal lo tahu aja, Vanilla itu tunangan gue. Mana mungkin dia lebih milih Soka ketimbang gue."

Kesiap bukan hanya dari Pepper dan aku tapi juga orang-orang yang berkerumun di luar pantry karena mendengar keributan. Kutatap Ray dengan rasa tidak percaya. Sejak kapan dia jadi tunanganku? 

🍰🍰🍰

Aku tahu apa yang ada di dalam pikiran kalian. Pasti bingung yaaaa sama Ray ya. Hahaha. Tunggu lanjutannya besok ya.

with a lot of cheezy love,

Ayas


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro