3. Unbaked Cheesecake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(Hidup terasa sempurna seperti Unbaked Cheesecake yang lumer di mulut jika kamu bisa merasakan persahabatan sejati tanpa ada yang perlu ditutupi)

Kalian pikir akan melihat kejadian romantis? Jangan lupa di sana ada Ray, si Raja Jahil yang hobi membuat hidupku seakan-akan hiburan baginya. Dua detik sebelum tangan Soka menyentuh pipi, Ray mengulurkan tangan dan mengusap SEMUA bagian wajahku dengan tisu sampai aku sulit bernapas.

"Makan jangan kaya bebek, La."

Tega banget dia bawa-bawa bebek yang tidak bersalah dan berdosa. "Emangnya lo tahu bebek kalau makan belepotan?" Ray mengangguk takzim.

"Kapan?"

"Sekarang," jawabnya kalem sambil menunjukku.

Sial! Manusia ini pantas dicabuti semua bulu kakinya. Wajahku memerah, apalagi saat mendengar Soka kembali tertawa. Mungkin dia seperti sedang melihat duet stand-up comedy. Hiburan sekali ya kami berdua?

"Tapi tenang aja, La. Mau lo kaya bebek juga gue tetep sayang." Soka langsung terdiam mendengar ucapan manusia setengah sinting yang tersenyum dengan tidak berdosa.

"Kalian ini pasangan?"

"Nggak!" jawabku cepat.

"Iya!" Kali ini aku melotot mendengar jawaban Ray.

"Kami pasangan. Partner in crime. Gue sama Illa udah temenan selama bertahun-tahun. Bukan begitu pumpkin?" Ray tersenyum.

Salah satu hobi Ray yang lain adalah memanggilku dengan nama makanan atau sayur. Sekarang itu menjadi hal yang paling menyebalkan adalah ketika kita dipanggil nama itu di depan orang yang kita suka.

"Bukan," ketusku sebal. Ini orang kenapa sih hobi banget gangguin aku?

"Gue nemu Illa sepuluh tahun lalu. Lagi berdiri di depan gerbang sekolah antara kebelet pipis atau mau nangis. Dia lupa bawa tugas yang disuruh kakak kelas pas orientasi sekolah," kata Ray lagi.

"Nemu, nemu! Emangnya gue kucing?"

"Yah, pas itu muka lo mirip banget sih kaya anak kucing tersesat."

Duh, Mande! Dosa apa aku, bisa ketemu makhluk ajaib ini. Aku tidak mengucapkan apa-apa lagi dan kembali menyuap kue. Berharap sikap ini bisa membuat Ray diam. Untunglah setelah itu keisengan si jangkung berhenti.

Selesai makan, Soka mengajak kami makan siang di foodcourt. Sebelumnya dia sempat membungkus dua slice Unbaked Cheesecake untuk kami. Aku langsung mau sujud syukur karena dapat client seperti dia. Lumayan uang jajan anak gadis bisa ditabung.

Berhubung perutku sudah kenyang dengan semua makanan manis dan kopi, aku hanya memesan kentang goreng di gerai makanan cepat saji. Sementara Ray memesan nasi kari. Aku rasa badan tinggi itu berarti ususnya juga panjang. Sulit dibayangkan dia masih sanggup makan berat setelah makan cheesecake.

Kuperhatikan rambut cokelat Soka yang juga dipotong model undercut. Fitur wajahnya yang tegas, bibirnya yang merah alami, rasanya aku sanggup memandangnya sepanjang hari. Untunglah kami membicarakan lebih mendalam tentang konsep yang diinginkan Soka dalam iklan, jadi aku tidak sempat bengong sambil ngiler lagi waktu lihat dia.

Memang benar, makanan bisa melonggarkan lidah dan ide. Aku menyesal tidak membawa laptop mengingat dalam satu jam ide seperti banjir bandang datang dari obrolan kami. Terpaksa aku hanya mencatat di ponsel.

Meminjam catatan Ray hanya akan menimbulkan sakit kepala. Orang itu tidak pernah menulis banyak, dia mencatat dengan cara menggambar. Pernah aku menemukan gambar kucing saat kami meeting untuk membicarakan iklan cat. Jadi bisa dibayangkan catatannya saat ini pasti penuh dengan gambar kue.

Aku agak tidak rela ketika kami harus kembali ke kantor sementara Soka kembali mengurus bisnisnya. Namun sebelum berpisah, Soka tiba-tiba memanggil dan meminta nomor ponselku. Rasanya aku seperti melayang-layang karena senang.

"Dimintain nomer aja, seneng banget," sindir Ray saat kami sedang menunggu taksi online.

"Jangan iri dong, Ray."

"Dih! Ngapain iri? Emangnya gue jeruk makan jeruk?" Aku tertawa mendengar ucapan makhluk setengah gila ini.

Tiba-tiba seorang perempuan menghampiri kami. Usianya sekitar 17 tahun dan dia datang bersama dengan beberapa anak perempuan yang mengobrol dengan ramai. Sepertinya mereka baru pulang sekolah.

"Permisi! Boleh kenalan sama kakak?"

Gosh! Aku melotot dengan kaget melihat keberanian anak yang menghampiri Ray itu. Dia nggak lihat apa ada cewek manis yang berdiri di samping Ray? Oh, mungkin saja dia mengira aku baby sitter laki-laki jangkung ini.

"Wah, maaf ya, Dek. Kakak lagi asyik pacaran nih. Lain kali saja, ya." Tepat saat itu taksi online pesanan kami datang. Ray menautkan tangan kami dan kali ini dia duduk di belakang bersamaku.

"Gue nggak suka sama cewek agresif," katanya pelan.

"Siapa yang nanya?"

"Lo kok jahat banget sih, La?" Sekarang Ray pura-pura cemberut.

"Lagian lo ngaku-ngaku. Pacaran. Cih."

"Daripada gue bilang lagi nemenin nenek gue ke mall, pilih mana?" Aku tertawa keras. Baiklah, sekali lagi Ray menang. Aku tidak pernah tahan untuk marah lebih dari 10 menit dengannya.

Saat tiba di kantor, aku langsung membuka laptop, mencatat semua hasil diskusi selama makan siang. Selagi bekerja, kulirik Ray yang sedang bicara dengan creative director dan para graphic designer. Raut wajahnya terlihat serius, tangannya bergerak-gerak saat menyampaikan ide. Dia memang selalu penuh energi saat berhadapan dengan sesuatu yang menarik.

"Ngapain lo senyum-senyum?" Aku buru-buru menghapus senyum dan menghadap ke arah Pepper, temanku dari bagian branding yang mengurus semua hal tentang branding di sosial media dan media cetak yang hari ini luar biasa cantik dengan rambut ikalnya.

Sudah jadi rahasia umum kalau temanku itu suka sama Ray, jadi kalau dia ada di sini pasti mau cuci mata. Meskipun begitu, Pepper memiliki intuisi luar biasa untuk semua hal yang berhubungan dengan branding. Dia bisa tahu bahasa iklan yang kugunakan apakah kuat dan menarik atau tidak.

"Bukan apa-apa. Pep, gue mau minta pendapat lo dong." Pepper mengambil kursi dan duduk di sampingku untuk melihat konsep copywriting yang kubuat. Dia memberikan masukan-masukan dan untuk sesaat aku melupakan semua hal. Hanya ada aku, pekerjaan dan tulisan. Setelah Pepper pergi, aku sempat bicara dengan Mas Bas, creative director atasan Ray untuk diskusi lebih mendalam tentang konsep.

"Sugar! Udah jam delapan nih. Pulang, yuk. Atau lo dijemput Kale?" Ray duduk sambil mengacak-acak rambut. Kalau Pepper melihatnya saat ini, gadis itu pasti akan histeris. Untung aku kebal dengan semua pesona Ray.

"Gue pulang sendiri."

"Gue anter." Tanpa banyak bicara Ray mengambil jaket dan tasku lalu melenggang pergi. Aku tidak punya pilihan selain mengikuti langkahnya.

Kami baru saja melangkah keluar ketika Pepper datang menenteng tas. Gayanya seakan-akan seperti Paris Hilton yang mau berangkat arisan, lengkap dengan make-up. Padahal ini jam delapan malam dan hampir 70% karyawan sudah pulang.

"Hey, Raaayyy!" Di sampingku, Ray langsung membeku sementara aku berusaha keras menahan tawa.

"Kamu mau pulang? Bisa anterin aku nggak? Aku takut pulang malam sendiri." Akting Pepper layak masuk nominasi piala Oscar. Sekarang aku harus memalingkan wajah karena hasrat untuk tertawa semakin besar.

"Maaf, Pepps. Sekarang tiap hari gue anter Illa, my princess," jawab Ray sambil tersenyum. Mendadak perutku mulas. Sepertinya akan ada sesuatu, nih.

"Kenapa sih kamu manjain dia, Ray? Kalian kan cuma temenan," rajuk Pepper.

Kesalahan fatal! Ray paling tidak suka orang yang agresif, suka merajuk dan manja. Sebentar lagi dia pasti mengamuk. Tiba-tiba saja tanganku sudah masuk dalam genggaman tangan besarnya.

"Gue mau ngapain aja sama Illa, itu urusan gue. Permisi!" Nada suara itu terdengar dingin sampai bulu-bulu halus ditanganku merinding.

Ray langsung menarikku pergi sementara Pepper berdiri dengan wajah pucat. Kutolehkan kepala mencoba menghibur temanku itu namun Pepper menunduk sehingga wajahnya tidak terlihat.

"Sorry, La." Ray menghentikan langkah saat kami sudah tiba di basement.

"It's ok. Gue sih ngerti. Tapi mungkin lo harus bicara lagi sama dia besok. Jangan sampai tim kita jadi berantakan, ya?" Kuelus-elus punggung besar Ray sambil tersenyum. Saat-saat seperti ini, rasanya aku seperti sedang membujuk beruang Grizly untuk berhenti marah.

"Mudah-mudahan dia nggak bikin masalah sama lo ya, honey."

"Nama gue Illa. Lo jangan bikin persepsi orang jadi macem-macem deh."

"Lah, salah mereka sendiri kenapa mikir macem-macem?" Aku tertawa. Mood manusia sinting ini sepertinya sudah membaik. Sepertinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Perasaan yang kemudian hari mungkin akan kusesali.

🍰🍰🍰

Soka udah, Ray udah ... sekarang giliran si kembar yaaaa.
Inilah dia Caramel dan Vanilla.

Ini Caramel

Dan inilah Vanilla.


Semua pemeran utama udah keluar yaaaa.

Happy reading. 😘😘

With cheezy love,
Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro