5. White Chocolate Baked Cheesecake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(Semua hal manis saat bertemu kamu seperti white chocolate baked cheesecake yang lumer di mulut)

Mataku menatap mesin pengolah popcorn dengan mata berbinar. Rasanya tetap menyenangkan melihat mesin itu bekerja. Kualihkan pandangan ke arah poster-poster film yang sedang ditayangkan. Warna putih popcorn mengingatkanku pada white chocolate baked cheesecake favorit Ray. Entah kenapa aku memikirkan laki-laki jangkung itu. Mungkin karena rasa bersalah karena tidak bisa menemaninya pulang hari ini.

"Vanilla? Wah!" Suara itu begitu dalam, membuat bulu kudukku merinding. Kualihkan pandang dan melihat Soka dengan kaus dan ripped jeans yang dipadu dengan sneakers. Dia pasti baru potong rambut kalau melihat dari tampilan undercutnya yang lebih pendek daripada kali terakhir kami bertemu.

"Oh, hai!"

Hampir saja aku bertingkah seperti orang bodoh yang mengeces seperti saat pertama kali bertemu. Kemudian aku sadar dengan tampilanku yang sangat apa adanya. Biasanya kalau ke mall aku jarang bertemu dengan kenalan.

"Kamu manis dengan rok itu." Terpujilah Mande dengan semua paksaannya agar aku memakai rok malam ini. Tunggu! Apa dia memanggilku "kamu"? Padahal terakhir kali bertemu, kami sudah memakai bahasa informal lo-gue.

"Thanks. Sama siapa, ka?" tanyaku melihat ke belakang laki-laki itu. Berharap tidak ada perempuan yang sedang bersamanya.

Harapan itu pupus ketika melihat perempuan berambut pendek sebahu dengan wajah mungil nan cantik, berjalan dengan ceria ke arah Soka. Perempuan itu mengaitkan lengannya ke arah cowboy yang langsung tersenyum menatap ke arahnya dengan pandangan sayang. Tiba-tiba aku merasa udara semakin panas. Perempuan itu menoleh dan aku tersentak heran ketika dia tertawa dan menyambar tanganku.

"Kak Vanillaaa! Ya ampun! Lama banget kita nggak ketemu. Masih inget aku, kan? Maple Rose." Kuperhatikan wajah mungil yang sekarang terlihat familier itu. Ah, ternyata dia adik kelas yang dulu sering mengikutiku.

"Apel!" Dia langsung cemberut mendengar panggilanku.

"Maple, Kak!"

"Tapi pelafalannya kan jadi mapel. Nanti ketuker sama mata pelajaran." Aku tertawa sementara gadis mungil tadi ikut tertawa.

"Eh, tapi aku nggak tahu loh kalau kakak ternyata kenal sama abangku." Maple tersenyum lebar. Belum sempat menyahut, sebuah tangan panjang merengkuh bahuku.

"Siapa, dear?" Aku mendongak mendengar pertanyaan itu dan tersenyum.

"Ini clientku. Terus ini adiknya sekaligus adik kelasku dulu."

"Oh, yang dulu suka ngobrol sama lo ya? Hai! Masih inget sama gue?" Herannya, Maple terlihat gugup. Terlihat dari wajahnya yang mendadak pucat. Dia juga seperti tidak sanggup bicara. Aku masih memperhatikan raut Maple ketika Soka sudah mengulurkan tangan dengan wajah tegang.

"Ini Kale, kakak sulungku." Aku menjelaskan pada Soka ketika mereka berjabat tangan lalu tertegun. Kenapa juga aku ikutan pakai bahasa aku-kamu?

Kami mengobrol sebelum film dimulai. Kebetulan kami menonton film yang sama. Aku menoleh melihat Maple yang ternyata sudah normal kembali rona wajahnya. Sesekali semburat merah muncul di wajah gadis mungil itu saat Kale mengajaknya bicara. Feeling detektifku langsung berjalan. Rasanya ada apa-apa nih di antara mereka. Aku baru mau mencolek bahu Kale untuk meminta penjelasan ketika Soka mendekatiku.

"Jadi, laki-laki di sekitarmu selalu bicara yang manis-manis?" tanya Soka tersenyum. Oh, Tuhan! Sepertinya aku meleleh sekarang juga!

Sesaat aku bingung akan ucapan si cowboy lalu teringat akan sapaan Kale saat dia merengkuhku tadi. Sambil tertawa aku berkata kalau memang Kale dan Ray seringkali memanggilku dengan kata-kata manis. Ray ketularan Kale, pastinya.

"Dulu aku seringkali tidak percaya diri. Takut ditertawakan dan sebagainya. Ray itu sahabat Kale. Waktu hari pertama orientasi, Kale sakit jadi dia menitipkanku pada Ray." Entah kenapa aku jadi menjelaskan masa lalu pada Soka.

Dulu, aku mati-matian membujuk Mande agar bisa sekolah di tempat yang berbeda dengan Caramel. Aku tidak mau ada dibawah bayang-bayang kembaranku yang sempurna. Caramel masuk ke sekolah khusus perempuan bergengsi di kotaku. Mande memasukkanku ke sekolah umum tempat Kale bersekolah.

"Maple sempat cerita kalau dia punya kakak kelas yang keren. Pintar olahraga dan nulis. Dia bahagia sekali waktu itu." Aku tersenyum malu. Sedikit bangga karena ternyata Maple begitu tinggi memandangku.

"Dan kamu sekolah di mana waktu itu?"

"Aku tinggal di Surabaya bersama kakek. Dia punya toko roti dan kue. Dari sanalah ide untuk membuat Cheeze Bakehouse." Kuanggukkan kepala tanda mengerti. Obrolan kami berhenti saat terdengar pengumuman kalau film akan dimulai.

Film baru diputar separuh jalan, aku sudah menoleh ke arah Kale dengan pandangan tersiksa. Ini film paling mengharukan yang pernah kulihat. Seharusnya aku tidak bertemu dengan Soka. Apa jadinya kalau dia melihatku keluar dari ruangan ini dengan mata sembab? Begitu menoleh, aku langsung menyesal. Kale sedang menonton dengan mata berkaca-kaca.

"Yaelah, Kale. Ganteng-ganteng ternyata cengeng," bisikku menahan tawa. Kakakku itu langsung cemberut.

"Diam, lo! Gue lagi khusyuk mau nangis."

Kalau saja tidak berada di dalam bioskop, aku pasti sudah terbahak-bahak. Setelah itu, setiap mau nangis, aku langsung teringat wajah kakakku. Menyebalkan, Kale! Aku jadi terkena syndrome mau-nangis-tapi-tidak-jadi yang membuat perasaan campur aduk selama nonton.

Ketika film hampir selesai, Kale sibuk mengompres matanya yang bengkak dengan embun coke dingin milikku. Alhasil, kelakuannya membuatku sakit perut menahan tawa. Kenapa sih dalam hidupku tidak ada laki-laki normal? Oh, ada satu laki-laki normal nan ganteng bernama Soka. 

"Kalian mau kemana lagi? Mau ke CB?" tanya Soka merujuk ke toko kuenya ketika film selesai dan kami bertemu lagi. Mata Kale langsung membulat saat kujelaskan kalau Soka adalah pemilik Cheze Bakehouse. Aku lupa, Kale itu hobi bikin panganan manis. Berkat dialah, aku jatuh cinta pada cheesecake. Dia langsung lengket sama Soka dan mengobrol tentang berbagai macam kue.

"Eh, Kak Illa gimana hubungannya sama Kak Ray?" tanya Maple ingin tahu.

"Hah? Nggak gimana-gimana," jawabku bingung. Wajah di sampingku langsung berseri-seri cerah ceria seperti matahari pagi yang siap mengeringkan jemuran emak-emak.

"Baguslah! Aku suka kalau kak Illa sama abangku aja."

Mendengar kata-kata Maple aku langsung ingin joget ala Jenny di lagu Solo yang melambai-lambaikan tangan ke atas, merasa mendapat restu untuk suka sama kakaknya itu. Untunglah sebelum aku melakukan tindakan yang akan mempermalukan diri di jagat raya, Soka menoleh lalu tersenyum. Otakku langsung blank. Kosong. Kemudian aku menabrak stroller yang melintas, nyaris saja menimpa balita lucu yang menatapku shock karena kaget.

Kale tertawa sambil menggandengku yang masih meminta maaf pada ibu si balita lucu. "Makanya Illa itu kemana-mana harus digandeng. Dia punya hobi mempermalukan diri sendiri." Kutendang tulang kering kakakku dengan sebal. Sebalnya lagi, si cowboy ganteng itu ikut tertawa bersama adik kecilnya yang cantik.

"Oh, pantesan Ray juga gandeng-gandeng Illa kemana-mana. Jadi biar nggak nabrak?"

"Yep."

Aku baru saja mau mengomeli Kale yang dengan gembira membuka aib di depan orang ganteng, ketika ponselku bergetar. Nama Ray terlihat di caller id.

"La ...." Aneh! Suara Ray bergetar. Instingku langsung mengatakan kalau ada yang tidak beres. Kulepaskan genggaman Kale dan berjalan menjauh.

"La ... I need you." Sumpah! Aku mendengar suara isakan.

"Lo di mana?" Terdengar helaan napas panjang sebelum jawaban datang.

"Apartemen."

"Gue ke sana."

Kale masih menatap dengan heran ketika aku berkata, "I need to go now. Naik taksi online aja. Bilangin Mande, ya?"

Untunglah kakakku tidak bertanya lebih lanjut meskipun aku yakin nanti dia akan minta penjelasan. Aku berpamitan pada Soka dan Maple lalu bergegas keluar mall. Sekarang sudah pukul delapan malam. Seharusnya jalanan tidak terlalu macet, namun aku tidak mengambil resiko dan mengubah pesanan untuk menggunakan ojek online.

Sepanjang perjalanan menuju apartemen Ray, jantungku berdegup kencang. Kenapa semua laki-laki hari ini begitu melow? Begitu sampai, aku melambaikan tangan ke arah security yang sudah mengenalku dengan baik lalu cepat-cepat masuk ke dalam lift.

Hatiku mencelos melihat penampilan Ray ketika dia membuka pintu. Laki-laki itu terlihat sangat berantakan. Matanya bengkak dengan bibir pucat dan rambut berantakan. Sepertinya dia berdiri dengan susah payah. Ketika aku masuk, dia langsung limbung dan menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Oh, my gosh! Lo kenapa Ray?" tanyaku panik.

"She's back." Hanya itu ucapan Ray. Kuulurkan tangan untuk mengelus rambutnya. Dia seperti kucing tersesat saat ini.

"Who is she?"

"My mother. After these years. She's back." Kuhela napas saat merasakan bahuku basah. Tubuhku hanya sepundak Ray. Jadi saat dia memelukku, badannya melengkung seperti busur. Dia pasti tidak akan lama dalam posisi ini karena punggungnya sakit. Benar saja, lima menit kemudian, Ray menegakkan badan.

"La ...." Suaranya terdengar lembut. Aku memandang ke arah bola mata yang hari ini tidak tertutup softlens. Hanya ada beberapa orang yang tahu warna asli netra laki-laki itu, aku salah satunya.

"Hmm?" Perasaanku langsung tidak enak lagi dan menatap Ray dengan curiga. Mata hijaunya mengerjap sekali lagi sebelum mengucapkan kata-kata yang membuatku mulas bukan kepalang.

"Lapar." See? Sekali manusia ajaib, tetap manusia ajaib!

🍰🍰🍰

Gimana? Udah cukup lumer? Belum ya?
Ray dan Vanilla ini memang berbagi hal yang pahit bersama. Mereka mengaku hanya sekedar sahabat yang tahu tentang diri satu sama lain dari A-Z.

Terus gimana kalau Soka juga tancap gas buat ngedeketin Vanilla? Hemm ... tunggu kelanjutannya besok, ya? 😁

Eniwei, white chocolate baked cheesecake ini request dari sahabatku si miss whiteclouddott (aku nggak bisa mention huhuhu). Selamat menikmati kelezatannya yaaa ...

Salam cheesy love
Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro