30. Mini Malteser Cheesecake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(Ini bukanlah akhir, melainkan awal)

Aku memilin blouse putih yang tidak bersalah ini, entah untuk keberapa kalinya. Udara segar di rooftop yang bercampur dengan aroma kopi milik laki-laki di sampingku, semakin membuat gugup membumbung tinggi.

Tadi, setelah Ray melepaskan cengkraman Pepper dari rambutku, dan mengucapkan kata-kata yang membuat semua orang jantungan karena kaget, dia menarik tanganku. Aku tidak berani membantah atau bahkan menyela tindakannya. Ray mengetik dengan kecepatan tinggi saat kami di lift yang mengarah ke rooftop.

Tempat ini sebenarnya adalah tempat istirahat para karyawan saat break untuk merokok atau melihat langit di malam hari. Sudah kubilang kan, kalau pekerja kreatif selalu butuh tempat untuk mencari inspirasi. Tempat ini salah satunya.

"Gue udah minta tolong ke Mas Bas buat ngurusin si merica dan ngajak lo ngomong sebentar di sini." Hampir saja tawaku tersembur saat mendengarnya seenak hati mengganti nama orang.

"Vanilla ...."

Kali ini kutelan saliva mendengar suaranya lembut memanggil namaku. Perlahan, kuangkat wajah dan menatap Ray. Bola mata kami bertemu dan aku terkejut saat menyadari dia tidak lagi mengenakan softlens.

"Ray, softlens-nya?"

Dia terlihat terkejut lalu tersenyum. Sudut bibirnya yang terangkat sempurna membuatku teringat saat pertama kali mencecap bibir itu. Crap! Masalah belum selesai, otakku sudah geser begini.

"Gue udah baikan sama nyokap. Caramel yang bantu gue."

Aku tersenyum masam saat mendengar nama Caramel disebut. Mungkin saja ini namanya cemburu. Ketika aku kesal saat tahu Ray dekat dengan perempuan lain. Dia tersenyum kecil saat melihat reaksiku.

"Lo tahu apa yang konyol? Bokap gue udah berhubungan sama nyokap kira-kira setahun yang lalu. Mereka memang mungkin nggak bakal rujuk lagi, tapi begini pun gue udah bersyukur." Tanpa sadar, aku ikut tersenyum.

"Kenapa lo tiba-tiba sadar sih, Ray?" tanyaku ingin tahu.

Mata hijau Ray bersinar lembut saat menatapku. Dia tidak bicara apa-apa, hanya memandangiku.

"Kenapa sih, lo?" tanyaku jengah dilihat seperti itu.

Ray tertawa sementara aku meliahtnya dengan heran. Apa orang ini sudah mulai gila? Kupandangi rooftop, mencari-cari kemungkinan tercepat melarikan diri kalau orang di sampingku ini semakin gila.

"Jangan coba-coba buat kabur, Vanilla," katanya sambil tertawa.

Aku mendesah pasrah sambil menyendarkan tubuh ke sandaran kursi. Setidaknya aku bisa bersiap-siap membaca aneka macam doa kalau manusia satu ini mulai bertindak aneh.

"Jadi ... em, lo baikan sama nyokap, trauma perlahan hilang dan udah punya pacar. Congratulations Rayferine Sage. Lo udah bikin lompatan besar dalam hidup."

Kupikir Ray akan tersenyum bangga dengan ucapanku, sebaliknya dia malah terlihat gugup. Beberapa saat kami tenggelam dalam keheningan, hanya terdengar suara Ray menyesap kopinya.

"Dua hal pertama bisa gue terima, La. Tapi untuk yang terakhir belum bisa gue terima." Aku menaikkan satu alis dengan bingung.

"Tapi lo kan ... pacaran sama ... sama Ara." Sumpah! Rasanya aku mau mencabik-cabik mulut sendiri dengan ucapan ini.

Laki-laki jangkung di sampingku terdiam. Tangannya menggerak-gerakkan gelas kopi perlahan. Aku merasakan luka di hati perlahan menganga kembali lalu ada yang meneteskannya dengan garam sampai perihnya sangat menyakitkan.

"Ada alasan kenapa gue mau baikan sama nyokap. Dulu lo pernah bilang kalau setiap kejadian memiliki makna. Juga tentang bagaimana supaya gue maafin nyokap sebelum semuanya terlambat. Gue cuma nggak mau ngulangin kesalahan, La."

Kali ini mata itu penuh dengan sorot luka yang tidak kumengerti. Angin sepoi datang, memporakporandakan rambut sebahuku. Dia mengulurkan tangan dan menyelipkan seberkas rambut di balik telingaku. Tindakan yang nyaris membuatku dilarikan ke UGD karena serangan jantung mendadak.

"Waktu kita ketemu di mall dan Soka ngegandeng lo, Ara bilang kalian pasti sudah pacaran. Nggak pernah ada cowok lain yang ngegandeng lo selain gue dan Kale. Rasanya seperti terluka tanpa darah, La. Gue patah hati bahkan sebelum sadar jatuh cinta."

Aku ternganga kaget dengan ucapannya. Ucapannya ini mengingatkanku pada mimpi berminggu-minggu lalu.

"Ara nemenin gue ngelewatin hari patah hati. Dia juga yang nyadarin gue kalau ... kalau gue sebenarnya jatuh cinta sama lo, Vanilla. Bayangin, gue jatuh cinta sama sahabat sendiri. Orang yang tahu gue luar dalam. Literary luar dalam karena lo kan udah lihat waktu ...."

Kulempar wajah tampan yang sedang tertawa itu dengan tisu saat mengingatkan adegan memalukan ketika aku masuk ke kamarnya saat dia sedang berganti baju. Tangan besar Ray menangkap tanganku.

"Ara juga yang ngusulin supaya kita pura-pura pacaran. Buat lihat reaksi lo. Katanya kalau lo cemburu pasti itu tanda lo juga suka sama gue. Apa daya, lo malah sakit, terkapar di rumah sakit dan berakhir dengan bertengkar sama Ara. Sebenarnya, kembaran lo itu peduli. Dia cuma susah ngungkapin itu."

"Oke. Apa lagi pujian buat Ara?" Ray tertawa lepas.

"You're so cute when you are jealous, pumpkin."

"You ruin my life when you are jealous. Did I must remind that? Hampir satu bulan hidup gue seperti di neraka gara-gara lo." Kupelototi laki-laki yang langsung mengatupkan mulutnya itu. Ray menghela napas dan aku berhenti bicara hanya karena melihat raut penderitaan di wajahnya.

"I'm so sorry, La. The truth is ... I realize that I love you, Vanilla. Itu membuat gue mikir untuk berbaikan sama nyokap. Gue nggak mau kehilangan untuk kedua kalinya. Bahkan tanpa ada lo di samping gue, lo bisa merubah seluruh hidup gue." Ray tertawa kecil sementara aku menahan napas mendengar ucapannya.

"Oh, jadi karena itu."

"Ya. Gue nggak mau kehilangan kesempatan seperti saat lo sama Soka. Ternyata hasilnya cukup baik. Ditambah lagi waktu gue dengar pas di rumah sakit kalau lo nolak Soka."

"Jadi ini yang lo debatin di rumah sakit sama Ara?" Dia mengangguk malu.

"Kale marah sama kami berdua. Dia ngomel-ngomel persis seperti security sekolah mergokin anak yang bolos. Kuping gue sampai sakit. Tadinya gue mau minta maaf waktu lo pulang ke rumah. Cuma lo lebih suka berantem sama Ara dan gue diusir. Tapi masalahnya udah beres, kan? Ara cerita ke gue."

Aku merengut saat tahu hal itu. Caramel bercerita pada Ray sementara aku harus menahan perasaan sendiri. Menyebalkan sekali kembaranku itu.

"Terus apa maksud omongan lo di depan Pepper tadi?"

"Pumpkin, gue rasa lo ngerti semua ucapan gue tadi, kan?" Aku menggeleng sementara Ray menghela napas lagi dan berdiri lalu berlutut di hadapanku supaya mata kami sejajar. Sekejap aku mengerjapkan mata, terpana pada keindahan bola mata hijau yang menatap dalam.

"I said I love you. Do you love me, pumpkin? Gue memang takut sama komitmen, tapi bukan berarti nggak bisa jatuh cinta. Gue memang pengecut selama ini, tapi gue mau berubah. Vanilla ... would you be my future?"

Ingatanku kembali melayang pada mimpi di malam itu. Kucubit lengan Ray sampai dia menjerit kesakitan dan protes kenapa aku mencubitnya. Aku hanya tertawa kecil dan justru teringat lagu HIVI!.

Dan tak mungkin 'ku melewatkanmu hanya karena

Diriku tak mampu untuk bicara

Bahwa aku inginkan kau ada di hidupku

"Kalau gue bilang iya, apa yang mau lo lakuin, Ray?"

"Ngejagain kamu seumur hidup, dong. Ish, kenapa, La?" Aku mencubitnya lagi saat mendengar ucapannya.

"Aku-kamu itu bikin aku merinding."

"Sendirinya pakai aku-kamu." Ray membawaku dalam pelukannya selagi kami tertawa bersama. Dia mengecup puncak kepalaku.

"God! I really miss you, pumpkin. Jangan pernah lagi kita diam-diaman lama seperti ini, ya?"

Bagaimana aku bisa menolak saat Ray tidak membutuhkan jawaban. Rasanya aku sekarang berubah menjadi Mini Malteser Cheesecake yang meleleh dalam pelukan dengan aroma mint. Semua ini terasa begitu pas dan benar.

"Kamu pernah ke rumah sakit waktu aku tidur?" tanyaku penasaran pada mimpi beraroma mint saat dirawat.

"Kalau ada kesempatan, Gimana kamu bisa tahu?" Aku hanya mengulum senyum dan memeluk laki-laki yang masih memandang dengan bingung.

"Maybe ... because I love you," ucapku pelan.

"Sumpah! Kamu cheesy banget, La."

"Eh, kamvret, kamu tuh yang cheesy," seruku tidak terima.

"Kalian berdua yang cheesy-cheesy, bukannya balik kerja malah pacaran!" Kami menoleh ke arah Mas Bas yang menatap dengan garang. Lalu buru-buru berdiri dan bergegas kembali ke ruangan sambil tertawa sebelum tambah diomeli dan dipanggil ke ruangannya.

🍰🍰🍰

Kata siapa ini akhir?

Masih mau tersenyum melihat kolaborasi Vanilla-Ray yang bisa membuat hati berdebar? Nantikan besok yaa.

with a cheezy love,

Ayas


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro