4. Honey Cheesecake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(Cheesecake Jepang dengan toping madu yang manis cenderung disukai orang-orang. Seperti halnya persahabatan yang manis dengan pengertian satu sama lain).

Udara malam yang dingin membuatku menggigil di atas Rebel, motor kesayangan Ray dengan deruman halus membelah jalanan. Sepertinya sahabatku itu mendengar gigiku bergemeretak saat kami berhenti di lampu merah.

"Lo kedinginan, Beb?" tanyanya sedikit menoleh.

"Iya," sahutku cepat.

"Lo bisa peluk gue, sugar. Nggak apa-apa, kok."

Kupukul helm Ray, berharap otak cowok ini sedikit normal. Harapan yang sia-sia karena dia malah menarik tanganku dan melingkarkannya di pinggangnya. Badanku tertarik ke depan dan kepalaku membentur helmnya.

"Sorry, La." Dia meminta maaf tapi suara tawanya membahana. Menyebalkan memang dia.

"Dinner with us?" tanyaku saat kami sampai. Ray memarkir motornya lalu turun. Banyak malam yang dilewatkannya bersama keluargaku, sampai rasanya ibuku punya empat anak dan bukannya tiga.

Ray sebenarnya teman Kale, kakak sulungku. Mereka seangkatan, namun kelakuan manusia ini melebihi Kale. Dia menjadi kakakku lebih daripada Kale dan terkadang sikap protektifnya justru menyulitkan. Sepanjang masa sekolah, tidak pernah ada yang berani merundung, meledek atau menyusahkanku. Jika itu terjadi, tidak peduli laki-laki atau perempuan, mereka semua akan berhadapan dengan Ray.

"Halo, Ray." Lihat, kan! Mande bahkan menyapanya duluan daripada aku, anaknya.

"Halo, Mande." Dia menundukkan kepala untuk mencium pipi Mande.

Kale yang baru keluar dari kamar mandi dan masih sibuk mengeringkan rambut tersenyum lebar menyambut kedatangan Ray lalu berhigh five ala mereka. Kuputar bola mata dan menyeret kaki menuju kamarku di lantai dua.

"Mandi jangan lama-lama ya, honey!" seru Ray.

"Nama gue Vanilla," sahutku tanpa menoleh.

"Samalah. Sama-sama manis." Kali ini terdengar tawa dari bibir Kale. Kakakku itu menonjok bahu Ray sambil bergumam, "Bucin."

"Sumpah! Lo cheesy banget," kataku melirik sekilas ke arah dua laki-laki jangkung yang masih tertawa-tawa.

"Iya! Soalnya lo kan paling suka keju jadi gue selalu berusaha biar tetap cheesy." Aku mendesah pasrah mendengar jawaban Ray. Tidak akan pernah menang kalau bicara dengan makhluk ajaib setengah sinting ini. Kulihat Mande ikut tertawa lalu merasakan kehangatan dalam diri.

Sejak Ayah meninggal lima tahun lalu, Mande seringkali melamun. Kedatangan Ray hampir setiap malam membuat ibuku sedikit berseri. Mungkin dia menikmati tawa yang selalu dihadirkan oleh Ray.

Setelah mandi, aku menemukan Ray asyik duduk di ruang keluarga sambil main game dengan Kale. Caramel juga ada di sana, tengkurap di lantai dengan karpet bulu rasfur dan sibuk mengetik-ngetik sesuatu di laptop.

"Ngapain, Ra?" tanyaku sambil duduk di samping kembaranku itu. Ray melirik sekilas lalu menyentuh tanganku dengan kakinya. Kuabaikan tindakannya, dia pasti mau iseng lagi.

"Edit pamflet buat pertunjukan. Eh La, kamu pasti dateng, kan?" Caramel menatap mataku dengan penuh harap. Kuanggukkan kepala dan dia tertawa senang.

"Gue diundang juga dong, Ra," kata Ray.

"Nggak. Kak Ray harus kerja."

"Dih! Pelit, nih. Gue kan harus jagain Illa. Nanti kalau dia nyasar gimana? Salah masuk toilet gimana?" Kulempar bantal kursi yang digunakan Caramel untuk menopang lengannya.

Caramel sekarang duduk bersila dan menghadap ke arah Ray. "Kak, kenapa sih kalian itu nggak pacaran aja? Kadang pusing lihat kalian berdua, bucin-bucinan tapi tanpa status."

Sejenak aku bengong menatap saudaraku. Bukan hanya aku yang bengong, Kale dan Ray juga terdiam.

"Caramel, gue sama Illa sweetheart ini memang udah lama menjalin hubungan. Tapi kan nggak perlu pakai pengumuman."

Kali ini, aku mencubiti pinggang Ray. Ini orang benar-benar deh, hobi banget bikin orang lain salah paham. Bukan salah Caramel kalau dia mengira aku dan Ray punya hubungan, kan? Kale tertawa dan mengambil gelas air minumnya.

"Kalau kalian nggak pacaran, berarti aku boleh suka sama kakak?"

Kale langsung menyemburkan air yang diminumnya. Kakak sulungku itu tepat menghadapku, jadi air itu telak menyemprot wajahku. Sambil mengomel, kuambil tisu dan melihat reaksi Ray yang langsung terdiam setelah mendengar kata-kata Caramel. Entah mengapa, hatiku tercubit ketika mendengar kata-kata kembaranku.

"Nggak boleh, Ara. Hati gue cuma buat Illa." Suara laki-laki berambut cokelat itu terdengar lembut.

Caramel tertawa dan bersikap seolah-olah apa yang diucapkannya hanya bercandaan semata. Namun aku melihat kilatan rasa kecewa di mata cokelatnya yang sangat mirip denganku. Fokusku masih ke arah Caramel ketika kaki Ray kembali menyenggol tanganku.

"La, ngobrol, yuk."

"Lah? Dari tadi emang kita ngapain, Bang? Gelud?" sahutku masih tidak melepaskan pandangan ke arah Caramel.

Kali ini Ray mencolek bahuku dan dengan pandangan matanya menyuruhku ke arah teras depan. Sambil menghela napas, aku berdiri dan mengikuti langkahnya ke arah teras. Udara dingin langsung menerpa kami.

"Lo terganggu nggak kalau gue ngomong kaya tadi?" tanyanya langsung begitu kami duduk di kursi teras.

"Udah kebal."

"Tapi ini kan saudara lo sendiri." Kumiringkan kepala menatap mata yang tertutup softlens cokelat.

"Lo sendiri gimana Ray? Gue udah jadi tameng lo selama bertahun-tahun, bahkan dari saudara-saudara gue sendiri. It's ok kalau lo udah siap untuk menjalin hubungan sama orang lain."

Dia menatapku tajam tanpa kata-kata lalu menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi. Ada satu rahasia yang hanya diketahui olehku dan Ray. Dia memang terkesan tangguh dan jahil namun sesungguhnya menyimpan banyak luka. Terkadang apa yang terlihat di permukaan memang tidak mencerminkan apa yang dirasakan hati.

Ray ditinggalkan ibunya saat dia masih kecil dan dibesarkan oleh ayahnya dengan kebencian terhadap perempuan. Itu sebabnya dia tidak percaya dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Belum lagi, ketika kuliah dia pernah menjalin hubungan dan dikhianati. Hanya aku yang pernah melihat sisi terapuhnya. Saat itu Ray menangis di bahuku. Dia meminta bantuanku supaya tidak ada lagi perempuan yang mendekatinya. Itu sebabnya kudiamkan saja semua ucapan cheesy­nya. Lagipula aku juga tidak sedang berencana menjalin hubungan.

"Gue belum siap."

Aku ikut menyenderkan punggung, menatap langit yang mendung. Tiba-tiba saja tanpa peringatan wajah Soka terlintas di benak. Kalau hubunganku dan Ray tetap seperti ini, apakah Soka juga akan salah paham?

"Lo suka sama cowok ya, La?" Menolehkan wajah dengan cepat, kutatap mata Ray yang melihat dengan penuh tanda tanya.

"Yah, belum, sih."

"Cerita sama gue kalau ada orang yang lo suka ya, La?" Kuanggukkan kepala, tidak tahu harus berkata apa.

Laki-laki itu berdiri, mengulurkan tangan dan menggandengku masuk. Kale melirik kami yang baru masuk, melihat reaksi Caramel yang biasa-biasa saja dan menghela napas. Mungkin kakakku itu mengira kalau kami benar-benar ada hubungan. Terbesit rasa bersalah dalam hatiku.

Mande keluar dari dapur dan menyuruh Ray untuk makan. Aku memang jarang makan malam, jadi hampir setiap malam saat Ray di rumah, aku hanya menemaninya di meja makan dan mengobrol apa saja dengannya. Meskipun jahilnya bisa membuatku terus mengelus dada, tapi dia benar-benar teman yang menyenangkan.

"Weekend ngapain, La?" tanyanya sambil mengambil rendang istimewa buatan Mande.

"Nonton drama, main sama Caramel atau ke salon. Kenapa?"

"Bokap minta gue pulang." Pandangan mata Ray terlihat gelap. Pantas saja, dia begitu emosional hari ini. Laki-laki itu paling sebal kalau disuruh pulang. Ayahnya selalu sibuk menyuruh Ray untuk menjalin hubungan dengan perempuan, sesuatu hal yang sering dikeluhkan Ray. "Setelah semua doktrin yang dia lakukan, terus minta gue ngejalin hubungan tuh rasanya egois banget, La."

Jadi, untuk membungkam kecerewetan ayahnya, Ray kerap membawaku. Katanya aku bisa mengalihkan perhatian ayahnya sampai lupa dengan wejengan untuk mencari pasangan.

"Ray ...."

"Please, La. I can do anything for you if you help me."

Mande masuk sambil berdehem. "Kalian ini terlalu sweet kalau pacaran."

Mataku membelalak mendengar ucapan Mande lalu memandang Ray dengan kesal. Sekarang Mande juga ikutan salah paham, kan? Sementara Ray hanya tertawa kecil dengan gaya malu-malu. Menyebalkan sekali manusia satu ini. 

🍰🍰🍰

Alohaaaa ... haiii ...
Rayferine, Vanilla dan Caramel hadir lagiiii.

Udah mulai kangen?
Alhamdulillah cerita ini lolos untuk tahap awal GMG Challenge. Jadi, insya Allah per Maret ini Ayas akan update secara berkala. Doakan bisa setiap hari update yaaa.

Salam cheesy 😘😘😘
Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro